11 April Potret Sosial Teks Indonesia (1)

Aksi tersebut tentu bukan tanpa alasan, aksi tersebut juga tidak bisa dipelintir karena ulah barisan sakit hati, ulah kelompok yang ingin mengganti ideologi pancasila, atau aksi unjuk rasa pesanan maupun aksi unjur rasa yang ditumpangi penumpang gelap

13 April 2022, 16:23 WIB

Nusantarapedia.net — 11 April Potret Sosial Teks Indonesia

Peristiwa 11 April 2022 tentu akan menjadi bagian ingatan dari perjalanan bangsa ini, sama seperti ketika Soeharto dan Soekarno diturunkan melalui unjuk rasa aksi massa mahasiswa tahun 1966 dan 1998.

Ketiga peristiwa besar tersebut tentu tidak linier dalam melihat kasus di dalamnya, karena dalam masa, era dan situasi yang berbeda. Akan tetapi, ruhnya mengandung esensi yang sama yaitu tercapainya tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai amanat konstitusi. Apa tujuan tersebut? tak lain adalah terselenggaranya kehidupan berbangsa dan bernegara yang maju adil makmur dengan berkeadaban.

Peristiwa unjuk rasa di Jakarta (DPR) oleh elemen masyarakat dan BEM SI (Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia) juga terjadi unjuk rasa serupa diseluruh kota-kota di Indonesia.

“Dalam inti demonstrasi 11 April tersebut jelas terdapat riwayat teks psychosocial. Sosial teks yang dimaksud yang alih-alih kebijakan pemerintah membuat rakyat sejahtera dengan terpenuhinya hajat hidup yang baik, justru rakyat terciderai dengan ulah oknum penyelenggara negara dengan kebijakan dan keputusannya yang faktanya berakibat pada sulitnya memenuhi kebutuhan hidup.”

Aksi tersebut tentu bukan tanpa alasan, aksi tersebut juga tidak bisa dipelintir karena ulah barisan sakit hati, ulah kelompok yang ingin mengganti ideologi pancasila, atau aksi unjuk rasa pesanan maupun aksi unjur rasa yang ditumpangi penumpang gelap. Tentu, tidak sekerdil itu! Aksi tersebut adalah gambaran dari apa yang dirasakan oleh masyarakat ihwal penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara dampak dari kebijakan pemerintah yang tidak berpihak.

Namun sayang, aksi tersebut terciderai dengan kejadian pemukulan pada Ade Armando, seorang dosen di Universitas Indonesia juga seorang pegiat sosial. Apapun alasannya, bahwa tindakan kekerasan dengan melukai fisik seseorang itu tidak dibenarkan. Dan, pelaku dari kekerasan tersebut tetap diproses secara hukum.

Namun demikian, kasus Ade Armando jangan sampai mengaburkan fokus dari gerakan mahasiswa sebagai inti dari pergerakan. Narasi pemberitaan pun juga jangan sampai tenggelam dibuatnya.

Ade adalah korban sasaran dari apa yang selama ini rakyat rasakan. Ade dalam pikiran publik masih melekat seperti seorang buzzeer atau influencer pendukung kebijakan pemerintah. Bahkan, tidak hanya sekedar mendukung, tetapi beberapa statmennya sering menciderai kalangan lain, seperti pernah mengatakan: saya beragama islam, tapi tidak harus syariat islam harus dijalankan.

Itu hanya bagian variabel dari statmennya, perlu diketahui bahwa Ade Armando yang jelas merupakan kelompok pendukung kekuasaan yang kerap bersinggungan dan berseberangan dengan kelompok publik maupun masyarakat, terkait kebijakan pemerintah dalam banyak hal dengan telah melakukan statmen yang arogan.

Dalam inti demonstrasi 11 April tersebut jelas terdapat riwayat teks psychosocial. Sosial teks yang dimaksud yang alih-alih kebijakan pemerintah membuat rakyat sejahtera dengan terpenuhinya hajat hidup yang baik, justru rakyat terciderai dengan ulah oknum penyelenggara negara dengan kebijakan dan keputusannya yang faktanya berakibat pada sulitnya memenuhi kebutuhan hidup. Hidup menjadi susah, terjerit dan mencekik ekonomi, ihwal keadilan.

Tuntutan demonstrasi 11 April, juga tidak bisa dijustifikasi sebagai upaya pelengseran presiden. Semua mengakumulasi dalam bentuk kekecewaan atas sikap dari pemerintah yang bermain-main dengan kebijakan yang seolah-olah kuat, kuasa dan tidak bisa dipersalahkan, bersifat arogan.

Jika demo kemarin persoalannya adalah penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode, kenapa pemerintah tidak merespon sejak awal bahwa itu tidak mungkin. Namun justru arus dukungan agar Presiden (Jokowi) menjabat tiga periode datang dari kalangan pejabat sendiri, tokoh masyarakat, politisi dan sederet pemimpin/pimpinan lainnya, yang mana mereka seharusnya justru sebagai “imam,” penerang, pelindung dari rakyat yang sikap dan pemikirannya diikuti oleh publik. Berarti benar dong! bila spekulasinya ada upaya penundaan pemilu dan perpanjangan jabatan. Yang mana itu melanggar konstitusi yang jelas amanatnya 2 kali masa jabatan. Tetapi, itupun masih dinarasikan bahwa, “amandemen undang-undang dasar itu hal yang dinamis bahkan tidak haram.”

Polemik tersebut akan selesai bila, Jokowi menjawab atas polemik tersebut sejak awal, bahwa dirinya menolak perpanjangan jabatan tiga periode maupun penundaan pemilu. Jika demikian, meminimalisir potensi kegaduhan sebagai upaya good will. Dan, akhirnya Jokowi menyatakan tidak ada penundaan pemilu, itupun 20 jam jelang dilakukannya unjuk rasa 11 April.

Dibagian lain yang turut menjadikan sosial teks tersebut mengendap dalam ingatan publik. “Saya heran sambil ngelus dada, melihat ibu-ibu berebut minyak goreng, apa kerjaannya cuman goreng menggoreng saja masaknya? kan bisa direbus atau dikukus?” Begitu sepenggal kata-kata dari mantan presiden Indonesia (Megawati Soekarnoputri), yang minggu-minggu kemarin viral dengan pernyataannya.

Meski demikian, bukan berarti tanpa minyak goreng tidak masalah. Paradoks sekali tidak? siapa yang membiasakan kultur memasak dengan minyak goreng? kenapa produksi migor tinggi, linier dengan dibukanya lahan sawit sangat massiv. Mengapa negara penghasil sawit migor bisa langka, kalau pun tidak langka harganya mahal?

Berarti telah terjadi jerat “supplay and demand” dalam penggunaan minyak goreng dalam tata laksana kultural masyarakat oleh kepentingan pasar. Dan, siapa yang mengendalikan pasar bebas? tentu ini menjadi tanggung jawab kekuasaan.

Perkara minyak goreng langka kemudian menjadikan kebiasaan tidak memasak dengan menggoreng, itu tidak demikian dalam tata kelola niaga dan kebijakan yang baik untuk urusan pemenuhan hajat hidup rakyat.

Harusnya, minyak goreng tetap tersedia dengan stok yang aman dan harga terjangkau. Selanjutnya, edukasi diterapkan dalam gaya hidup kebiasaan sehari-hari. Meskipun minyak goreng tidak langka dan terjangkau harganya, namun penggunaan minyak goreng dalam memasak juga harus dikurangi dalam batas penggunaan yang wajar.

Jadi, perlu kiranya untuk membiasakan cara pandang dengan kebiasaan yang lahir dari bentuk yang ideal, konstruktif dan proporsional, bukan kultur yang lahir dari keterpaksaan, ketidakberdayaan atau pun kemiskinan. Dengan demikian tidak melukai dan menciderai rakyat.

Berarti, ditafsirkan kelangkaan minyak goreng tersebut hanyalah siasat untuk menaikkan harga migor. Keabsurdan kebijakan pun muncul, bak hero, lahirlah kebijakan kartu minyak goreng. Apakah demikian pemikiran konstruktif untuk menjaga kestabilan pasokan dan harga migor demi terpenuhinya hajat hidup rakyat untuk urusan yang mendasar, yaitu kebutuhan pokok.

(bersambung bagian 2)

11 April Potret Sosial Teks Indonesia (2)
4 Tuntutan Mahasiswa Dalam Demonstrasi 11 April, Serta 6 dan 12 Tuntutan Lain
Presiden Pastikan Pemilu Tidak Ditunda, Penetapan Jadwal Pemilu Bentuk Komitmen
Naiknya BBM, Pemkot Ternate Akan Menyampaikan Tuntutan FMUM Ke Pusat

Terkait

Terkini