Andai Punya Duit 300 Ribu Saja

- karena kita (rakyat) selalu dengan tingkat ketahanan yang luar biasa. Selalu bisa irit, hemat, kreatif. Sing penting urip! Sing penting kanggo awakmu! Aku sesuk gampang! -

14 Maret 2023, 01:11 WIB

Mimpi Menjadi Kenyataan
Sayangnya itu belum terjadi. Dan cukuplah sudah, berandai-andai dengan punya uang 300 ribu saja, ya (realitas), bukan 300 triliun. Karena jika 300 triliun takutnya generasi baby millenials dan alpha bisa terkena pertumbuhan gigantik, berkebalikan dengan kondisi stunting, karena jelas pasti, makanan seperti; susu, daging, ikan, ayam, telur, aneka buah dan sayuran tersaji setiap hari di meja keluarga. Tentunya pula punya minyak goreng seluas samudra Hindia.

Andai, 300 triliun itu nyata hingga pendapatan negara sebesar Rp4000 triliun, atau APBN menyentuh angka Rp8000-10.000 triliun, duh, betapa ayah ibu tak lagi pusing memikirkan kesehatan dan pendidikan untuk dirinya dan anak-anaknya, jaminan hari tua dan masa depan yang cerah. Pastinya pula, akan bisa piknik mengunjungi saudara sebangsa se-Tanah Air yang ada di pulau Papua, Maluku, Jawa, Sunda Kecil, Sumatera dan Kalimantan. Ini, piknik melihat candi Borobudur saja, harus berpuasa terlebih dahulu berbulan-bulan.

Andai, betapa nikmatnya hidup atas anugerah kekayaan dari Tuhan untuk Nusantara yang difirmankan untuk kehidupan yang ideal (dijamin), tentu dalam setahun cukup bekerja 6 bulan saja, selebihnya menikmati hidup yang penuh dengan kegembiraan. Tuhan saja menjamin hak hidup manusia, mengapa sesama manusia menghalang-halangi kodrat.

Sayangnya, isu-isu populer terus banjir di alam pemikiran rakyat yang terus bias, abstrak, dan bohong, bahwa sesuatu tujuan yang gemilang dan bermartabat itu segera hadir nyata, bahkan diframing sudah “terjadi” yaitu tujuan yang maju, adil, makmur dan sejahtera. Tetapi, hanya cukup “segera” saja tanpa jelas ujung pangkalnya, peta jalannya. Lihat saja isu stunting, minyak goreng yang timbul tenggelam bagai sang Antareja, beras impor, pupuk dengan kartu tani, BBM mahal karena alasan keekonomian, gas melon yang timbul tenggelam, aneka pajak-pajak berlaku, skakmat membayar aneka pajak untuk mendapatkan akses administrasi warga negara, beli ini itu dengan KTP, program ini itu dengan kartu-kartu, masyarakat yang katanya “Ngaplo” menidurkan aset-asetnya.

Belum lagi jam kerja manusia bagai robot-robot pabrik, mesin-mesin manusia yang terus diproduksi sebagai buruh. Kapan istirahatnya, makan enaknya, pikniknya. Di bagian yang bersamaan, rakyat terus dijerat dalam “supplai and demand”, terus mereka menawarkan hasrat dan gairah menguras duit hingga tetes terakhir dengan arsitektur digital, pun kini dengan iming-iming subsidi kendaraan listrik.

Masak (rakyat) suruh bersyukur terus, padahal harusnya syukur atas kekayaan alam dari langit itu yang dapat dinikmati menjadikan kenikmatan hidup, itu adalah syukur yang sesungguhnya atas hak hidup, kodrat dari langit (Tuhan), yang nyatanya paradoksal-kontradikfif dengan fakta bumi emas tanah air.

Bahkan, hembusan politik identitas, radikal-intoleran, terus didengung-dengungkan, dibesar-besarkan. Padahal jumlah itu hanya bagian kecil saja yang tidak punya kelengkapan untuk makar. Apakah itu justru sebagai pengalihan isu, atau upaya adu domba agar saling serang dan gaduh, yang mana ujung-ujungnya kelompok oligarki yang berjaya atas penguasaan sendi-sendi ekonomi.

Terkait

Terkini