14 Isu Krusial RUU KUHP, “Matinya” Fungsi Kontrol Kekuasaan dari Narasi Feodalisme

- Polemik tersebut terkait dengan materi penghinaan ke kekuasaan umum dengan ancaman penjara selama 18 bulan yang diatur pada pada Pasal 351 ayat 1 RKUHP, yang berbunyi; -

7 Juli 2022, 13:53 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Polhukam — 14 Isu Krusial RUU KUHP, “Matinya” Fungsi Kontrol Kekuasaan dari Narasi Feodalisme

“Ke-14 poin sebagai isu krusial tersebut masih terbayangi paradigma konservatif. Terkesan peraturan pidana tersebut sangat ketat diterapkan oleh pemerintah yang mana sebenarnya masih dalam domain hukum adat, privat dan norma. Dengan demikian, tidak seharusnya norma-norma yang berkembang di masyarakat dijadikan norma hukum. Tidak semuanya yang dianggap tidak patut harus masuk dalam aturan pidana.”

DRAF final RUU KUHP (Rancangan Undang Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) telah diserahkan pemerintah kepada Komisi III DPR. Namun masih menyisakan beberapa poin yang belum final. Pembahasan masih berlanjut untuk dilakukan penggodokan lebih mendalam berkaitan dengan 14 isu krusial dalam beberapa pasal.

Ke-14 isu krusial tersebut yaitu; 1) Hukum yang hidup dalam masyarakat. 2) Pidana mati. 3) Penyerangan harkat dan martabat kepada Presiden dan Wakil Presiden. 4) Menyatakan diri dapat melakukan tindak pidana memiliki kekuatan gaib. 5) Dokter atau dokter gigi yang melaksanakan tugasnya tanpa izin. 6) Contempt of court. 7) Unggas yang merusak kebun yang ditaburi benih. 8) Advokat curang. 9) Penodaan agama. 10) Penganiayaan hewan. 11) Alat pencegah kehamilan dan pengguguran kandungan. 12) Penggelandangan. 13) Praktik pengguguran kandungan. 14) Tindak pidana kesusilaan, seperti perzinahan dan pemerkosaan.

Dari ke-14 isu tersebut, dua pasal dipastikan di drop oleh pihak pemerintah, yakni pasal mengenai Dokter (dokter gigi) praktik tanpa izin dan Advokat yang curang. Alasan penghapusan tersebut karena masing-masing telah diatur dalam UU Praktik Kedokteran dan UU Advokat.

Kemudian pasal yang ditambahkan ada tiga point, yaitu mengenai tindak pidana penadahan (3 pasal), penerbitan (1 pasal), dan percetakan (3 pasal). Tiga tindak pidana itu belum diatur pada draf (konsep) 2019 yang hilang, tetapi ada pada draf 2015 tiga pidana itu telah dimasukan. Dengan demikian, karena aturan ini pernah diatur dalam KUHP lama, akan kembali diatur dalam RUU KUHP.

“Sehingga terdapat enam tindak pidana yang diatur dalam KUHP, tetapi belum diatur kembali dalam RKUHP, yaitu tindak pidana penadahan ada tiga pasal, tindak pidana penerbitan dan pencetakan juga tiga pasal,” ujar Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej di Gedung Parlemen, Senayan, Rabu (6/7/2022), seperti dikutip dari merdeka.com.

Selain itu pemerintah masih mempertahankan draf aturan dalam Bab IX mengenai Tindak Pidana Terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara. Pada bagian ini yang juga menjadi polemik di masyarakat dengan serius.

Polemik tersebut terkait dengan materi penghinaan ke kekuasaan umum dengan ancaman penjara selama 18 bulan yang diatur pada pada Pasal 351 ayat 1 RKUHP, yang berbunyi;

Setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

Kekuasaan umum dan atau lembaga negara yang dimaksud berdasarkan bunyi penjelasan Pasal 351 ayat 1 adalah; Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Pemerintah Daerah.

Tidak sampai disitu, apabila penghinaan tersebut menghasilkan dampak seperti kerusuhan, maka hukuman diperberat menjadi tiga tahun penjara, berdasarkan bunyi Pasal 352 ayat 2;

Dalam hal Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.

Namun demikian, diberlakukan delik aduan berdasarkan aduan dari pihak yang dihina, sebagaimana bunyi Pasal 351 ayat 3.

Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina.

Terkait

Terkini