Ade John Bala, S.H. Luar Biasa, Tipe Petarung! Semoga Usaha Diberkati dan Lancar
- Soal pokok kita, adalah tanah HGU Nangahale bahwa ini milik hak Suku Soge dan Goban Tana Ai. Statement ini sampai detik ini kembali ke pertanyaan dasar legal standingnya apa??? -
Nusantarapedia.net, Netizen | Artikel — Ade John Bala, S.H. Luar Biasa, Tipe Petarung! Semoga Usaha Diberkati dan Lancar
Oleh Marianus Gaharpung, dosen FH UBAYA Surabaya
MENDENGAR dan membaca narasi (ade) John Bala yang seorang pejuang HAM dan sekarang juga seorang lawyer, untuk kepentingan kedua masyarakat adat, yakni Suku Soge dan Goban ke Kementerian Agraria Jakarta, sangat kami acungi jempol.
Diskusi dan laporan berkas kepada pejabat Kementerian sudah diterima dan akan diproses. Itu kerjakan penerima kuasa. Semua itu memang demikian, karena sudah protap dari instansi pemerintah sebagai badan atau pejabat tata usaha negara dalam melakukan pelayanan publik. Dalam bahasa hukum adalah keberatan masyarakat (inspraag) dan wajib diterima dan diproses semua tetap berdasarkan bukti lapangan dan bukti surat, sekali lagi bukan CERITA NENE’ MOYANG YANG DIWARISKAN KEPADA AHLI WARIS.
Semua kerja Kementerian Agraria jelas tetap pada prinsip konstitusi negara, yakni Pasal 33 UUD 1945 yang mengatur dan menguasasi tanah-tanah di Tanah Air, sehingga ketika ada keluhan masyarakat pemerintah wajib akan serius meneliti, baik administrasi maupun cek lokasi berkaitan status hak tanah, sejarah kepemilikan dan sudah pasti didukung oleh bukti tertulis dan bukti faktual di lokasi.
Bagi kami selama kedua hal prinsip ini oleh suku-suku di “Tana Ai” tidak mampu membuktikan status kepemilikannya, maka proses pengurusan HGU oleh Gereja dalam hal ini PT Krisrama, akan terus diproses atau akan berlanjut. Karena negara pasti akan memberi privilege (kekhususan) kepada perorangan atau badan hukum yang mempunyai legal standing terhadap pihak yang melakukan permohonan atas hak tanahnya.
Contoh kasus di Pemkot Surabaya, hampir sebagian tanah di Surabaya sudah di atas 30 tahun oleh Pemkab Surabaya disewakan kepada warga Surabaya, seperti di daerah Ngagel, Duku Kupang, Gubeng, Kerjajaya, ribuah hektar ditempati warga masyarakat. Akhirnya, datang pejuang (LSM) dan beberapa tokoh Surabaya mengatasnamakan warga penyewa lahan datang menggeruduk ke Kantor Pemkot dan DPRD Surabaya. Akhirnya (ibu) Risma, sekarang Menteri Sosial melalui Kabag Hukum kebetulan alumnus FH UBAYA kontak FH UBAYA khusus Laboratorium Hukum Administrasi, karena agraria masuk ranah HAN, maka dibentuklah tim dosen hukum untuk membuat kajian hukum.
Kami sangat obyektif bahwa selama puluhan tahun Pemkab Surabaya sudah melanggar hukum. Alasannya, berbicara logika sewa lahan kepada pihak lain itu, artinya yang melakukan sewa dalam hal ini Pemkot Surabaya, adalah pemilik lahan tetapi negara tidak ada hak milik, tetapi hak menguasai dan mengatur. Jadi hanya bisa meletakkan tanah-tanah tersebut dengan status hak pengelolaan lahan, dan jika penghuni warga Surabaya sudah puluhan tahun menetap, bisa saja ditingkatkan menjadi hak pakai atau hak guna bangunan kepada warga.
Atas rekomendasi Laboratorium HAN FH UBAYA, masyarakat kota Surabaya merasakan mendapatkan angin segar, maka Wakil Walikota waktu itu (pak) Wisnu mengundang FH UBAYA berdiskusi di auditorium FH UBAYA bersama LSM dan tokoh-tokoh pentolan masyarakat Surabaya. Dalam diskusi diputuskan mengundang DPR RI pada Komisi yang membidangi masalah pertanahan, kemudian diskusilah di UBAYA.
Rekomendasi akan ditindaklanjuti permintaan warga Surabaya. Dan waktu itu, Wakil Walikota Surabaya mengarahkan warga masyarakat menuntut hak milik, silahkan untuk konsultasi ke Komisi Pemberantasan Korupsi jika ada surat KPK rekomendasi, bahwa boleh dialihkan jika sudah ada bukti menetap di atas tanah lebih dari 30 tahun, maka Pemkab Surabaya akan terbitkan sertifikat hak milik. Akhirnya toh tidak jalan sampai hari ini.
Atas dasar fakta hukum ini, pertanyaan mendasar alasan hak apa warga Surabaya menuntut hak milik jawaban “Nol” karena tidak ada legal standing.