11 April Potret Sosial Teks Indonesia (2)

11 April 2022 akan menjadi ingatan bangsa dalam antropologi Nusantara.

13 April 2022, 17:02 WIB

Nusantarapedia.net — 11 April Potret Sosial Teks Indonesia

Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Aturan ini sudah resmi diteken Jokowi pada 6 Januari 2022 lalu.

Isinya jelas, pengurusan SIM (Surat Ijin Mengemudi), STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan) dan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), wajib mengikuti jaminan kesehatan BPJS. Tidak menjadi soal yang mempunyai BPJS Peserta Bantuan Iuran (PBI), namun bagaimana yang tidak punya. Akhirnya mau tidak mau rakyat dipaksa untuk mengikuti program BPJS Mandiri yang harus membayar iuran per bulannya sejumlah anggota keluarga yang terdaftar dalam Kartu Keluarga berdasarkan kelas jaminan yang telah disodorkan.

Dengan demikian, apakah benar keluarga yang tidak punya PBI itu dijamin makmur dan punya uang. Opini mengenai hal ini jelas, bahwa negara sangat terlihat dalam upaya menarik dana dari masyarakat untuk memenuhi ambisi dan skenario-skenario pembangunan, yang itu jauh dari esensi keadilan rakyat namun justru ambisi negara yang diperuntukkan untuk “kepentingan besar.” Di samping itu, kepemilikan BPJS juga sebagai syarat jual beli tanah.

11 April 2022, adalah potret nyata sosial teks atas akumulasi penderitaan selama ini. Boleh sekali 11 April dinarasikan sebagai pergerakan bayaran atau tunggangan atau dikesampingkan begitu saja. Tetapi ingat, data dan fakta berbicara, bukan kebohongan yang teradministrasi dalam seribu narasi sebagai pembenaran dan pelanggengan kekuasaan.”

“Pertamina menahan harga jual Pertamax di bawah harga dari nilai keekonomian, itu sama saja Pertamina memberikan subsidi untuk orang kaya. Pasalnya, 13% dari total konsumsi BBM menggunakan Pertamax, dan itu merupakan orang kalangan menengah ke atas, orang kaya, juga yang menggunakan mobil mewah.” diatas adalah statmen pejabat BUMN jelang kenaikan BBM jenis Pertamax, dikutip dari Npj.

Seolah-olah, pengguna pertamax adalah orang mampu semua. Dampaknya, telah terjadi migrasi dari pengguna jenis pertamax ke pertalite. Akibatnya, stok pertalite pun menjadi rawan. Kalau pertalite habis, kemana lagi rakyat membeli BBM kecuali kemudian dengan terpaksa membeli jenis pertamax.

Selain itu, bensin berbentuk eceran yang dijual kelas rakyat dengan botol-botol bekas minuman yang kulakan dari SPBU menggunakan jerigen, itu bensin pertamax yang disediakan. Jadi, rakyat kecil di desa-desa tersebut membeli bensi eceran di warung rakyat prakteknya berjenis pertamax, bukan pertalite. Sebuah skenario dengan alasan yang cerdas bagi pengambil kebijakan, tetapi dirasakan berat oleh rakyat.

Narasi BBM seperti di atas, sering sebagai justifikasi argumentasi pembenaran untuk menaikkan harga BBM, belum lagi jurus ampuh, bahwa BBM terkena dampak perang Rusia Ukraina. BBM Indonesian termurah di dunia dibandingkan Malaysia dan lainnya. Padahal kita sering melupakan diri, Berapa sih? pendapatan per kapita rakyat Indonesia. Sudah layakkah urusan makan rakyat? berapa konsumsi daging, ayam, telur, ikan dan susu!

Dalam kesatuan waktu yang hampir bersamaan, akhirnya PPN pun naik satu persen, dari pajak PPN 10 persen menjadi 11 persen, itupun sedianya naik diangka 12-13 persen. Alasannya cerdik dan elegan. “Kebijakan tersebut merupakan bagian tidak terpisahkan dari reformasi perpajakan dan konsolidasi fiskal sebagai fondasi sistem perpajakan yang lebih adil, optimal dan berkelanjutan,” kata Kemenkeu dikutip dari Antara, (1/4/2022).

Jelas, bahwa pemerintah ingin menarik dana dari masyarakat. Lantas pertanyannya? Apakah negara benar-benar sedang krisis? Apakah dana tersedot untuk proyek infrastruktur seperti jalan tol? dsb. Yang jelas akhirnya, bagi rakyat, shampo dan sabun naik, sembako naik bahkan paket data pun naik, padahal paket data sangat penting bagi anak sekolah untuk pembelajaran daring masa pandemi.

Dan, program vaksinasi covid-19 telah benar-benar melihatkan keangkuhan negara pada rakyatnya dengan alasan yang manis agar rakyat sehat. Oke lah, jika rakyat di vaksin dengan sewajarnya dengan satu kali vaksin, ini diwajibkan 3 kali hingga vaksin booster. Jika tidak mau, segudang ‘bergaining,’ ‘posisi tawar,’ diterapkan kepada rakyat agar mau untuk divaksin. Salah satunya, mudik lebaran 2022 harus sudah bervaksin booster.

Wajar berandai-andai, lantas berapa keuntungan dari jual beli vaksin tersebut buat pengusaha vaksin, dan apa relevansinya dengan negara atas jual beli vaksin tersebut dari sisi ekonomi. Bila migor langka dan mahal, kenapa vaksin “turah-turah,” berlebih stoknya. Ini pertanyaannya?

11 April adalah gambaran, betapa kebijakan selama ini sangat tidak konstruktif mewakili negara yang dipercayai untuk mengelolanya atas mandat rakyat.

Rakyat seolah diberikan akses produksi, akses hidup, tetapi faktanya dilempar pada sirkuit ketidakadilan. Bahkan diciptakannya budaya kompetitif dalam pengelolaan daerah dan rakyatnya. Bagaimana rakyat berusaha memiskinkan diri untuk mendapatkan aneka kartu. Kartu pintar, kartu sehat, kartu tani, kartu pra kerja, kartu migor, kartu vaksin, dan mungkin akan terus lahir kartu-kartu serupa sebagai bukti keberpihakan.

Diatas adalah variabel bahwa peristiwa unjuk rasa 11 April berawal dari sosial teks rakyat yang menderita. Banyak arogansi oknum kekuasaan yang sengaja mengolok-olok rakyatnya, menjebak dalam distribusi supplay and demand kebutuhan pokok, menghadapkan pada bentuk pilihan-pilihan, yang mana pilihan tersebut akhirnya mau tidak mau harus mengikuti kebijakan tersebut, ditambah lagi membuat narasi-narasi pembenturan, pecah belah pada rakyatnya sendiri. Perang narasi pun lahir antar rakyat dan penguasa. Seolah rakyat pun ditantang untuk adu kuat, adu cerdas, adu hebat.

Timbul dalam pikiran, sebenarnya kekuatan apa dan siapa yang mengendalikan negeri ini. Apakah benar, akibat negara tidak berdaulat ala Tri Sakti Bung Karno, hingga kapitalisme, liberalisme, neo kapitalisme dan neo liberalisme benar-benar telah membawa negara ini sebagai negara liberal kapitalistik yang tak lagi adil dan bahkan memanusiakan bangsa pribumi.

Terlebih, justru sekumpulan analis yang jumlahnya ratusan dikumpulkan untuk menganalisis kondisi sosial masyarakat sebagai “big data,” big data yang diperuntukkan tidak dalam konteks membangun, namun big data yang dipergunakan untuk mengetahui ambang batas kekuatan rakyatnya. Ambang batas terendah kapan rakyat marah diwaktu lapar, kapan rakyat bisa dipekerjakan asal masih kuat makan seadanya. Apakah demikian cara kerja kapitalisme? terlebih negara, jangan sampai berniat seperti itu, atau bahkan malah sudah mempraktekkannya.

Dan, akhirnya kita harus kembali dengan kesadaran bahwa, kita lahir dan besar di bumi pertiwi yang subur dan harusnya makmur. Tuhan pun telah memberikan jaminan akan hak hidup manusia. Tetapi mengapa, kita hanya ingin terpenuhinya hak hidup, hak dasar, hak konstitusi, hak langit kita, kita harus super ribet, menderita dan tercekik. Bahwa, bukan mobil mewah yang diharapkan, lewat jalan tol yang mulus. Kita hanya sekedar menjalankan hidup berdasarkan hak manusia atas kodrat penciptaan.

Bila Tuhan memberinya, kenapa manusia harus menghalanginya, sesama umat ciptaanNya.

11 April 2022, adalah potret nyata sosial teks atas akumulasi penderitaan selama ini. Boleh sekali 11 April dinarasikan sebagai pergerakan bayaran atau tunggangan atau dikesampingkan begitu saja. Tetapi ingat, data dan fakta berbicara, bukan kebohongan yang teradministrasi dalam seribu narasi sebagai pembenaran dan pelanggengan kekuasaan.

11 April 2022 akan menjadi ingatan bangsa dalam antropologi Nusantara.

Selesai

11 April Potret Sosial Teks Indonesia (1)
4 Tuntutan Mahasiswa Dalam Demonstrasi 11 April, Serta 6 dan 12 Tuntutan Lain
Presiden Pastikan Pemilu Tidak Ditunda, Penetapan Jadwal Pemilu Bentuk Komitmen
Migor Mahal, Ganti Lalapan

Terkait

Terkini