Adu Elektabilitas Sudah Dimulai, Saling Klaim Itu Hak! Dimana Etikabilitasnya?

Ya, mereka semuanya, dari para calon, think tank, kader, simpatisan, pendukung hingga para influencer punya hak untuk membangun image, membuat framing dan menggiring opini publik untuk dan dari 'junjungannya,' sah-sah saja!

24 Mei 2022, 18:05 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Polhukam, Opini — Adu Elektabilitas Sudah Dimulai, Saling Klaim Itu Hak! Dimana Etikabilitasnya?

“Harapan yang terakhir, semoga selama waktu dua tahun kurang tiga bulan ke depan, tetap fokus dan konsentrasi pada penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak dalam rangka berkompetisi menaikkan elektabilitas sampai di Februari 2024. Takutnya, rakyat kurang terurus.”

Gelaran Pemilihan Umum 2024 akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024. Sekitar dua tahun kurang tiga bulan dari sekarang. Pemilu akan dilaksanakan untuk memilih anggota DPR RI, DPD, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, dan tentunya Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

Pemilu bertajuk ‘Serentak’ tersebut akan menghabiskan dana sekitar Rp.76 triliun lebih dari anggaran APBN multiyears. Setelah gelaran paket Pemilu di tanggal 14 Februari terselenggara, dilanjutkan dengan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) untuk memilih Gubernur, Bupati dan Walikota yang di helat serentak di 34 Provinsi dan 514 Kabupaten dan Kota seluruh Indonesia pada 27 November 2024.

Saat ini para kandidat calon presiden dan wakil presiden sudah terlihat pergerakannya, dengan manuver-manuver politik, lobi-lobi, silaturrahmi, safari, untuk tes ombak dan pasang kuda-kuda. Hampir para tokoh yang populer dengan punya partai dan tidak punya partai sudah mulai bersafari di jagad nyata dan jagad maya, begitu juga tokoh yang tidak populer tapi punya partai juga sama. Tentu tujuannya tidak harus menjadi presiden atau wakil, banyak motivasi dan target-target berdasarkan potensi masing-masing.

Dengan aturan berdasarkan UU Pemilu, ‘presidential threshold’ atau ambang batas syarat pencapresan menggunakan dasar perolehan jumlah kursi DPR dan atau suara sah nasional pada pemilu legislatif sebelumnya (2019). Untuk presidential threshold ditetapkan sebesar 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% dari suara sah nasional.

Dengan syarat yang berat tersebut, tidak ada satu pun partai yang berhasil lolos mengusung capres sendiri, kecuali PDI-Perjuangan dengan perolehan kursi di DPR sebesar 22,26% kursi atau 19,33% suara sah nasional. PDI-P tidak butuh koalisi, secara yuridis memenuhi persyaratan sebagai partai tunggal pengusung capres. Tentu, alasan politis dan strategis untuk berkoalisi itu sudah pasti.

Saat ini dunia dalam genggaman nyata adanya. Akun sosial media para tokoh, politisi hingga para penggembira mulai gas tipis-tipis menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat, yang mana dimaksudkan untuk membangun komunikasi publik agar mendapatkan simpati dari rakyat (calon pemilih).

Beragam narasi, gaya, publik speaking, hingga program yang tengah dijalankan bagi yang masa jabatannya belum berakhir maupun yang posisinya ‘free’, sambil menyelam minum air digunakannya kesempatan tersebut. Framing opini yang ditebarkan dalam kesatuan produksi audio visual, narasi pers rilis (ruang kemediaan) pada kegiatan-kegiatan di lapangan menjadi tontonan harian rakyat Indonesia, setidaknya sudah di mulai sejak tiga bulan yang lalu, dan akan mulai meningkat intensitasnya ke depan selama dua tahun kurang tiga bulan. Sungguh tempo permainan yang sangat panjang namun mengasyikan kas panggung politik Indonesia.

Ya, mereka semuanya, dari para calon, think tank, kader, simpatisan, pendukung hingga para influencer punya hak untuk membangun image, membuat framing dan menggiring opini publik untuk dan dari ‘junjungannya,’ sah-sah saja!

Sebagai rakyat, mestinya berterima kasih kepada mereka semua atas keberpihakannya selama ini pada rakyat, tentunya pada kebijakan-kebijakan yang selama ini telah dijalankan, bagi yang memegang kekuasaan di semua tingkatan atau yang sudah tidak berkuasa. Mereka sudah menjadi pahlawan dari rakyat yang telah memikirkan banyak hal agar kehidupan rakyat menjadi baik, atau dalam konteks tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara yang maju, adil, makmur, sejahtera, berkemanusiaan dan berkeadilan.

Namun demikian, nyatakah semuanya itu? linierkah fakta kehidupan rakyat saat ini dengan kesadaran akan kekayaan sumber daya alam, nyatakah? tercapaikah dalam tujuan konstitusi. Dalam hal ini, indikator fakta lapangan yang dirasakan sebagai rakyat miskin adalah berbicara soal hak hidup, hak yang dimiliki oleh manusia secara kodrati.

Belum lagi berbicara soal pembangunanisme yang semu, yang diperuntukkan untuk akses kemudahan para kapitalis dan neolib dunia, sedangkan pembangunanisme untuk rakyat yang ujung-ujungnya menciptakan rakyat masuk dalam pusaran kemiskinan dengan memproduksi buruh-buruh baru yang terus bertambah.

Disaat posisi terjebak dalam pusaran seperti itu, datanglah pahlawan dengan membawa bantuan-bantuan untuk penyelamatan rakyat dengan display keberpihakan dan kepedulian sebagai tanggung jawab organisatoris dan institusi. Selfi sana-sini, jargon, tagar dan pernak-pernik framing segera dipublikasikan dan di push oleh influencer masing-masing dengan massivnya, bahwa keberpihakan kepada rakyat itu telah hadir.

Perkara konstruktif, membangun, mencerdaskan, membodohkan, semu, dlsb, itu urusan lain, yang terpenting di permukaan sudah memenuhi banyak aspek perihal norma, aturan, tanggung jawab hingga sisi kemanusiaan. Seolah-olah sudah menggugurkan kewajiban tersebut.

Pencitraan

Saat ini sudah banyak beredar hasil polling untuk elektabilitas dan popularitas calon presiden maupun wakil presiden. Hasil polling lembaga survei A hingga G tentu hasilnya berbeda-beda. Ditengarai itu karena pesanan dari masing-masing calon demi menggiring opini publik tadi agar terlihat sebagai calon dengan elektabilitas dan popularitas tertinggi.

Selain karena pesanan, memang track record dan pengelolaan media sangat berpengaruh besar pada image seorang calon dari penilaian dan pendapat rakyat berdasarkan pengelolaan corong media tersebut. Akhirnya, menjadi hal yang lumrah bahwa, para poros atau kaum intelektual negri saat ini ikutan riuh dengan sering tampilnya di sosial media. Baik juga, meski kadang juga narsis dan tidak mendidik, karena terlalu dibuat-buat.

Tidak salah, dan selalu bisa memanfaatkan celah demi memperoleh kemenangan atau target yang diharapkan, itu sifat dan watak dari ‘politik praktis’, seperti dengan melibatkan dan memanfaatkan sosial media atau jasa lembaga survei, perkara menggiring pada pembodohan dengan tidak mendidik dan kebenarannya diragukan, itu tidak masalah yang penting tidak melakukan tindakan yang melawan hukum.

Dengan demikian, kembali pada ‘moral clarity’ dari para calon-calon yang akan memimpin bangsa ini, bila itu yang dimaui dan rakyat menyetujui, apa boleh buat. Namun, dimanakah letak membangunnya dari sisi membangun jiwa dan raga, intelektual, sikap (attitude), nurani, keadaban, kemanusiaan, bagi seorang yang di depan, dianut, diikuti.

Bila sudah menyadari sebagai seseorang atau tokoh publik figur yang segala sesuatunya akan diikuti oleh rakyat, terlebih para calon pemimpin, maka seyogyanya harus menyadari bahwa dirinya sebagai ‘poros intelektual,’ yang mana keberpihakan kepada rakyat bukan hanya soal materi, tetapi keberpihakan intelektual untuk mencerdaskan dan membuat pencerahan kepada segenap umat (rakyat).

Begitu juga dengan hal survei-survei tersebut, harapannya tidak hanya sekedar menaikkan elektabilitas dan popularitas, tetapi harus bisa menaikkan ‘etikabilitas,’ sebagai kaum intelektual calon pemimpin bangsa yang memberi suri tauladan yang komprehensif, substansif, memanusiakan, mencerdaskan dan membuat akal sehat rakyat menjadi tumbuh dan berkembang dengan pikiran-pikiran baru.

Banyak fakta yang terjadi, bahwa pola yang diterapkan demi sebuah target, kekuasaan, tujuan dlsb, masih menggunakan pola feodal dengan mengurung rakyat pada kebodohan yang tersusun sistematis. Dengan kebodohan, kekuasaan atau tujuan tersebut akan sebegitu mudah untuk dilanggengkan, dan rakyat mudah dikendalikan. Padahal, belum tentu, memberikan praktik kejujuran-kecerdasan pikiran pada rakyat akan menjadi boomerang. Justru disitulah poinnya, kampanye ataupun kebijakan gaya baru dinantikan oleh rakyat.

Dan, bagi lembaga-lembaga survei pun juga sama, semuanya kembali pada kejernihan berpikir dan niat untuk membangun manusia (bangsa) seutuhnya, tidak hanya sekedar mana yang tertinggi elektabilitasnya, yang akhir-akhir mulai riuh dengan hasil-hasil survei calon presiden.

Dengan demikian pada poinnya, sering prinsip-prinsip dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara oleh banyak pihak dari hulu sampai hilir tidak sepenuhnya berlandaskan pada konstruksi kebenaran, kejujuran dan keadilan (veritas, probitas, yustisia), hingga pencitraan itu kemudian menjadi keharusan yang membudaya dan biasa, belum lagi persoalan manipulatif data di dalamnya untuk suatu tujuan kepentingan atau pembenaran argumentasi yang tidak konstruktif.

Etikabilitas dan Kejujuran Pencerdasan Dalam Tujuan Ideal

Lantas harus bagaimana di tengah kekompetitivan menuju kursi capres-cawapres 2024 dengan pendekatan dan visi misi yang konstruktif dan substansif, bukan hanya sekedar sensasi-sensasi yang parsial.

Kembali soal kesadaran etika politik atau ‘moral clarity’ setiap insan dalam konstruksi sebagai calon pemimpin negara yang memikul tugas berat sesuai amanat konstitusi.

Para calon harus mempertontonkan aspek intelektual dan etika dalam memperoleh kekuasaan dengan cara-cara yang mendidik dan mencerdaskan. Konsekuensinya memang harus siap kalah dan siap tidak populer. Tetapi, bila itu diterapkan oleh semua pelaku politik (calon) dengan standart yang sama, pada akhirnya bukan politik pencitraan lagi yang dipertontonkan, tetapi politik akal sehat yang selalu membawahi tujuan dalam konstitusi.

Hal tersebut bukan berarti nir-kompetisi, bisa dikatakan itu kompetisi untuk urusan yang tidak melibatkan hajat hidup rakyat banyak, dalam arti bangsa dan negara. Karena ini menyangkut kehidupan berbangsa, maka kompetitif yang dimaksud tetap berlandaskan pada cara-cara yang beradab, penuh etik dan mencerdaskan bagi calon yang akan dipimpinnya.

Memang, harapan tersebut seperti omong kosong saja, tapi bagaimanapun lagi, ini dalam konteks tanggung jawab pada kehidupan rakyat Indonesia.

Saya berharap kepada calon-calon presiden dan wakil presiden, maupun calon legislatif dan kepala daerah agar berani berkampanye dari road map saat ini menuju kampanye 2024 dilakukan dengan tindakan, perbuatan dan pikiran yang konstruktif, substansif dan mencerahkan, tentu dengan etika politik, bukan elektabilitas pencitraan semata.

Adakah saat ini dan nanti muncul calon pemimpin yang revolusioner dan berani dengan upaya menumbuhkembangkan pikiran-pikiran baru bangsa dengan akal sehat dan kecerdasan.

Misalnya, “Saya akan mencalonkan presiden dan wakil presiden Indonesia, namun saat ini kita di tengah situasi global yang tidak berpihak pada kita, karena kita sudah jauh ketinggalan dalam hal teknologi. Untuk itu, Indonesia harus kembali merekonstruksi sistem pertaniannya menjadi “Kapitalisasi Industri Pertanian Mandiri Indonesia” dari hulu sampai hilir.”

“Dengan demikian, targetnya adalah menjadikan Indonesia sebagai penyedia pangan global sebesar 30%. Dengan demikian, kita tidak takut lagi akan pemenuhan kebutuhan pangan kita, sekaligus sebagai eksportir pangan dunia.”

“Selain itu, rakyat Indonesia harus makan daging, ayam, ikan, telur, dan minum susu setara dengan standar bangsa Eropa, semua ini harus kita wujudkan, bukan sesuatu yang muluk-muluk atas kesadaran alam Indonesia yang subur.”

“Saudara-saudara, meski ini berat dan mustahil bisa dicapai dalam satu periode kepemimpinan 2024-2029, atas limpahan sumber daya alam dan cadangan energi Indonesia, harusnya selama 12 bulan dalam satu tahun, kita cukup bekerja selama 6 bulan, itu sudah lebih dari cukup bila dikonversi dari kekayaan mineral yang kita punya.”

“Saudara-saudara, harusnya kita tidak pusing dengan urusan kesehatan kita yang diwajibkan untuk iuran, harusnya urusan kesehatan sudah selesai, se-Selesai-selesainya, atas dasar kekayaan yang melimpah terkonversi dengan nilai mata uang.”

“Saudara-saudara, seharusnya, pendidikan kita gratis sampai jenjang perguruan tinggi, atas harta kita yang melimpah.”

“Dengan ini saudara-saudara, program kami adalah, bagaimana BUMN menjadi benar-benar BUMN sampai tingkat BUMD sebagai lokomotif ekonomi Indonesia, meski apapun yang terjadi, kita akan dimusuhi oleh dunia, namun ini pilihan kita sebagai bangsa dan negara atas cita-cita para pendiri bangsa.”

“Namun demikian saudara-saudara, apabila saya terpilih nanti, kita ajan wujudkan pencapaian tersebut, meski itu tidak mungkin hanya selama lima tahun, harus butuh waktu selama 15 tahun.”

Nah, di atas adalah contoh pergerakan, manuver, safari-safari, kampanye, visi misi dan sebagainya yang jujur dan mencerdaskan untuk digaungkan. Tidak hanya sekedar mengekploitasi kaum yang miskin yang selalu dijadikan narasi untuk dientaskan, karena sesungguhnya, kemiskinan adalah sesuatu yang sudah jelas diamanatkan dalam hukum konstitusi untuk dientaskan.

Masihkah membangun politik pencitraan menuju 2024? Terserah semuanya! Yah, ini adalah harapan kita pada harapan pilpres langsung dengan ambang batas 20% dan 25% presidential threshold. Karena idealnya, makna pemilihan presiden secara langsung dengan tidak menggunakan aturan ambang batas atau ambang batas 0%, seperti yang disuarakan oleh Rocky Gerung, juga sebagai jawaban atas narasi yang tidak substansi namun penuh sensasi akibat sesaknya menuju tiket pencapresan.

Harapan yang terakhir, semoga selama waktu dua tahun kurang tiga bulan ke depan, tetap fokus dan konsentrasi pada penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak dalam rangka berkompetisi menaikkan elektabilitas sampai di Februari 2024. Takutnya, rakyat kurang terurus.

Moral Clarity dan Etika Politik Poros Intelektual
Aktualisasi Semangat Kebangkitan Nasional Indonesia Sebagai Substansi Bukan Sensasi
11 April Potret Sosial Teks Indonesia (1)
Geopolitik Negara dan Sumber Daya (1)
Transformasi Pertanian Subsisten Menuju Kapitalisasi Industri Pertanian Mandiri
Arah Gula Nasional, dari Raja Gula, Swasembada dan Impor
Budaya Katuranggan para Pria Jawa
Geopolitik dan Strategi Sultan Agung Menuju Kejayaan Nusantara di Pentas Dunia (1)
Candi Barong, Local Content Bangsa Jawa
Dewandaru Berenergi Spiritual Besar Hanya Ada di 3 Lokasi (1)
Kronik Kali Opak, dalam Romantisme, Manajemen Air dan Gempa (1)
Aloha ‘Oe, Maluku Tanah Pusaka hingga Pulanglah Uda menjadi Motif Lagu Budaya
Zinidin Zidan, Kena Mental dan Dramaturgi

Terkait

Terkini