Anda Suka Menyalahkan Orang? Hati-hati Bisa Kualat Anda!

3 Januari 2024, 07:41 WIB

Nusantarapedia.net | GAYA HIDUP — Anda Suka Menyalahkan Orang? Hati-hati Bisa Kualat Anda!

Oleh : Ndarie Purwanda

“kemarahan seorang anak disebabkan karena kekecewaan pada orang yang berpengaruh dalam hidupnya”

BEBERAPA bulan ini saya sedang fokus menyelesaikan buku-buku tentang emosi, beberapa diantaranya Emotional Intelligence karya menggemparkan dari  Daniel Goleman. Dari sampulnya yang sangat sederhana tanpa ilustrasi, tapi kalimat terakhirnya cukup membuat saya ingin memilikinya dan menjadikannya koleksi dalam daftar baca. “Mengapa EI lebih penting dari pada IQ?“. Dari Goleman, minat  saya tentang apa itu emosi makin mendalam, hingga penasaran bagaimana saya bisa mengenali dan menghadapi emosi orang lain.

Tidak butuh pencarian lama, mata saya tertuju pada sebuah buku karya Paul Ekman yang telah diterjemahkan, berjudul “Membaca Emosi Orang”. Saya dapatkan buku ini di Perpustakaan Daerah Klaten dan mulai membuka dan dengan teknik membaca cepat, sepertinya saya harus meyelesaikan buku luar biasa ini. Masih belum puas dengan kecerdasan emosi, kembali tangan saya tertuju pada buku yang sampulnya mengkilap dan tertulis SQ yang hampir memenuhi sisi kanan dan kiri sampul. Buku karya Danah Zohar dan Ian Marshall tentang kecerdasan spiritual.

Dari kedua buku awal, pada mulanya saya mulai bisa memisahkan antara rasional dan emosi. Paham apa itu kecerdasan intelektual (IQ) dan bagaimana menggunakan EQ (kecerdasan emosional) dalam keseharian. Berusaha untuk menyeimbangkan keduanya untuk bisa saling melengkapi dan tidak saling membajak. Dimana saat kita emosi , rasional harus tetap dimainkan dan sebaliknya saat kita terlalu rasional, semua dinalar dan dipertimbangkan sehingga kita kehilangan empati dan jiwa sosial, disinilah emosi harus dihadirkan melalui sebuah kecerdasan beremosi. Tapi tentu saja, tidak cukup hanya sebatas belajar dan membaca, namun ketiga kecerdasan baik IQ, EQ dan SQ ketiganya harus didapat dari melatihnya dalam kehidupan sehari-hari seumur hidup. Semua ilmu akan menjadi hidup jika diamalkan oleh pembelajarnya.

Minggu itu, tepatnya di penghujung akhir tahun 2023, seperti biasanya saya mulai memburu acara tahun baru untuk saya masukkan dalam daftar vlog di channel youtube saya @ndariepurwanda. Pilihan saya jatuh pada acara Festival Anak Sholeh yang menghadirkan tontonan drumband TK dan pencak silat usia SD dan beberapa lomba menarik yang diikuti oleh puluhan santri TPA di tempat saya tinggal. Semua berjalan dengan lancar, meski cuaca begitu panas dan keringat bercucuran membasahi punggung, karena saya merekamnya mati-matian dengan mengandalkan kekuatan lengan karena belum mampu membeli stick stabilizer. Ah, bagi saya bukan masalah besar, karena saya terbiasa mengangkat belasan kilo dumbbell empat kali seminggu. Jadi memang  kekuatan lengan saya tidak diragukan lagi. Selain itu perjuangan yang patut diacungi jempol untuk seorang vlogger harus berebut dengan youtuber lain, untuk mendapatkan view terbaik untuk menghasilkan video paling enak ditonton.

Semua berjalan dengan lancar hingga acara selesai, dan saya pulang dengan kepuasan dan senyum merekah di kedua ujung bibir. Tanpa pikir panjang, saya langsung memproses video-video nya dengan memindahkan dari iphone ke macbook dengan airdrop. Anak sulung saya, mbak Nanda (17 tahun) begitu saya memanggilnya, pulang dari kegiatan sekolah. Kemudian saya menanyakan apakah iphone nya masih digunakan? Saya yang masih fokus mengedit, menjawab dengan santainya, “TIDAK”. Dia bertanya kembali, “Apakah semua video sudah dipindahkan?” saya pun menjawab “SUDAH”. Kami masih menggunakan iphone bergantian karena keterbatasan finansial. Jadi memang iphone-nya akan segera dihapus video dan fotonya agar tidak hang. Mbak nanda pun menghapus semua video yang saya rekam dan inilah awal dari keributan di siang bolong.

Betapa tidak, beberapa menit setelahnya, saya tidak menemukan video drumband saya di dalam memori macbook. Saya cek berkali-kali dan memang tidak ada. Saya mulai panik, keringat bercucuran, jantung berdetak dengan kencang, nafas saya mulai memendek dan cepat, membayangkan berbagai kemungkinan buruk, bahwa saya akan gagal mengupload video vlog saya hari ini yang saya dapatkan dengan susah payah. Akhirnya dengan nada suara yang penuh kecemasan, saya memberanikan diri bertanya, siapa tahu ada keajaiban “Mbak , kok video drumbandku gak ada ya, semua video udah kamu hapus ya? Ibu salah kirim, ini yang ibu kirim malah video yang pendek”.

Ahh, hancur lebur sudah mental saya begitu mbak nanda menjawab “sudah terhapus semua”. Saya yang dari awal gagal menata emosi dan membiarkan diri lepas kendali, jantung yang saya biarkan berdetak kencang, nafas yang saya biarkan berirama pendek-pendek, dan pikiran yang saya biarkan mengkonsumsi segala hal yang endingnya buruk, mulai lepas kendali begitu saja. “Kenapa sih kamu kok tergesa-gesa banget menghapus videonya? Kenapa kamu gak mikir kalau ibuk salah kirim?, keburu-buru banget gunain IP-nya tu buat apa sih?!!” suara saya makin lama makin meninggi. Tapi mbak Nanda hanya diam. Dia anak plegmatis damai, dia memang tidak suka berhadapan dengan konflik, dia tidak suka permusuhan. Tapi kediaman mbak Nanda justru membuat saya makin menggila dalam kemarahan yang tak terkendali.

“Kamu tahu gak, perjuangan ibuk mengambil videonya?” Bla bla bla dengan sederet kalimat pembelaan yang panjang kali lebar. Saya mulai menjadi sombong dan merasa paling benar. Semua fakta tentang kebenaran seolah terhapus dari memori. Fakta bahwa mbak Nanda sudah menanyakan apakah IP masih dipakai dan apakah video sudah dipindahkan semua sudah tidak terlintas dalam nalar dan rasional. Benar-benar emosi saya membajak rasional, seperti yang dikatakan Goleman. Saya tidak bisa berpikir jernih sedikitpun. Akhirnya karena tidak tahan dengan omelan saya, mbak Nanda pun menjawab, “tadi IP ku hang bu, sampai gak bisa digunakan, jadi saya hapus semua videonya, termasuk video ibu juga ikut kehapus”. Mbak Nanda menjawab dengan datar tanpa ekspresi kemarahan. Mungkin dia sedang membenarkan semua omelan saya. Bahwa dia memang yang bersalah, terlalu tergesa-gesa menghapus video.

Karena rasional mbak Nanda masih terpakai dan sanggup meredam emosinya, efeknya dia masih bisa berpikir jernih. “Bentar buk, ada aplikasi yang bisa mengembalikan data yang terhapus permanen” mendengar solusi mbak Nanda, omelan saya mulai berhenti perlahan. “Berarti ada harapan bisa kembali ya?” tanya saya. “Ya, Insyaallah, kita coba dulu bu”. Dan akhirnya percobaan dimulai, mulai mendownload aplikasinya dan segera memproses. Jam demi jam berlalu ternyata masih belum membuahkan hasil. Komputer terus menunjukkan kode error, yang menyebutkan bahwa memori untuk menyimpan video cadangan tidak mencukupi. Kami menggunakan back up flashdisc tapi masih belum berhasil. Mbak Nanda tidak mengucapkan sepatah katapun. Tapi saya mulai berpikir sepertinya tidak ada harapan.

Akhirnya sore menjelang Magrib, mbak Nanda mandi untuk persiapan mengikuti acara akhir tahun dengan teman-temannya bakda magrib nanti. Setelah dandan rapi dan siap berangkat, tiba-tiba dia memeluk saya dan menangis sejadi-jadinya. “Ibu,  maafin aku, aku yang salah, aku juga menyesal banget kenapa tergesa-gesa menghapus videonya, maaf bu, gak bisa mengembalikan videonya, padahal Ibu udah susah payah ngambil videonya tadi”. Dia memelukku erat dengan terisak-isak persis seperti anak kecil yang sedang mengadu ibunya karena dipukul temannya.

Saya hanya berdiri kaku, ternganga dengan apa yang terjadi di hadapan. Saya tidak menyesal karena saya sudah ngomel dan merasa paling benar dengan menyalahkan semua orang, tapi saya tertampar oleh kekuatan mbak Nanda menahan ego dan amarahnya. Dalam kediamannya yang berjam-jam lamanya, sebenarnya dia juga ingin memberontak karena perasaan bersalahnya. Dia remaja usia belasan tahun yang notabene masih labil secara emosinya, kenapa dia bisa secerdas itu mengelola dirinya. Dia bisa saja membalas omelan saya dengan teriakan seperti teman-teman sebayanya yang lain yang kebanyakan tidak terima saat disalahkan tiada henti. Tapi dia memilih diam dan masih sempat menenangkan Ibunya yang terbalut kemarahan besar.

Sambil membalas pelukan eratnya mata saya tertuju pada deretan buku di rak yang tertata rapi. Dan tiga buku tentang emosi yang tergeletak di samping macbook. Dan mulai menganalisis diri. Apa saya ini? Manusia yang sok pintar, membaca puluhan buku baru tiap tahun, tapi otak saya kosong. Berhadapan dengan masalah yang begitu kecil saja, semua ilmu yang sudah saya masukkan tidak bisa membantu saya sedikitpun. Bukankah Goleman dan Paul Ekman sudah menjelaskan dengan gamblang, bagaimana menghadapi situsi yang mengecewakan dan membuat kita marah. Apalagi saya yang sudah berusia kepala empat yang seharusnya secara perkembangan otaknya sudah matang kebijaksanaannya, ternyata masih berada di usia remaja. Saya layak disebut sebagai manusia kosong.

Tapi lihatlah anak remaja yang tengah memelukku ini. Dia tidak pernah membaca satupun buku tentang emosi. Tapi kenapa dia begitu cerdasnya mengelola emosinya? Perlahan rasional dan nalar saya mulai bisa memasuki ranah emosi saya. Saya mulai bisa berpikir jernih. Bukankah mbak Nanda sudah bertanya sebelum dia menghapus videonya. Dan kenapa saya juga tergesa-gesa menjawab sudah, saya bisa saja bilang, tunggu dulu sampai ibu selesai mengedit videonya atau kamu bisa menghapus video yang lain. Bukankah masalah ini juga kontribusi dari jawaban dan keputusan saya? Bukan semata-mata dari tindakan mbak Nanda. Dan jika dikembalikan pada jatah rezeki, memang video itu bukan jalan rezeki saya. Kalaupun berhasil saya upload belum tentu juga bisa mencuri perhatian penonton dan menghasilkan banyak subscriber. Kalau sudah digariskan Gusti, mau diputer-puter seperti apapun ya tidak akan kesampaian juga usaha manusia segigih apapun.

Terkait

Terkini