18 Penguasa Wanita, Ratu Legendaris di Asia Tenggara, 8 dari Nusantara (1)
Sosok wanita yang lemah tidak selamanya di posisikan menjadi kaum lemah yang tidak bisa mengganti peran dari seorang laki-laki.

Nusantarapedia.net, Jurnal | Sejarah — 18 Penguasa Wanita, Ratu Legendaris di Asia Tenggara, 8 dari Nusantara
“Bahkan, banyak wanita di dunia mampu tampil di depan sebagai pemimpin. Wanita yang juga sebagai raja, kepala pemerintahan hingga panglima perang.”
Dalam konteks modern, tubuh perempuan dikategorisasi dan diidealisasi menjadi bukan sekadar tumpukan daging, melainkan melibatkan penilaian atas dasar seksualitas dan erotisme di dalamnya.
Saat ini, di era media baru, ketika transformasi arus informasi dan komunikasi semakin tak terbatas, hingga menempatkan posisi perempuan sebagai obyek pasif dan asing di tengah meriahnya gebyar kemajuan jaman. Perempuan hanya pemuas kepentingan patriarki, akumulasi modal, juga sebagai model visualisasi obyek hasrat. Sesekali sebagai obyek reportase politik, tapi lagi-lagi dampak yang muncul tidak berpihak pada perempuan itu sendiri.
Untuk itu, perempuan berkarya bahkan perempuan memimpin kini sebuah keniscayaan. Perempuan yang tidak bisa dan tidak biasa berkiprah akan kehilangan cara menunjukkan jejak kiprahnya. Setiap generasi membutuhkan referensi gerakan para pendahulunya untuk mengkomparasi tingkat keberhasilan, lalu mendorong lahirnya terobosan-terobosan baru dan temuan dalam pergerakan.
Gerakan sosial perempuan akan menguap jika tidak terekam dalam aneka jejaknya. Itulah sebabnya media atau budaya literasi memegang peran penting dalam mendokumentasikan segala bentuk manuver pergerakan perempuan.
Setidaknya itulah yang telah dilakukan oleh R.A. Kartini, wanita pejuang emansipasi wanita, yang terkenal dengan bukunya “Habis Gelap Terbitlah Terang.”
Ibu adalah sosok ibu, wanita adalah ciri kewanitaan, perempuan adalah peran yang strategis dan terhormat. Wanita dan perempuan adalah simbol pergerakan dan status. Lebih pada tujuan politik dan ideologis. Sedangkan ibu, ya ibu, tetaplah menjadi ibu sampai kapan pun. Secara kodrat akan terus melahirkan anak.
Raden Ajeng Kartini adalah seorang ibu, perannya pada perjuangan emansipasi wanita akan nilai kesetaraan, telah menghantarkan pada kiprah perempuan mendobrak nilai-nilai gender yang membelenggu, menempatkan pada obyek pemuasan dan patriarki yang gelap menuju pendar cahaya yang semakin terang.
Peran ibu hingga menjadi perempuan sangatlah berat. Tugas ibu sama beratnya dengan tugas para pemimpin; pejabat, politisi, maupun akademisi. Sama! terlebih erat dengan peran para akademisi (mahasiswa) sebagai kawah candradimuka penghasil calon-calon pemikir bangsa. Setidaknya itulah wanita dalam peran dan sosoknya saat ini.
Namun, siapa sangka bahwa ada wanita-wanita yang jauh melesat melebihi langkah para laki-laki. Di dunia ini selalu saja ada pengecualian, selalu ada hal-hal di luar kebiasaan. Sosok wanita yang lemah tidak selamanya di posisikan menjadi kaum lemah yang tidak bisa mengganti peran dari seorang laki-laki. Bahkan, banyak wanita di dunia mampu tampil di depan sebagai pemimpin. Wanita yang juga sebagai raja, kepala pemerintahan hingga panglima perang.
Nampaknya, perjuangan emansipasi wanita dan pengecualian kasus-kasus dunia pada justifikasi gender, sepanjang umur dunia sudah terjadi dari masa ke masa. Bahkan telah lahir para pemimpin wanita dunia yang berhasil membawa entitas besarnya sebagai sebuah bangsa yang besar dan dikenang selamanya oleh generasinya.
Dalam sejarahnya, meski keberadaan pemimpin wanita sangatlah sedikit dibandingkan dengan pemimpin pria, namun terdapat banyak wanita dunia yang menjadi raja. Kekuasaannya telah membawa dan mewariskan (legacy) peta dunia dalam peradaban manusia, khususnya kehidupan sosial kaum wanita dalam tata laksananya.
Di kawasan Asia Tenggara, yang mana masih dalam satu kesatuan rumpun kebudayaan, telah melahirkan para pemimpin wanita sejak tahun sebelum Masehi (SM).
Para raja atau ratu wanita tersebut telah berkiprah banyak dalam perkembangan kehidupan umat melalui kekuasaan. Kekuasaan tidak hanya menjadi hegemoni laki-laki saja, wanita pun berani tampil memegang tampuk kekuasaan. Dengan kekuasaan kehidupan bersama akan mudah di tata dan dikendalikan.
Baiklah, Nuspedian. Berikut ini daftar para penguasa wanita dari Asia Tenggara yang sangat legendaris, dikutip dari Fp Asian SEA Story. Dari 18 pemimpin wanita tersebut, 8 di antaranya berasal dari wilayah Nusantara dengan kepemimpinannya yang membawa pada masa keemasan.

1) Panhtwar
Kerajaan Pyu di Myanmar, sekitar 200 SM. Panhtwar juga disebut sebagai Putri Thonbanhla, “Lady Tribella” atau ‘Tiga keindahan bunga’.
Berkuasa di Beikthano, kota kuno Kerajaan Pyu. Panhtwar dianggap sebagai wanita spiritual, ahli perang dan kuat. Panhtwar mengacu pada (sic), artinya “indah dalam tiga cara dalam satu hari”.
2) Ratu Soma
Kerajaan Funan di Kamboja, sekitar 100 M. Soma adalah pemimpin wanita pertama dari Kerajaan Funan. Permaisuri dari Kaundinya I. Nama Soma dari bahasa India, Liǔyè (Cina), dan Neang Neak (Khmer).
Ratu Soma terkait dengan asal-usul Kamboja, merupakan dinasti penguasa awal. Hal tersebut didasarkan pada catatan teks-teks Cina kuno. Teks yang mengetengahkan seputar cerita rakyat yang memadukan berbagai tradisi dan peristiwa sejarah dengan menambahkan hiasan dan motif berupa mitos-mitos.
Aspek mitos dipengaruhi dari gaya India. Konsep asli Kamboja “roh air” bercampur dengan konsep “nāga” India, yang dalam perjalanannya terjadi Indianisasi.
3) Jamadevi
Ratu Jamadevi Kerajaan Hariphunchai di Thailand, sekitar tahun 659-688 M.
Jamadevi atau Camadevi; pada mulanya adalah penguasa pertama Hariphunchai (Pali: Haribhuñjaya), yang merupakan kerajaan Mon kuno di bagian Utara Thailand saat ini.
Catatan mengenai Camadevi menyebutkan, dalam sebuah buku berjudul “Chinnakanmalipakon” mengatakan, bahwa Camadevi memerintah pada tahun 662 M selama 7 tahun.
Berdasarkan penelitian Manit Wallipodom, Camadevi lahir pada tahun 623, memerintah pada tahun 632 M, atau selama 17 tahun, dan meninggal pada tahun 715 pada usia 92 tahun.
Sedangkan menurut Legenda Camadevi yang diterjemahkan oleh Suttavari Suwannapat menyebutkan, bahwa Camadevi lahir pada tahun 633, memerintah pada tahun 659 hingga 688 dan meninggal pada tahun 731.
4) Ratu Shima
Kerajaan Kalingga di Indonesia, sekitar tahun 674 M.
Ratu Shima memerintah di Kerajaan Kalingga atau Holing atau Keling di Jawa Tengah pada abad ke-7. Diperkirakan ibu kota Kalingga saat ini terletak di sekitar Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Ratu Shima mewarisi bentuk keadilan dan praktik kejujuran kepada masyarakatnya, yang mana telah menginspirasi orang Indonesia hingga saat ini.
Ratu Shima berkuasa selama 21 tahun dengan mencapai masa keemasannya. Keemasannya di bidang pertanian dan perdagangan. Geo-politik dan geo-strategi Ratu Shima membawa kerajaan Kalingga sukses sebagai kerajaan maritim dan pusat perdagangan dunia di sepanjang pesisir Utara Jawa, yakni di laut Jawa.
Ratu Shima sangat toleran, mengijinkan berbagai agama, budaya dan etnis untuk berinvestasi di Kalingga. Selanjutnya, dinasti ini yang melahirkan dinasti Medang atau kerajaan Mataram Hindu. Leluhur Ratu Shima didahului oleh kerajaan Sunda.
Kerajaan Medang (Mataram kuno) di Indonesia,
sekitar tahun 947 M.
Sri Isyana Tunggawijaya adalah raja perempuan Kerajaan Medang yang memerintah sejak tahun 947. Tunggawijaya memerintah berdampingan dengan suaminya, Sri Lokapala.
Sri Isyana Tunggawijaya adalah putri dari Mpu Sindok, raja yang telah memindahkan istana Kerajaan Medang dari Jawa Tengah (Prambanan) ke Jawa Timur (Wwtan/Magetan). Suaminya, Sri Lokapala, adalah seorang bangsawan dari pulau Bali.
Menurut prasasti Gedangan berangka tahun 950 yang berisi pemberian Desa Bungur Lor dan Desa Asana kepada para pendeta Buddha di Bodhinimba. Prasasti tersebut juga di perbaharui oleh kerajaan Majapahit sebagai prasasti Tinulad. Tradisi di kerajaan Medang, prasasti disakralkan, apabila rusak atau hilang harus diganti dengan yang baru.
Tidak diketahui secara dalam pemerintahan dinasti ini, kapan masa pemerintahan Sri Lokapala dan Sri Isyana Tunggawijaya berakhir. Menurut prasasti Pucangan, raja terakhirnya adalah putra mereka, yakni Sri Makuthawangsawardhana.
Kerajaan Singhasari atau Tumapel di Indonesia, sekitar tahun 1222 – 1227 M. Saat ini lokasinya berada di kawasan Malang Raya, provinsi Jawa Timur.
Ratu Prajnaparamita tak lain adalah Ken Dedes sebagai ratu pertama di Kerajaan Singhasari. Merupakan permaisuri Ken Arok, penguasa pertama Singhasari, setelah berhasil merebut kekuasaan dari Kerajaan Kadiri.
Ratu Prajnaparamita dianggap sebagai asal usul silsilah raja-raja yang memerintah di Jawa selanjutnya. Disebut sebagai ibu agung dari dinasti Rajasa.
Ratu Prajnaparamita merupakan perwujudan kecantikan yang sempurna sepanjang zaman oleh pemerintahan Singasari hingga Majapahit.
(bersambung bagian 2)
18 Penguasa Wanita, Ratu Legendaris di Asia Tenggara, 8 dari Nusantara (2)
Konstruksi Kerajaan di Jawa, Bangun-Hancur-Pindah (1)
Candi Barong, Local Content Bangsa Jawa
Aku Bersedih … Kugantungkan Harapan dan Cita-Cita Indonesia, Setinggi Candi Borobudur
10 Pemetaan Wilayah Kebudayaan Jawa Timur (1)
Geopolitik dan Strategi Sultan Agung Menuju Kejayaan Nusantara di Pentas Dunia (1)
Peradaban Palestina-Israel dalam Linimasa, Masa Abraham hingga Nabi Muhammad (1)