Amnesia dan Diskursus Sejarah Terhadap Peradaban Maritim Nusantara (2)

4 Februari 2022, 21:37 WIB

Nusantarapedia.net — Amnesia dan Diskursus Sejarah Terhadap Peradaban Maritim Nusantara

Beberapa point kemunduran dari waktu ke waktu yang kemudian menjadi pewarisan budaya, di antaranya sebagai berikut;

(1) Penyebaran dan pengaruh kebudayaan dunia oleh banyak bangsa di Nusantara dengan aneka kepentingan, mengandung dampak positif dan negatif. Perlu dibuktikan sejauh mana kebenarannya bila hal tersebut merubah arah dan tatanan bangsa Nusantara.

Saat ini, pada kasus kesejarahan menyangkut kefahaman menjadi bahan produksi propaganda pecah belah.

(2) Ketidakkonsistenan keberlangsungan kerajaan Nusantara atas perang saudara untuk perebutan hegemoni kekuasaan atas legitimasi takhta, wilayah dan status.

Akhirnya banyak kerajaan berada pada pola Bangun-Hancur-Pindah, Bangun-Hancur-Pindah, Bangun-Hancur-Pindah, sejak era Kalingga hingga perjanjian Giyanti, hal ini juga terjadi di luar Jawa.

Selain itu faktor geografi Nusantara yang rawan bencana alam, turut andil dalam melemahkan budaya kemaritiman.

Intrastate conflict atau perang saudara sering terjadi, akibatnya umur kerajaan pendek dan tidak berkesinambungan, memicu para pendatang, kolonial (VOC) untuk menguasai dengan memanfaatkan konflik internal, hingga melahirkan propaganda “divide et impera.”

(3) Sultan Agung Mataram berjudi atas perang melawan VOC di Batavia tahun 1628-1629 dengan skenario mematikan mobilitas kelautan Jawa guna mengunci posisi VOC yang telah merangsek dari Ambon ke Jayakarta (Batavia).

Bila invasi ke Batavia itu menang, Nusantara sudah menjadi negara adikuasa dunia. Pan-Jawa diwakili Sultan Agung, Indonesia Tengah dan Timur oleh Sultan Hasanuddin, sedangkan pan-Sumatra oleh Malaka.

Akibat kekalahan itu, Jawa harus takluk ditangan VOC tahun 1680 saat pemerintahan Amangkurat I. Sebelumnya, Ambon, Makassar, Malaka dan Batavia telah jatuh ketangan VOC, yang di dahului atas kekalahan Portugis oleh VOC.

Akibatnya, wilayah embrio NKRI (Nusantara) dikuasai menyeluruh oleh VOC, kemudian tahun 1800 oleh Kerajaan Belanda diubah sebagai negara administratip dengan nama Hindia Belanda.

Maka, penyerangan Mataram ke Batavia tahun 1628-1629 yang gagal, merupakan penyumbang cukup besar kemunduran budaya kemaritiman.

Apa akibatnya atas proyeksi agresor? pada sektor kelautan Nusantara yang sebelumnya sudah berjaya dengan pengalaman di masing-masing kerajaan.

Hindia Belanda tidak mau rugi atas dagangnya, tidak ingin kerajaan-kerajaan gaduh dan menguras financial. Akhirnya lahirlah kerajaan baru bentukan kolonial yang tak lebih sebagai pelaksana administratip saja. Mau tidak mau, mengikuti kebijakan agresor.

Khususnya pada kebudayaan maritim Nusantara hanya dimonopoli sendiri sekelompok penguasa, agar pribumi tidak lagi mengenal tradisi kelautan karena berpotensi menjadikan ancaman.

Pelabuhan internasional perdagangan di pusatkan di Batavia, disangga dengan pelabuhan di seluruh Nusantara warisan kerajaan pendahulu, sedangkan pribumi disibukkan dengan kegiatan berkesenian (kebudayaan) di pedalaman dan melanjutkan tradisi bercocok tanamnya atas proyeksi global Belanda dalam penyediaan komoditi pasar dunia.

Dengan kesimpulan atas kesejarahan itu, peradaban maritim Nusantara tidak berdaulat sebagai tata laksana kebudayaan pribumi sejak pemerintahan VOC dan Hindia Belanda, bila di Jawa sejak tahun 1680, di Malaka sejak 1641 dan Ambon sejak tahun 1602, serta masih banyak faktor lain yang perlu diteliti lebih lanjut.

Perlu digaris bawahi juga bahwa, pada dasarnya tata kelola kebudayaan maritim dan agraris pada bangsa Nusantara berjalan beriringan, sektor agraris sebagai penyedia komoditi sedangkan kelautan sebagai sarana mobilitas perdagangan dunia, karena peradaban maritim Nusantara yang dimaksud bukan pada industrinya yang berbasis kelautan, melainkan sebagai infrastruktur pelayaran, kota dagang dan mobilitas lainnya.

Hasil bumi, emas, dan lainnya sebagai komoditi inti dari dalam, selain komoditi hasil laut (perikanan) dalam kuantitas yang lebih sedikit.

Pasca era kebangkitan nasional sampai era modern saat ini, begitu lamanya kekuasaan kolonial di Nusantara hingga membentuk kebudayaan baru khas Indonesia yang jauh dari nilai-nilai pewarisan budaya maritim.

Pada situasi yang sama, dunia terus bergolak atas perang dunia I dan II, sedangkan bangsa Indonesia dalam proses kesadaran baru menumbuhkan konsep kebangsaannya yang melahirkan kemerdekaan.

Amnesia dan Diskursus Sejarah Terhadap Peradaban Maritim Nusantara (1)

Era orde lama dan orde baru hingga reformasi sebagai pencarian format menuju tujuan yang ideal, dengan upaya dan haluan baru yang berdaulat, meski prakteknya sampai saat ini belum menemukan sistem dan pola yang manjur.

Dampak pewarisan post kolonial pada aspek mental dan karakter kebangsaan sangatlah kuat. Sari-sari asupan doktrin sudah mendarah daging dalam bentuk kultural, memang perlu daya upaya yang sungguh-sungguh untuk mengubah semua itu.

Terciptanya mental inferiority, gemar bersekongkol, kompetitif adalah produk bentukan kolonial yang diarahkan pada pemahaman feodalisme.

Endingnya, Pemilu 2024 dengan sistem baru “Pemilu Serentak,” yang akan membawa pada paradigma baru Indonesia adalah akumulasi kekecewaan karena belum terbentuknya sistem politik Indonesia yang ideal.

Apa yang telah Presiden Joko Widodo lakukan dengan membangun poros maritim, kita dukung sebagai embrio haluan bernegara sebagai kesadaran bersama akan pentingnya kebudayaan maritim.

Birokrasi Indonesia sudah harus dalam visi yang baru, memangkas kultur pembangunan yang berorientasi ke dalam menuju pada konteks global sebagai kenyataan akan kompetisi dunia dengan kebijakan pembangunan berorientasi pada basis industri kelautan yang berdaulat.

(bersambung bagian 3)

Amnesia dan Diskursus Sejarah Terhadap Peradaban Maritim Nusantara (3)
Strategi Kebudayaan Nasional Kekinian, Lebarkan Dimensi Pemikiran

Terkait

Terkini