Agama Hanyalah Tafsir Kehidupan
Nusantarapedia.net | OPINI, RELIGI — Agama Hanyalah Tafsir Kehidupan
Oleh : Alvian Fachrurrozi
“Dengan memahami semua hal ini, dengan merevolusi pemahaman bahwa agama hanyalah semata tafsir kehidupan, maka kiranya setiap umat dari agama manapun akan dapat dan mampu untuk berendah hati, untuk tidak congkak dalam memegang kebenaran agamanya. Serta dengan pemahaman ini setiap umat beragama akan mempunyai harapan untuk dapat mempelajari sains dan segala macam ilmu pengetahuan dengan begitu damai, obyektif, dan tanpa was-was atau prasangka iman yang ilusif. Bahkan juga akan mampu untuk memunculkan “sikap adil” sejak dalam pikiran, hingga sampai di titik tertentu akan dengan jujur dan legawa mampu menerima jika ada yang salah atau yang sudah kadaluarsa di sebagian ajaran agamanya untuk diterapkan di kehidupan zaman sekarang”
DALAM agama keluarga dimana saya dilahirkan yakni Islam, terutama kelompok di luar NU dan Muhammadiyah, masih banyak saja yang melekati cara berfikir ekstrim nan primitif. Dimana orang bisa otomatis saling membenci dan saling menyumpahi yang lain masuk neraka, hanya karena beda tafsir atau pemahaman mengenai kitab induk agama. Semua itu berakar pada satu hal. Konon meski setiap pakar agama Islam itu diperbolehkan dan dibebaskan menafsirkan kitab, tetapi di satu sisi juga secara kaku harus bertekuk lutut pada dogma yang mengatakan: “Dari sekian banyak golongan penafsir Islam, hanya akan ada satu golongan yang benar dan diselamatkan”.
Nah jika dipikir-pikir, ini sebenarnya jebakan ataukah lelucon?
Dengan dogma yang ambigu dan memunculkan ketakutan perasaan berada di golongan yang salah itulah, kebanyakan umat Islam atau bahkan umat agama apapun yang punya dogma yang sama akan selalu memunculkan iman yang was-was. Maka untuk menenangkannya, mereka mau tidak mau harus menumbuhkan ego yang merasa dirinya telah berada di golongan yang benar, auto menyalahkan semua kelompok yang beda tafsir, dan kemudian tentu tidak ketinggalan juga mengutuk mereka yang beda tafsir itu dengan sebutan sesat atau bakalan masuk neraka.
Akhirnya setelah bertahun-tahun kemudian saya menyadari, beragama dengan cara yang seperti itu rasa-rasanya kok sangat dangkal, kekanak-kanakan, dan tidak memuaskan kehausan rohani saya sama sekali. Dan kemudian setelah saya meneliti satu demi satu ajaran berbagai agama, akhirnya saya sampai pada titik kesadaran, bahwa bukan hanya tafsir kitab agama saja yang relatif dan ciptaan manusia. Bahkan agama sendiri itu pun juga hanyalah sekedar tafsir dari manusia mengenai kehidupan. Ya, tentu saja memang bukan manusia biasa, melainkan manusia-manusia linuwih yang begitu tanggap dan reseptif sehingga diberkati menjadi wadah penyambung lidah dari sesuatu yang akbar di balik jagat raya. Dan berangkat dari kesimpulan itu, maka jelas kebenaran agama pun juga bisa relatif, karena bagaimanapun agama tidak bisa dilepaskan dari konteks waktu dan konteks pengaruh budaya dimana agama itu terlahir.
Ya, sekali lagi “agama bagi saya hanyalah sekadar tafsir manusia mengenai kehidupan” dan saya sulit percaya kitab suci agama manapun adalah sabda langsung atau omongan mentah-mentah dari Tuhan. Dan sekiranya dengan seiring berjalannya waktu, tafsir agama mengenai kehidupan itu besar kemungkinan bisa terkontaminasi delusi, mitologi, mimpi, imajinasi dari para pakar yang menafsirkan agama itu sendiri, meski tentu tidak menutup kemungkinan jika masih ada beberapa ajaran murni yang berasal dari pencerahan, dari penembusan langsung akan kebenaran (ketuhanan) hasil olah spiritual manusia-manusia linuwih pembawa ajaran itu sendiri.
Dan sekiranya untuk dapat membedakan dan memfilter kedua hal itu, tentu saja tergantung pada seberapa jeli mata kesadaran kita dalam mengamati dan menghayati inti ajaran agama.
Dalam kesadaran saya, Tuhan itu adalah Realitas Yang Maha Cerdas dan saya tidak dapat menerima jika Tuhan digambarkan begitu sangat dangkal dalam kitab beberapa agama. Ya, meskipun harus saya akui ada satu sisi dimana kitab-kitab beberapa agama itu menggambarkan Tuhan dengan sangat indah, tapi saya tidak bisa menutup mata akan fakta kekonyolan juga di sisi lainnya.