Ancaman di Depan Mata, Proyeksi 2023 “Resesi Parah”, Rakyat Indonesia Selalu Punya Cara Bertahan

Indonesia pada RDG 21-22 September 2022 juga memutuskan untuk menaikkan BI-7 Days Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 bps menjadi 4,25%

29 September 2022, 11:39 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Polhukam — Ancaman di Depan Mata, Proyeksi 2023 “Resesi Parah”, Rakyat Indonesia Selalu Punya Cara Bertahan

KETIDAKPASTIAN global saat ini khususnya dalam ancaman resesi dunia yang akan berlangsung pada 2023 nanti adalah keniscayaan.

Terjadinya konflik geopolitik antar negara-negara dunia, telah memicu dampak adanya krisis, seperti krisis energi. Akibatnya berpengaruh pada sektor energi yang terkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Pun dibarengi dengan perubahan iklim global, telah menghantarkan dunia pada situasi krisis pangan.

Lambatnya pertumbuhan ekonomi dunia, dan angka inflasi yang terus tinggi di tahun 2022 ini, maka proyeksi terjadinya krisis ekonomi dan keuangan dalam level “resesi” benar-benar akan terjadi parah di 2023. Banyak faktor penyebabnya, yang kemudian di antaranya harus disikapi dengan menaikkan suku bunga acuan secara agresif yang dilakukan bank sentral di berbagai negara.

Pada akhirnya, banyak negara-negara memberlakukan pengetatan kebijakan moneter yang agresif, hingga berdampak pada keseimbangan ekonomi dan keuangan dengan tingkat resiko yang bervariasi.

Sri Mulyani, Menteri Keuangan, dikutip dari kompas.com pada Rabu (28/9/2022), mengatakan;

“Kalau bank sentral di seluruh dunia melakukan peningkatan suku bunga secara cukup ekstrem dan bersama-sama, maka dunia pasti mengalami resesi di tahun 2023.”

Senada dengan laporan kementerian keuangan dalam APBNKita periode September, bahwa pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif juga perlu diwaspadai, seperti kenaikan suku bunga acuan Fed Funds Rate (FFR) sebesar 75 basis poin pada FOMC September 2022.

Begitu juga dengan kebijakan dalam negeri, Indonesia pada RDG 21-22 September 2022 juga memutuskan untuk menaikkan BI-7 Days Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 bps menjadi 4,25% sebagai langkah untuk menurunkan ekspektasi inflasi dan memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah.

Hal tersebut diambil atas perkembangan kondisi ekonomi global yang diwarnai dengan harga komoditas yang masih volatile, namun secara umum terdapat tendensi penurunan harga beberapa komoditas energi dan pangan seiring pelemahan prospek ekonomi global. Selanjutnya, tekanan harga komoditas memicu peningkatan inflasi global, meski di beberapa negara mulai melambat

Namun begitu, inflasi Indonesia masih yang terbaik dibandingkan dengan negara dunia lainnya, per Agustus dan Juli 2022 tercatat sebesar 4,69% (year on year), lebih baik lagi dari Juli 2022 pada angka 4,94 persen (yoy). Sedangkan inflasi di Uni Eropa sebesar 8,9 persen, Turkey 7,9 persen, Uni Eropa 8,9 persen, atau Amerika 8,5 persen pada bulan Juli. Untuk Inflasi pada bulan Agustus di Brazil mencapai (8,7%), Inggris (9,9%), Eropa (9,1%), Jepang (3,0%), Tiongkok (2,5%), AS (8,3).

Sedangkan indikator pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan masih akan tumbuh lebih baik di tahun 2022. Banyak lembaga riset dunia yang menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia terjaga, seperti ADB (5,4%), IMF (5,3%), Bloomberg (5,2%), Bank Dunia (5,1%).

Hal tersebut berkebalikan dengan pertumbuhan ekonomi negara dunia yang rendah, bahkan Indoneisa jauh dari rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia dalam proyeksi 2023.

Proyeksi Bank Dunia edisi Juni 2022 untuk pertumbuhan ekonomi global tahun 2023, diproyeksikan sebesar; Dunia: 3,00%, Asia Timur dan Pasifik: 5,20%, Eropa dan Asia Tengah: 1,50%, Amerika Latin dan Karibia: 1,90%, Timur Tengah dan Afrika Utara: 3,60%, Asia Selatan: 5,80%, dan Sub Sahara Afrika: 3,80%.

Menurut Sri Mulyani, kinerja ekonomi Indonesia masih tumbuh kuat, karena kinerja sektor eksternal Indonesia sangat positif, didukung neraca perdagangan yang melanjutkan tren surplus serta ekspor dan impor bulan Agustus 2022 yang merupakan tertinggi sepanjang masa.

Selain itu, aktivitas manufaktur Indonesia masih terus menguat dengan tekanan inflasi bulan Agustus yang semakin berkurang. Peningkatan konsumsi listrik juga berlanjut, menunjukkan terus tumbuhnya aktivitas ekonomi masyarakat.

Melihat angka yang begitu menenangkan tersebut versi kemenkeu, bagaimana nanti sektor mikronya dapat terus terjaga dalam jangka waktu yang lama. Tingkat likuiditas keuangan yang baik di ekonomi makro juga harus dialami oleh individu di tingkat bawah.

Terkait

Terkini