Anies Bukan Soal Tiket Capres, Anies Role Model Demokrasi Partisipatif
- Dirinya dipakai oleh partai politik maupun tidak, Anies tetap jalan terus, Anies unstoppable (tak terbendung) -

Nusantarapedia.net, Jurnal | Polhukam — Anies Bukan Soal Tiket Capres, Anies Role Model Demokrasi Partisipatif
“Selain itu, Anies tidak mau terjebak ke dalam salah satu jerat partai politik. Seperti kala Anies dipasangkan dengan Sandiaga Salahuddin Uno maju pada Pilgub DKI Jakarta 2017 yang lalu melalui partai Gerindra, lantas tidak menjadikan Anies ber-KTA Gerindra, pun saat ini tidak lantas ber-KTA Nasdem.”
ANIES Baswedan, pasca kepemimpinannya sebagai Gubernur DKI Jakarta berakhir, lantas dengan bebasnya melakukan safari “pikiran” politik ke hampir seluruh wilayah di Indonesia. Mulai dari tanah Sumatera, Sulawesi, Papua, Jawa Barat, dan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Hingga saat ini terus dilakukan dengan antusias masyarakat.
Popularitas Anies di kancah nasional dan internasional dalam memimpin Jakarta tak luput dari pengintaian dan bidikan partai Nasdem sebagai potensi yang menguntungkan (strategis), hingga Nasdem pun melalui Ketua Umum-nya Surya Paloh cepat-cepat mengambilnya untuk mendeklarasikan Anies Baswedan sebagian calon presiden pilihan Partai Nasdem.
Pasca menjadi Gubernur DKI Jakarta, justru Anies dalam status bebas (free), bukan lagi sebagai pejabat publik (Gubernur), tetapi sebagai tokoh publik yang bebas (berhak) untuk menawarkan isi pikiran untuk Indonesia. Anies terlihat enjoy karena tidak menggunakan fasilitas negara untuk bersosialisasi. Hal yang membuat cemburu lawan-lawan politiknya yang notabene berada di dalam pemerintahan yang tidak bisa sebebas Anies untuk bersafari pikiran menggalang kekuatan dan dukungan untuk pencapresan 2024. Hingga Anies dituduh-tuduh curi start, dianggap memulai menabuh genderang tambur. Di situlah terjadi justifikasi bahwa resiko Anies memulai dalam kapasitas sebagai tokoh publik dan pengkerdilan sebagai “capres 2024” menjadikan halal untuk diserang, dipojokkan oleh pihak rival, bahkan Anies menjadi korban demagogi dengan narasi politik identitas.
Anies tidak bergeming dengan segala narasi yang dituduhkannya. Isu politik identitas, curi start kampanye, tidak punya partai, penghianat perjanjian dengan Prabowo, tidak becus urus Jakarta, ekstrimis garis keras, dsb, tidak ia hiraukan. Safari Anies untuk mengutarakan dan menawarkan gagasan untuk Indonesia dengan bekal seorang akademisi, birokrat politik (mantan gubernur), dikelolanya sebagai etalase pemimpin Indonesia.
Akhir-akhir ini, pertemuan antara Joko Widodo dengan Surya Paloh yang diduga-duga untuk memotong laju Anies dengan (pilihan) posisi tawar Nasdem keluar dari pemerintahan (resuffle kabinet) bila terus mendukung Anies, atau tetap di dalam pemerintahan dengan segala posisi tawarnya juga asal laju Anies terhenti. Nasdem membatalkan deklarasi Anies sebagai capres definitif, otomatis presidential threshold 20 persen Koalisi Indonesia Perubahan tidak tercapai (bubar). Sebagian publik membaca demikian.
Namun begitu, meski Surya Paloh tetep kekeuh pada Anies atau tidak, itu tidak menjadi soal bagi Anies, karena Anies datang ke panggung politik Indonesia tidak “harus” menjadi calon presiden dan presiden 2024. Tentu, Anies sadar akan hal itu dengan sumber daya yang dimiliki (parpol, dsb). Tetapi secara politik bahwa langkah Anies telah memposisikan dirinya dalam “positioning” yang strategis. Artinya, siapapun presidennya yang terpilih nanti, Anies berpeluang besar kembali menjadi Gubernur DKI Jakarta 2024, Menteri, bahkan Wakil Presiden.
Selain itu, Anies tidak mau terjebak ke dalam salah satu jerat partai politik. Seperti kala Anies dipasangkan dengan Sandiaga Salahuddin Uno maju pada Pilgub DKI Jakarta 2017 yang lalu melalui partai Gerindra, lantas tidak menjadikan Anies ber-KTA Gerindra, pun saat ini tidak lantas ber-KTA Nasdem. Nampaknya, Anies percaya diri dengan langkah dan style politiknya, selain sadar bahwa arti partai politik di Indonesia yang paternalistik tidak akan mungkin menggelar kompetisi internal yang sehat untuk kadernya. Semua keputusan strategis partai hampir milik sang ketua umum. Sesuatu yang kontradiktif dengan model pemikiran Anies.
Pun, Anies terus melaju dengan keyakinannya, sekalipun “katanya” ada perjanjian soal pencapresan, bila Prabowo yang maju Anies akan dukung. Nampaknya, perjanjian itu batal karena dinamika politik yang berubah-ubah, salah satunya karena Prabowo/Gerindra bergabung dengan Jokowi (pemerintahan). Hal itulah yang menjadikan perjanjian itu batal otomatis atas banyak paradigma. Dan, Prabowo sebagai seorang yang paling “ikhlas” berjiwa besar akan hal itu, seperti halnya perjanjian Prabowo dengan Megawati pada perjanjian batu tulis.