A-MIN Idola Baru, Menjemput Kemenangan atau Menggali Kubur
Dari identifikasi dua faktor utama tersebut, yaitu framing Anies dan opini antitesis, yang bagian itu menjadi titik lemah, maka perlu dilakukan bongkar pasang komposisi yang revolusioner di tubuh KPP, tentu konteksnya Anies Presiden alias menang
Nusantarapedia.net | OPINI, POLHUKAM — A-MIN Idola Baru, Menjemput Kemenangan atau Menggali Kubur
“Menjadi pintu lebar dari celah masuk, bahkan menuju pintu gerbang kemenangan, itu nanti tergantung pengelolaannya seperti apa,”
Pun akhirnya Anies gagal total dalam radar kontestasi Pilpres dengan mati langkah
FRAMING politik identitas agama garis keras itu memang membuat terkungkung, tidak bisa mobile dengan enjoy, menyangkut perebutan suara elektoral di Jawa Tengah dan Jawa Timur, contohnya. Ya, sang bakal calon presiden Anies Rasyied Baswedan merasakan kerisauan ini, yang distigmakan sebagai bapak politik identitas dengan kelompok Islam yang super kanan terus dilekatkan – disematkan dengan hebat. Hingga akhirnya, “meninggalkan” AHY itu adalah keniscayaan, jalan untuk menjemput kemenangan, tanpa mengurangi esensi semangat perubahan itu sendiri.
Perlu disepakati, bahwa yang merasa kanan dan kiri, juga ideologi super kanan dan super kiri, bukanlah berbicara positif dan negatif, atau baik dan buruk. Itu adalah spektrum, keberadaannya adalah bagian dari kebangsaan ini di negara Indonesia. Yang Islam dan yang Nasionalis, yang Islam kanan dan Islam kiri harus ditempatkan sebagai elemen bangsa.
Pasangan bacapres-bacawapres Anies Rasyied Baswedan-Abdul Muhaimin Iskandar atau duet A-MIN yang diusung oleh partai Nasdem dan PKB, juga masih dalam bayang-bayang frame Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), yang terdiri dari koalisi partai Nasdem-Demokrat-PKS. Meski Demokrat sudah resmi keluar dari koalisi KPP dan mencabut dukungannya terhadap bacapres Anies Baswedan. Sedangkan PKS masih terlihat berada di KPP (A-MIN) mesti juga terlihat ada upaya menghitung ulang.
Dengan argumen memperoleh kemenangan, partai Nasdem dalam hal ini sang ketua umum Surya Paloh, juga bacapres Anies Baswedan, tentu sadar akan hal itu. Mempertahankan AHY atau tetap dengan komposisi KPP adalah mewakili semurni-murninya semangat perubahan, yang mana terkesan antitesis banget dari kebijakan kekuasaan, di samping dalam posisi yang jelas-jelas sebagai partai oposisi. Itu menjadikan tidak berkembang.
Opini publik dibentuk dengan semangat itu tentang Anies yang lagi-lagi itu atas framing untuk mengkerdilkan barisan ini, meski di bagian tertentu baik Anis, AHY (KPP) juga cair dengan siapa pun, juga dengan kekuasaan tentunya. Terlebih dengan Surya Paloh (Nasdem) yang jelas-jelas bagian dari kekuasaan. Meski arus utamanya barisan Anies (KPP) tetap mengusung semangat perubahan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan atau simpelnya kesetaraan. Itulah narasi khas Anies yang semestinya terus digaungkan di tempat barunya.
Dari identifikasi dua faktor utama tersebut, yaitu framing Anies dan opini antitesis, yang bagian itu menjadi titik lemah, maka perlu dilakukan bongkar pasang komposisi yang revolusioner di tubuh KPP, tentu konteksnya Anies Presiden alias menang.
Ialah Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, menjadi duet A-MIN. Mengapa? sudah pasti, problem Anies dua faktor di atas, akan terurai atau menjadi semangat pluralisme untuk mengikis isu polarisasi. Celah masuknya, bahkan menjadi pintu yang terbuka lebar melalui Cak Imin. Ya, Cak Imin, jelas warga NU (Nahdatul Ulama), juga ketua umum PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), yang notabene pemilih PKB, ya, warga NU, meski warga NU tidak semuanya PKB.
Menjadi pintu lebar dari celah masuk, bahkan menuju pintu gerbang kemenangan, itu nanti tergantung pengelolaannya seperti apa, yang jelas Anies/Paloh/KPP sudah berhasil memancing mendapatkan ikan besar. Suara PKB tentu ikan besarnya dengan suara nasional sebesar 13.570.970 (9,69%) dan kursi parlemen 58/575X100 = 10,08%. Bila digabung dengan suara Nasdem sejumlah 12.661.792 (9,05%) suara nasional dan kursi parlemen sejumlah 59/575X100 = 10,26%, maka Nasdem-PKB telah memenuhi ambang batas presidential threshlod (PT) sebesar 20% dengan gabungan kursi sebesar 20,34% atau 117 kursi. Bahkan elektabilitas dan popularitas PKB terus merangkak di atas Demokrat dan PKS dengan perolehan kursi Pileg 2019 sebanyak 54 dan 50 kursi. Selangkah PKB unggul.
Kemudian, mayoritas PKB adalah warga NU, meskipun NU menegaskan organisasinya tidak mewakili capres-cawapres tertentu, bahkan NU bukan PKB, namun di sinilah Anies dapat masuk ke warga nahdliyin melalui duet bersama Cak Imin ini. Sekaligus mematahkan stigma bahwa Anies tidak melulu berada di barisan Islam super kanan, tetapi juga fleksibel (cair) dengan Islam kiri, yang mana representasi NU ada di PKB atau sebaliknya. Pun sekalian mematahkan stigma antitesis kekuasaan, karena di Islam kiri ini rerata sebagai pendukung kekuasaan.
Jelas sudah maksud Anies/Paloh menggandeng Cak Imin. Jadi bukan soal Cak Imin-nya, tetapi kekuatan politik PKB dan NU-nya, juga PT 20%, itu yang menjadi target. Karena, bicara elektabilitas dan popularitas Cak Imin, jelas-jelas ada di bawah. Survei elektabilitas dan popularitas cawapres Cak Imin tak pernah masuk di angka 4 besar yang dihuni oleh nama-nama seperti AHY, Sandiaga Uno, Ridwan Kamil dan Erick Thohir. Contoh perbedaan elektabilitas antara AHY dan Cak Imin, AHY di angka 11,04% berbanding 0,8% (Cak Imin), versi Survei Indikator Politik, sementara Litbang Kompas dengan hasil 5,4% vs 0,4%. (survei periode 7 Agustus 2023).
Counter argument-nya sudah tentu, bahwa suara dukungan capres tidak linier dengan suara hasil partai, apalagi representasi real dari komponen basis massa ideologi. Misalnya suara PKB dan mayoritas warga nahdliyin akan memilih pasangan A-MIN. Tentu tidak linier seperti itu. Namun paling tidak, akses itu sudah didapatkan dari celah Cak Imin, perkara nanti menjadi pintu lebar hingga gerbang kemenangan, itu tergantung pengelolaannya seperti apa, pas atau tidak, hingga deal-deal strategis tertentu.
Melihat zig-zag Anies/Paloh dengan menghasilkan komposisi duet A-MIN ini, dengan segala potensi sumber daya yang melekat pada background (komponen) masing-masing termasuk organisasi (NU) dalam hal ini, menjadikan duet A-MIN ini digadang-gadang menjadi kekuatan politik besar. Urusan elektoral, A-MIN akan menjadi idola baru. Pasalnya jelas, ketika barisan kanan yang Islam bertemu dengan kelompok kiri yang Nasionalis, masih ditimpa dengan gabungan kelompok Islam yang kanan dan yang kiri melebur. Pendek kata menjadi gabungan koalisi Nasionalis-Religius, juga contohnya ketika Masyumi bersatu bersama NU. Inilah sebenar-benarnya kekuatan Islam (mengingatkan) kala bersatu dalam tujuan kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Komposisi ini benar-benar menarik, menjadi perpaduan yang lengkap secara organisasi. Sekumpulan organisasi utama, sayap, underbow ada didalamnya (melebur), taruhlah Muhammadiyah bisa masuk, NU ada, Ikhwanul Muslimin ok, dsb. Juga didukung oleh organisasi kemahasiswaan, seperti; HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) bisa bergabung, PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), dsb. Juga ada kesan intelektualnya, ada rasa akar rumputnya, proletarnya, dsb. Antara yang modern, moderat, tradisional, yang di kota dan di desa semuanya terakomodir. Inilah barisan besar dan kuat bila benar-benar ingin “Menggulung Kolonialisme – Menggelar Kesejahteraan” seperti yang diucapkan Anies dalam pidato deklarasi di Hotel Yamato.
Namun begitu sekali lagi, ini tergantung pengelolaannya sebagai strategi lanjutan untuk mendulang suara. Tentu Cak Imin sudah berposisi sebagai pintu pembuka, artinya selanjutnya bukan Cak Imin faktor, tetapi PKB dan NU faktor dalam kesatuan strategi menghapus stigma isu politik identitas dan antitesis kekuasaan. Di sinilah kenyamanan Anies/Paloh didapatkan.
Jadi, duet A-MIN ini dalam konteks ingin menang, kalau duet Anies-AHY atau duet Anies-Gatot misalnya, itu duet idealis. Semangatnya adalah perubahan melalui pemurnian perjuangan. Pyur wadah oposisi.
Dengan komposisi, konfigurasi dan analisis dasar seperti di atas, preferensi penulis setuju, bahwa A-MIN akan menang menduduki kursi RI 1 dan 2. Gelora A-MIN terus membesar, menjadi idola baru menembus batas ideologi dan kelas sosial.