2023, Dicari Cendekiawan yang Jujur dan Mendobrak, Menyentuh Wacana Publik Tujuan Indonesia

- Cobalah di 2023 ini benar-benar dimulai dari hal yang substansi, konstruktif dan relevan dalam menjawab kebutuhan rakyat -

1 Januari 2023, 01:31 WIB

Pada bidang tata kelola berbangsa dan bernegara, justru budaya feodalisme terus tumbuh subur. Penghayatan dan praktik birokrasi yang sering terjebak pada budaya pencitraan, secara feodalistik mendorong orang tampil semu. Gebyar dan gebyarnya terus dinarasikan, yang itu semakin menjauh dari substansi pokoknya, yaitu cita-cita yang dimaksud.

Sangat membingungkan ketika harus membedakan mana itu institusi untuk rakyat dan institusi perusahaan (bisnis). Artinya, keberpihakan itu mengandung kepatuhan bukan pada rakyat, tetapi seijin korporasi. Dengan demikian, gebyar-gebyar tersebut terus diproduksi guna mengalihkan tujuan pokoknya.

Cilakanya, infiltrasi pada sisi regulasi tidak berpihak atau untuk digunakan menuju peta jalan keadilan dan kemakmuran, namun telah dikuasai oleh oligarki ekonomi Indonesia, yang itu berporos pada kepentingan internasional.

Seluruh hal hajat hidup rakyat, telah dikuasai oleh kelompok oligarki yang kecil tetapi besar (oligopolis). Jerat sistem di dalamnya telah masuk dalam rupa yang dipandang oleh rakyat sebagai tempat bersandar harapan, yaitu aneka institusi, nyatanya berkebalikan. Justru, karena faktor kekayaan alam dan potensi demografi Indonesia benar-benar panggung dan pasar dunia, bahkan berbisnis pada rakyatnya.

Kedaulatan semestinya yang mendasari semua ini. Demokrasi haruslah terus tumbuh, ekonomi dan keuangan juga kan seirama. Tetapi, harus diberikan porsi yang berimbang. Bila oligarki politik adalah hak, itu sah-sah saja, namun harus tumbang oleh berkembangnya ide dan gagasan atas nama demokrasi itu sendiri yang terus tumbuh. Justru, atas nama demokrasi-politik sebagai good will, pemegang kuasa harus mampu mengendalikan oligarki ekonomi. Kekuatan politik ataupun sudah menjadi oligarki politik misalnya, harus mampu memberikan bagian itu maksimal seperempatnya saja, atau 25 persen dari seluruh kedaulatan potensi Indonesia di segala bidang kepada kelompok oligarki ekonomi, selebihnya, 75 persen milik negara, negara adalah rakyat.

Jadi, oligarki ekonomi tetaplah penting sebagai bagian dari akumulasi di segala bidang, terlebih menyangkut kehidupan bernegara secara internasional, dalam bagian geopolitik dan strategi. Namun demikian, cukuplah 25 persen saja maksimal. Di sinilah tugas dari para cendekiawan tersebut.

Lantas, siapakah para cendekiawan tersebut, ya, mulai dari politisi, pejabat, akademisi, hingga tokoh-tokoh. Tentu sudah bisa dipahami posisi dan tanggung jawab seorang/kelompok cendekiawan tersebut.

Dengan demikian, mohon untuk tahun 2023 ini, yang merasa sebagai poros cendekiawan, cobalah untuk mengurangi dan menghapuskan budaya gebyar, mulailah untuk menyentuh wacana publik yang benar-benar nyata. Wacanakan dan praktikan sebagai bagian dari edukasi yang mencerahkan, mencerdaskan dan memanusiakan, yaitu dengan memberikan solusi atau jalan keluar, yaitu jalan keluar atas tujuan tersebut di atas.

Cobalah di 2023 ini benar-benar dimulai pada hal yang substansi, konstruktif dan relevan dalam menjawab kebutuhan rakyat yang seimbang. Imbang dalam konteks pembangunan manusia secara material dan spiritual.

Jangan lagi rakyat seolah-olah dituntun dalam mengentaskan kebutuhan hidupnya dari gelanggang ke gelanggang yang di dalamnya tidak jelas peta jalannya. Sebagai contoh, seolah-olah dibimbing dengan aneka produk UMKM, padahal produk UMKM pun sudah dimiliki habis oleh pelaku oligarki ekonomi di sektor UMKM. Itupun UMKM, bisa dibayangkan bila itu sektor pertambangan, kelautan, perkebunan, komunikasi, transportasi, dsb.

Terlebih lagi, sudahlah, jangan dibawa pada perdebatan, isu-isu yang terus dihembuskan, seperti perdebatan agama versus nasionalis. Tak relevan lagi usia ke-77 Indonesia masih dengan narasi “Dibanding-bandingke” pun “Dibenturbenturkan” hingga “Dikotak-kotak-kan“, dsb.

Namun cilakanya lagi, justru ide, gagasan, yang diharapkan menjadi dasar dari bertindak, yang selanjutnya akan melahirkan karya-karya yang ideal, yang turut menuju pada tujuan, justru sengaja dimatikan atau tidak diedukasi. Tujuannya tentu agar menjadi bodoh. Ketika sudah bodoh, di situlah sebagai jalan untuk menarik simpati demi tujuan kekuasaan. Jadi kebodohan, kebingungan, arah yang tidak jelas itu yang dapat memberikan ruang sebagai “komoditas”.

Rakyat terus dijadikan obyek yang harus dientaskan, dibantu, dimerdekakan, dimanusiakan, itu narasinya, padahal tidak ada road map-nya, karena memang by design politiknya seperti itu.

Namun demikian, para cendekiawan tersebut di atas, apakah hatinya sekejam itu? Penulis percaya, 95 persen bahwa para cendekiawan di atas tetap nawaitu-nya untuk rakyat, niatnya tetap untuk tujuan berbangsa dan bernegara yang adil dan makmur. Tetapi, apalah daya, kedaulatan politik para cendekiawan tersebut kalah telak dengan sekumpulan oligarki ekonomi.

Artinya, tiada berdaya menghadapi mereka, sekali melawan, disodorkannya dua pilihan, mau maju ada jurang, mau mundur telah disiapkan kuburan.

Nah, lantas harus bagaimana, ya, harus bersatu melawan oligarki ekonomi yang sudah membelenggu Indonesia ini sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Bila itu cendekiawan tersebut di atas, syaratnya hanya satu “dobrak dan dobrak”. Apakah semudah itu, tentu tidak! Maka, salah satu caranya adalah, berikan rakyat kejujuran, berikan rakyat pikiran, berikan rakyat ilmu.

Salah satu hal demikian adalah sejatinya ruh kedaulatan rakyat milik rakyat, tujuannya untuk mendobrak aristokrasi Indonesia yang sudah teramat kuat. Jadi, tidak usah kita “baper“, lawan kita itu bukan para cendekiawan yang menduduki pos-pos penyelengga negara ini, melainkan adalah aristokrasi atau oligarki ekonomi Indonesia, yang mana dari ukuran seratus, mereka para oligopolis oligopolis menguasai bagian di angka sembilan puluh.

Terkait

Terkini