Angkringan atau Wedangan dan Budaya Jagongan
Kadangkala inspirasi terbetik dari riuhnya canda tawa para penikmat nasi kucing ini. Mereka asik masyuk bertitah dengan berbagai views-nya masing-masing, tentang helat dongeng sebuah negeri hingga lupa waktu.

Nusantarapedia.net, Jurnal | Sosbud — Angkringan atau Wedangan dan Budaya Jagongan
“Di angkringan, lahir teori kritis baru bermunculan. Tesis antitesis bertebaran membentuk sintesis-sintesis yang menguatkan penemuan. Mulai dari teori keberpihakan bantuan tunai, teori covid , ataupun politik konspirasi para globalis dunia hingga teori sambel bandeng yang keasinan.”
ANGKRINGAN dan Wedangan keduanya sama, masyarakat Solo menyebutnya wedangan, Jogja punya angkringan.
Keduanya tak perlu diperdebatkan, duluan mana tahun lahirnya. Yang jelas, ‘Solo is never sleep’ karena wedangannya, ‘Jogja selalu jadi kenangan’ cerita indah di angkringan.
Keduanya kini sudah mengalami beberapa inovasi, dari konsep wedangan menjadi resto.
Warung kecil dengan remang-remang penerangan ini telah bermetamorfosis diri menjadi warung mewah tanpa meninggalkan kekhasannya. Ya, budaya jagongan hingga larut malam. Mengapa keberadaan angkringan selalu ramai?

Jawabannya, karena orang yang datang tidak melulu membeli makanan, tetapi juga membeli suasana. Tempat nongkrong yang nyaman, teman-teman kongkow yang menghibur, dan topik pembicaraan yang menggugah selera menjadi alasan mereka mendatangi angkringan atau wedangan.
Belum lagi harga makanan yang sangat murah dan terjangkau, bisa menjadi teman ngeteh atau ngopi. Sambil berbincang tentang kehidupan. Lalu lalang ramainya kendaraan menambah hangat suasana yang semakin larut berbalut dingin. Ini juga sebuah kearifan lokal, meski sisi lain aroma kejelataan itu nampak… hiraukan itu karena hanya variable.
Kadangkala inspirasi terbetik dari riuhnya canda tawa para penikmat nasi kucing ini. Mereka asik masyuk bertitah dengan berbagai views-nya masing-masing, tentang helat dongeng sebuah negeri hingga lupa waktu. Dari perkara politik, romantisme sejarah kerajaan, covid-19, otomotif, nge-goes, bicara sederet artist, hingga keberhasilan anggota keluarganya.
Obrolan semakin seru, hal kepindahan ibu kota, kota Nusantara. Dengan semangatnya, saling berasumsi dan spekulasi pun muncul tentang manuver para politisi yang berkuda-kuda, bersiap menuju Pemilu Serentak 2024.
Santernya pemberitaan di semua media, maraknya politisasi, pencitraan, juga baliho-baliho besar dan etalase para calon dengan segudang track recordnya seakan sebagai referensi dan materi obrolan. Tak jarang, kadang saling ejek dan menyanjung-nyanjung idolanya menuju panggung politik 2024 menjadi pemenangnya.
Tak jarang pula, sedikit berjumawa akan kebanggaannya sebagai individu yang dipercaya oleh si Boss, Timses, juga prestasi diri yang sudah dicapai, meski nilai kebenarannya hanya dua puluh harus dikatakan tujuh puluh dari total nilai berjumlah seratus.
Yah, bebas bicara, benar dan salah, tepat dan tidak, yang jelas wedangan dan angkringan ini panggung milik bersama. Tak ada yang mengganggu gugat.
Inilah spirit orang Jawa sesungguhnya, jagongan. Tidak ada jagongan yang berakhir sentimen pribadi apalagi gelut. Bila tensi itu naik, salah satunya akan mengalah sembari bermain smartphonenya masing-masing.
Sesuai makna wedang itu sendiri “ngawe-awe kadang,” yang mana auto sebagai pembelajaran dan pendewasaan berdemokrasi, atau belajar hidup (sinau urip).

Di sana hanya ada sajian wacana yang kaya akan sudut pandang tanpa dan dengan klaim pembenaran atas view-nya sendiri. Lebih asyiknya, sruputan kopi susu atau wedang jahe memecah kekhidmadan perbincangan atas topik yang coba diurai.
Di wedangan atau juga dinamakan warung HIK (Hidangan Istimewa Kampung), semua boleh berhujjah. Tanpa lupa sambil nyemil sate tusuk atau telur puyuh bacemnya, tahu tempe bakarnya, jika sudah berada di tempat ini yang datang jalan kaki dengan yang menunggang gajah tak ada beda.
Di sini, idealisme membuncah. Kaum grassroot bebas mengevaluasi kinerja punggawa tanpa takut terjerat UU. Kecuali jika ada buzzer yang menyusup atau sedang singgah karena kelaparan di jalan, beda ceritanya.
Di angkringan, lahir teori kritis baru bermunculan. Tesis antitesis bertebaran membentuk sintesis-sintesis yang menguatkan penemuan. Mulai dari teori keberpihakan bantuan tunai, teori covid , ataupun politik konspirasi para globalis dunia hingga teori sambel bandeng yang keasinan.
Semua teori itu lahir dari tawa renyah yang mereka sebut Loss Doll. Ya, … setidaknya di angkringan mereka menjadi jiwa-jiwa merdeka bersama hisapan berbatang-batang rokok. Meskipun setelahnya mereka kembali ke rumah, bersiap menghadapi fakta hari esok yang tak sebercanda teori-teori mereka semalam. Ha ha ha…
Berwacana ria di angkringan atau wedangan, berngeteh ria, ngopi, nyusu maupun jahe hingga larut malam, memang bisa melupakan realita.