Amerika Serikat pada Spekulasi Masuk dan Tidak Jurang Resesi
Nusantarapedia.net, Jakarta — Kekhawatiran bahwa ekonomi Amerika Serikat (AS) akan menuju resesi, meningkat setelah angka resmi yang dirilis 28 Juli menunjukkan bahwa ekonomi AS menyusut untuk kuartal kedua berturut-turut, hanya beberapa hari setelah Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan resesi global.
Pierre-Olivier Gourinchas, Penasihat Ekonomi dan Direktur Penelitian IMF, mengutip pandemi dan perang yang sedang berlangsung di Ukraina sebagai alasan utama untuk “prospek yang semakin suram dan tidak pasti,” terhadap ekonomi global.
Sementara resesi secara tradisional didefinisikan sebagai dua kuartal berturut-turut dari penurunan produk domestik bruto (PDB), ada beberapa diskusi tentang apakah ekonomi saat ini dapat diklasifikasikan dengan cara yang sama karena beberapa faktor abnormal yang berperan, termasuk pasar tenaga kerja yang kuat.
AS saat ini diketahui sedang mengalami inflasi yang tinggi. Dalam data terbaru bulan April 2022, inflasi di negara itu telah mencapai 8,2%.
Menteri Keuangan AS, Janet Yellen, saat berbicara di forum kebijakan DealBook D.C., mengatakan bahwa ekonomi global menghadapi serangkaian ancaman serius. Bahkan, harga gas mungkin tidak akan turun dalam waktu dekat. Namun optimis, ekonomi AS akan tetap kuat. Pihaknya akan mempertahankan kondisi pasar tenaga kerja dan keuangan rumah tangga untuk menggenjot sektor konsumsi.
Menurut Janet, bahwa ekonomi telah tumbuh pesat 5,5% pada tahun lalu.
“Kami memiliki pasar tenaga kerja yang sangat kuat. Ketika Anda menciptakan hampir 400.000 pekerjaan sebulan, itu bukan resesi.”
Meski demikian, Janet mengakui, pertumbuhan ekonomi AS tengah melambat. Inflasi masih tetap tinggi karena harga bensin tidak akan turun dalam waktu dekat. Janet yakin ekonomi AS tidak akan masuk jurang resesi.
“Saya tidak berpikir kita (akan) mengalami resesi. Belanja konsumen sangat kuat. Belanja investasi solid,” kata Yellen seperti dikutip CNBC International, Jumat (10/6/2022).
“Saya tahu orang-orang sangat kesal dan memang benar begitu tentang inflasi, tetapi tidak ada yang menunjukkan bahwa resesi sedang terjadi,” katanya.
Sebelumnya, Yellen memperkirakan inflasi AS hanya bersifat sementara. Sekarang ia mengakui bahwa proyeksi itu salah. Ia berdalih selalu ada hal yang tidak terduga.
“Saya tidak akan melakukannya secara berbeda. Hal-hal yang tidak terduga selalu bisa terjadi. Dunia sangat tidak pasti,” tuturnya.
Yellen mengatakan, American Rescue Plan senilai 1,9 triliun dolar AS yang ditandatangani Presiden Joe Biden digunakan untuk mencegah dan mengatasi pengangguran. Presiden Joe Biden serius dalam memerangi inflasi yang tinggi, kenaikan harga bensin akan memicu kenaikan harga-harga lainnya dan membuat rumah tangga AS khawatir.
Upaya Biden lainnya seperti meluncurkan investasi tambahan dalam energi terbarukan serta kenaikan pajak bagi kalangan atas. Di bagian lain The Fed telah menaikkan tingkat suku bunga hingga 50 basis poin.
Yellen berpendapat bahwa langkah Biden dapat memperkuat perekonomian dalam bentuk investasi. Sehingga konsumsi dan pasar tenaga kerja tetap kuat.
“Saya percaya ada banyak hal yang dapat dilakukan Kongres untuk meringankan beban biaya yang dialami rumah tangga,” kata Yellen kepada Komite Keuangan Senat, dikutip dari AFP.
Menurut data GDP The Fed, GDPNow Fed Atlanta, pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal kedua tahun ini hanya sebesar 0,9%, sebelumnya pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama telah turun sebesar 1,5%.
Sementara itu, CEO JPMorgan Jamie Dimon mengatakan bahwa situasi saat ini telah menjadi badai bagi ekonomi. Perang di Ukraina dan penguncian Covid-19 di China telah membuat rantai pasok global saat ini terganggu. (dnA)
Indonesia Hapus Pungutan Ekspor, Minyak Sawit Malaysia Melemah
Selandia Baru dan Australia Perketat Wilayah Perbatasan, Antisipasi Wabah PMK dari Asia
Indonesia Salah Satu Tempat Investasi Terbaik (Pertemuan Bilateral Indonesia – Jepang)
Pertemuan Bilateral Presiden Jokowi dan Xi Jinpiang Hasilkan Beberapa Kesepakatan
WHO Mengumumkan, Cacar Monyet (Monkeypox) Dinyatakan sebagai Darurat Kesehatan Global