Agnostik dan Konstruksi Kepercayaan

Puncaknya adalah ketika manusia mulai berpikir bahwa sesuati terjadi tidak hanya karena peristiwa sebab akibat yang alami, namun juga sebab akibat yang bersifat maknawi, profan dan menyimpan pesan.

21 Juni 2022, 00:48 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Religi — Agnostik dan Konstruksi Kepercayaan

“Secara terminologis, agnostic adalah orang yang memiliki pandangan bahwa ada atau tidaknya Tuhan tidak dapat diketahui. Agnostic lawan kata dari gnostik yang artinya bahwa Tuhan dapat diketahui sebagai ada atau tidak.”

Masyarakat cenderung salah kaprah mengartikan agnostik. Semua persepsi cenderung mengarah ke konsep atheis. Padahal keduanya berbeda jauh. Baik secara pengertian, makna, budaya dan ranah kajiannya.

Konsep keyakinan, agama dan beragama sudah dikenal sejak manusia mulai mengenali kebutuhannya. Kebutuhan dalam menemukan pegangan dan pedoman hidup. Edward B. Taylor berpendapat bahwa agama berakar dalam gagasan tentang jiwa dan beragumentasi bahwa setelah manusia itu ada,maka muncullah keyakinan bahwa aneka ragam makhluk ada kaitannya dengan berbagai ruang lingkup dan hakikat manusia.

Sekitar lima belas ribu tahun lalu adalah titik tumpu untuk memahami lebih dekat kemampuan untuk percaya sebagai bagian esensial yang mendefinisikan manusia. Disebut esensial karena, untuk memahami kehidupan yang kian kompleks, manusia harus memiliki kepercayaan. Kepercayaan ini yang kemudian melahirkan simbol-simbol baik simbol kebendaan maupun simbol-simbol dalam bentuk ritual.

Puncaknya adalah ketika manusia mulai berpikir bahwa sesuati terjadi tidak hanya karena peristiwa sebab akibat yang alami, namun juga sebab akibat yang bersifat maknawi, profan dan menyimpan pesan.

Manifestasi kultur ini ini dapat disaksikan ketika manusia memahami fenomena kematian, perubahan cuaca, bencana alam, kelahiran, dan fenomena alamiah lainnya yang tidak hanya sebagai keniscayaan alam, melainkan turut juga menjelaskan mengapa semua itu terjadi. ini akan terus berkembang untuk menjawab hajat hidup manusia dengan melahirkan seperangkat nilai yang baru, seperti ideologi.

Kultur ini diterapkan dan menjadi konsensus bersama. Akhirnya manusia mengharuskan dirinya untuk membuat komitmen terhadapnya, dan komitmen itu memaksa manusia untuk selalu tunduk di dalamnya. Mereka yang melanggar dihukum dan dikucilkan dari kelompok.

Lalu bagaimana dengan agama?

Agama yang terlembaga dan lahir dari kultur manusia, menurut Fuentes, baru muncul sekitar 4000-8000 tahun lalu. Kemunculan agama ini ditandai oleh penciptaan makna (meaning-making) mengenai sesuatu yang transenden, seperti Tuhan, Dewa, atau entitas ilahiah lainnya yang dipercaya memiliki andil dalam menentukan nasib manusia.

Asal mula kajian ilmiah tentang agama umumnya dapat dilacak pada akhir abad 19 dan awal ke-20, khususnya karena pengaruh Renaisans, dalam disipli- disiplin keilmuan yang berbeda seperti linguistik, kajian-kajian tekstual, bidang-bidang studi yang sedang muncul seperti antroplogi, sosiologi, arkeologi, dan dalam bidang kelimuan yang dikenal sebagai Religionswissenchaft sains agama.

Tujuan utama dari keilmuan tersebut pada masa-masa awal adalah untuk memberikan deskripsi yang objektif, khususnya untuk komunitas akademis Barat, tentang berbagai aspek kehidupan beragama di seluruh dunia.

Para ilmuan agama modern saat itu bersikukuh untuk membebaskan pendekatan dan disiplin mereka dari penyelidikan-penyelidikan pramodern yang penuh dengan asumsi-asumsi dan penilaian-penilaian subjektif dan normatif, ketergantungan pada supranatural dan otoritas eksternal lainnya, serta kehilangan perhatian terhadap standar-standar pengetahuan obyektif yang akurat. (Allen, 2005)

Sebagaimana pandangan Fuentes tentang agama bukanlah sebagaimana umum dipahami sebagai sebuah sistem kepercayaan dengan doktrin yang mengikat, tempat-tempat sakral, dan praktik peribadatan. “Agama” yang dimaksud oleh Fuentes adalah “menjadi religius” (being religious), yang menjadi modus manusia dalam memaknai kehidupannya. Dengan kalimat lain, “menjadi religius” bagi Fuentes berusia lebih purba dari agama sebagai sistem kepercayaan.

Jelas bahwa kajian ‘agama’ semula bagaimana menjadikan manusia tawadu, menjunjung tinggi kemanusiaan, bukan tentang doktrin-doktrin, properti-properti, tempat-tempat sakral, apalagi ritus-ritus peribadatan.

Munculnya agama sebagai sistem kepercayaan menumbuhkan sebutan-sebutan baru atas konsekuensi ‘pemaksaan’ kepercayaan yang diikuti, yakni sebutan atheis, agnostic, orthodox, fanatis, fundamentalis, dsb.

Manusia Modern dalam Lingkaran Agnosistik

Agnostik sebenarnya merupakan istilah populer dari agnostisisme. Agnostisisme berasal dari bahasa Yunani, “gnostein” artinya tahu; mengetahui dan “a” artinya tidak. Sementara secara harfiah, agnostisisme adalah seseorang yang tidak mengetahui.

Menurut seorang filsuf bernama William L. Rowe, agnostik adalah seseorang yang tidak percaya atau mendustakan keberadaan Tuhan. Kemudian dalam arti sempit, agnostik adalah pandangan bahwa akal manusia secara rasional tidak mampu membenarkan atas keberadaan Tuhan.

Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), agnostic adalah orang yang berpandangan bahwa kebenaran tertinggi (misalnya Tuhan) tidak dapat diketahui dan mungkin tidak akan dapat diketahui.

Secara terminologis, agnostic adalah orang yang memiliki pandangan bahwa ada atau tidaknya Tuhan tidak dapat diketahui. Agnostic lawan kata dari gnostik yang artinya bahwa Tuhan dapat diketahui sebagai ada atau tidak.

Dalam perkembangannya akhirnya agnostic terbagi dalam beberapa bentuk, yakni ;

1) Agnostik Ateisme
Kategori agnostik ateisme adalah mereka yang ragu mengenai keberadaan Tuhan. Sehingga mereka memilih untuk tidak mempercayai adanya Tuhan.

2) Agnostik Teisme
Golongan ini ragu mengenai keberadaan Tuhan, namun memilih mencoba mempercayai Tuhan secara personal. Sehingga, mereka tidak butuh memeluk suatu agama tertentu untuk menyembah Tuhan. Menyelaraskan diri dalam aktivitas spritualitas yang universal dan menyeluruh.

3) Apatis atau Agnostisisme Pragmatis
Mereka yang termasuk ke dalam bentuk agnostik pragmatis memiliki pandangan bahwa tidak ada bukti yang menunjukkan ada atau tidaknya Tuhan dalam bentuk apapun.

Agnostik Berbeda dengan Ateisme

Secara sederhana, agnostik seringkali hampir disamakan dengan paham ateisme. Padahal, sebenarnya keduanya mengandung pengertian dan praktik yang berbeda.

Seseorang yang menganut paham ateisme, secara tegas menyakini Tuhan itu tidak ada. Bagi mereka, alam semesta (termasuk makhluk di dalamnya) merupakan proses alamiah yang terjadi dalam rentang waktu yang sangat panjang.

Di tengah masyarakat yang kian mabok agama, kaum agnostik cukup memberi warna. Mereka cenderung mendukung sebuah upaya integrasi dari kerapnya konflik antar agama. Konsep Tuhan adalah sesuatu yang mereka belum ketahui tanpa memaksakan ketidak tahuannya untuk diikuti entitas lain. Mereka cenderung berbaur mendorong masyarakat untuk mengenali satu sama lain dalam basis kemanusiaan bukan fanatisme kelompok agama.

Agnostik, kaum yang tak ingin membebek doktrin, makan ajaran yang mereka tak yakini dan tak ketahui kebenarannya. Meskipun keberadaan mereka sangat minor dan cenderung disamakan dengan kelompok atheis yang masif berkampanye atas keyakinan mutlaknya, Tuhan tidak ada.

Buya Syafii Telah Berpulang, Pembaharu Pemikiran Intelektual Muslim Indonesia (1)
Resepsi Budaya Bhairawa Tantra dan Sadranan, hingga Slametan Kendurenan (1)
Rangkaian Spiritual Budaya Jawa, dari Bulan Rejeb hingga Sawal (1)
Peradaban Palestina-Israel dalam Linimasa, Masa Abraham hingga Nabi Muhammad (1)

Terkait

Terkini