Aktualisasi Semangat Kebangkitan Nasional Indonesia Sebagai Substansi Bukan Sensasi
Beruntung ada yang menangkap dan memahami ide-ide politik Barat mengenai kemerdekaan, demokrasi dan konsep bernegara. Hal tersebut diaplikasi yang pertama kalinya oleh orang-orang pribumi yang tumbuh kesadarannya sebagai bangsa pribumi (indegenous) atau orang Indonesia.
Nusantarapedia.net, Jurnal | Polhukam —Aktualisasi Semangat Kebangkitan Nasional Indonesia Sebagai Substansi Bukan Sensasi
“Nampaknya, penumbuhan kesadaran untuk merubah nasib bangsa tidak hanya berlaku saat era kebangkitan, saat ini pun penumbuhan kesadaran harus terus diparadekan kepada rakyat.”
“Dalam hal ini, jika waktu itu kesadaran timbulnya semangat kebangkitan karena keterbelengguan dan kesadaran akan hak hidup yang telah dirampas oleh kolonial, semestinya, saat ini pun juga tetap sama sebagai kesadaran atas cita-cita konstitusi.”
SEBAGAI orang modern saat ini, kita bisa sambut syukur atas rambu-rambu dari Ratu Belanda Wilhelmina pada pidato tahunannya di tahun 1901, bahwa akan menerapkan kebijakan baru di negara administratif Hindia Belanda termasuk di Hindia Timur Belanda/Nederlands(ch)-Indië, atau Indonesia dengan kebijakan Politik Etis.
Klaim dari mereka dengan pengakuan bahwa Belanda memiliki hutang budi kepada orang pribumi (Nusantara), tujuannya untuk meningkatkan standar kehidupan yang lebih baik bagi penduduk asli.
Percaya tak percaya dengan klaim tersebut dalam pengetahuan saat ini, tetapi bagaimana rakyat Nusantara dengan pengetahuannya pada waktu itu menangkap rambu-rambu tersebut. Mengingat selama 288 tahun, Belanda telah bertindak sebagai agresor dari tahun 1620 sejak kepindahannya dari Ambon ke Banten (Batavia), tentu kebodohan yang jelas didapatkan, yang secara umum hidup pada keadaan keterbelengguan yang jauh dari nilai kemanusiaan.
Pengetahuan baru bangsa pribumi dari hasil politik etis dengan kebijakan intervensi pemerintah pada sektor irigasi, pendidikan, dan emigrasi, selanjutnya sebagai triger perjuangan bangsa pribumi dalam masa pergerakan kemerdekaan Indonesia hingga melahirkan proses kemerdekaan 1945.
Namun, tonggak 1908 sebagai masa kebangkitan didapatkan bukan dari hasil politik etis tersebut, meski peluang itu ada, melainkan dari semangat bangsa pribumi yang tertindas di era Hindia Belanda dan kerajaan, sementara Belanda sudah menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan yang melahirkan budaya feodal, yang mana semakin mendikotomikan mental inlander dan inferiority antara agresor dan bangsa pribumi, pribumi pun dalam klaster priyayi dan kelas bawah.
Justru, penerapan politik etis dari sektor pendidikan dan semua akses dengan dibukanya sekolah-sekolah formal diharapkan untuk menyiapkan tenaga administrasi dan profesional sebagai pegawai negeri pemerintah kolonial, yang pada akhirnya ditangkap sebagai kepanjangan kolonialisme saja.
Dalam perjalanan politik etis tersebut, beruntung para klas priyayi (bangsawan) yang punya akses, tetap ada yang sadar akan pentingnya kehidupan yang layak dan manusiawi serta berkeadilan dengan menuntut hak-haknya sebagai hak kodrati, hak hidup bagi rakyat pribumi khususnya kelas bawah (proletar) untuk diperjuangkan.
Beruntung ada yang menangkap dan memahami ide-ide politik Barat mengenai kemerdekaan, demokrasi dan konsep bernegara. Hal tersebut diaplikasi yang pertama kalinya oleh orang-orang pribumi yang tumbuh kesadarannya sebagai bangsa pribumi (indegenous) atau orang Indonesia.
Meski kesadaran tersebut sebenarnya tidak disukai oleh Belanda, karena agenda yang utama memanjangkan kolonialismenya dengan memanfaatkan orang-orang pribumi. Dalam hal ini Belanda kecolongan.
Lahirnya masa Kebangkitan Nasional Indonesia menjadi landasan awal bangsa Indonesia bergerak menuju kualitas kehidupan kebangsaan yang lebih baik, hingga menjadikan fase penting dalam perjalanan bangsa Indonesia sebagai era pergerakan kemerdekaan Indonesia.