Arah Pendidikan Nasional
Nusantarapedia.net, Jurnal | Pendidikan — Arah Pendidikan Nasional
Pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan bagi dirinya untuk masyarakat, bangsa dan negara.
Betapa susah dan beratnya menuntut ilmu sebagai pembuka cakrawala dunia. Tahun 1920, pribumi diberikan kesempatan mengenyam pendidikan institusional meski terbatas melalui “politik etis” oleh Hindia Belanda.
Sebelumnya, Ki Hajar Dewantara beserta tokoh kebangkitan lainnya memunculkan konsep “kemerdekaan berpikir” yang bukan liberal (bebas tanpa batas).
Jauh sebelum era kebangkitan, bangsa Indonesia secara non formal telah belajar dengan pengalamannya dari pengetahuan dan budi pekerti lokal, pendidikan agama Hindu-Budha, Islam juga Nasrani. Kesemuanya membentuk dari proses kebudayaan.
Kepentingan kerajaan di Nusantara dan kolonialisasi sejak Portugis, Belanda dan Jepang telah melahirkan bentuk pengetahuan yang beraneka ragam hingga memunculkan diskursus pendidikan atas dinamika kekinian.
Pada dasarnya pendidikan model barat yang dilakukan oleh pemerintah kolonial tidak benar-benar tuntas memerdekakan pribumi. Lahir dari justifikasi agresor untuk kepentingan legitimasi kekuasaan.
Dengan demikian, sejak dalam rahim pun kemerdekaan berfikir itu tidak pernah didapatkan oleh anak bangsa dalam parameter yang ideal dalam lingkup pendidikan, meskipun metode pembelajaran di sekolah formal tersusun dengan pola dan struktur yang rapi, namun outcame dari pendidikan tersebut tidak sinergi dengan kenyataan yang ada diluar, dan sebatas menjadi kepanjangan tangan penguasa ataupun kepentingan tertentu.
Pasca kemerdekaan dan era orde lama, Soekarno memulainya dengan menumbuhkembangan mental dan jati diri kebangsaan dengan penghapusan kultur post kolonial yang sebegitu mengkultur pada pikiran bangsa.
Dibukanya sekolah-sekolah dan perguruan tinggi serta kluster kota-kota pelajar diharapkan mampu membangkitkan semangat kebangsaan yang baru. Usaha itu diteruskan oleh Soeharto di masa orde baru, pemerataan pendidikan sampai di pelosok desa, pembangunan sekolah-sekolah inpres dan pemberian beasiswa pendidikan, juga untuk penyediaan pengisian pos aparatur negara.
Namun kenyataannya, kebebasan berpikir di kampus dan di sekolah-sekolah terbelenggu untuk urusan politik dan kekuasaan. Akhirnya, dunia pendidikan pun melahirkan para lulusan dalam kluster intelektual yang feodal, terdapati strata sosial dan klasifikasi profesi dipelbagi bidang.
Kaum intelektual minimal berlulusan D-3 dengan gelar “Drs.”, atau “B.A.”, dari golongan priyayi dan otomatis kelak akan menjadi pegawai negri (birokrator). Sedangkan golongan yang pas-pasan urusan sekolah cenderung kontradiktif dengan label stigma yang wong ndeso, dadi tani atau bakulan, juga wong cilik.
Selama pasca kemerdekaan dan terutama era orde baru banyak kalangan yang tidak berminat di organisasi politik, meskipun ada jumlahnya hanya sedikit dan itupun sedikit dari kalangan terpelajar, akibat dari oligarki kekuasaan yang otoriter, meski semangat idealismenya akan wadah perjuangan politik tinggi. Meskipun disatu sisi upaya represif penguasa dimaksudkan untuk kepentingan nasional guna stabilitas dan proyeksi yang lain.
Atas kemandekan demokrasi pendidikan sejak dari rahim dan kelahirannya, akhirnya tiba saatnya kebebasan itu atas gerakan “reformasi” tahun 1998. Apa esensinya dari pendidikan di era reformasi, baik yang formal, informal maupun ruang-rang belajar yang lain, adalah pendidikan tanpa batas yang “liberal.”
Pada jenjang sekolah wajib belajar sembilan tahun dan sekolah lanjutan tingkat atas, pasca reformasi telah mengalami beberapa pergantian kebijakan mengenai kurikulumnya, mulai dari kurikulum CBSA, kurikulum 1994, kurikulum berbasis kompetensi 2004, KTSP 2006 juga kurikulum 2013.
Setiap ganti era ganti kepemimpinan selalu berubah, untuk menunjukkan bahwa warisan dari tata kelola pemerintahan sebelumnya tidak baik, dan harus diganti sebagai pembeda agar terkesan upaya “good will goverment,” sebuah warisan kompetitif feodal yang tidak sehat.
Pembaharuan sistem kebijakan pada jenjang perguruan tinggi juga demikian. Awalnya status Perguruan Tinggi Negri adalah PTN milik pemerintah yang disubsidi. Sejak Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2013 statusnya menjadi PTN-BH (Berbadan Hukum). Di sinilah peran negara menjadi melemah, perguruan tinggi kehilangan arahnya yang seharusnya hubungan keduanya sinkron.
Dengan pengurangan dana bersubsidi, negara tidak lagi masuk dalam intervensi arah pendidikan tujuan bernegara sesuai konstitusi, bukan ditafsirkan intervensi politik atau politisasi. Sedangkan internal PT berhak atas otonomi dalam pengelolaannya, termasuk sumbangan dari korporasi. Dampaknya tentu biaya kuliah menjadi mahal. Yang paling mengkhawatirkan apabila terjadi pesan sponsor yang tidak sesuai dengan arah pembangunan bangsa. Pendek kata, aroma komersialisasi itu nampak.
Sejak reformasi memang dimakhlumi banyak lembaga-lembaga pendidikan bertebaran diberbagai daerah, mulai dari perguruan tinggi swasta, yayasan maupun pengembangan PTN-BH, juga sekolah-sekolah dari jenjang Play Group sampai SMA. Memang tidak bisa dicegah atas nama kebebasan menyelenggarakan pendidikan di tengah iklim demokrasi, tetapi negara berkewajiban membimbing mengenai arah pendidikan tanpa mengkerdilkan kemerdekaan berfikir dan independensi nilai-nilai kebangsaan dan ilmu pengetahuan itu sendiri dalam dunia pendidikan.
Pasca 1998 menjelang milenium 2000 memang kenyataan atas globalisasi dunia, mau tidak mau harus mengikuti. Daya saing antar negara dan kebutuhan global ikut mempengaruhi arah tujuan pendidikan nasional, juga dilingkup internal akan perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan IPTEK berkembang dan berubah dinamis.
Komersialisasi akhirnya terjadi di mana-mana, nuansa bisnis nampak, dibukanya kelas-kelas non reguler dengan banyak kelonggaran, juga lulusan PT untuk memenuhi kriteria standarisasi sertifikasi guru, kenaikan jabatan SOTK ASN, bahkan untuk status sosial dan pamor sebagai panggung politik, bisnis, entertainer dan lainnya.
Ijazah S1, S2, mudah untuk didapatkan, terlebih lahan bisnis bagi para oknum pekerja kepenulisan untuk makalah, skripsi, desertasi dan lainnya. Yang akhirnya kompetensi keilmuannya dipertanyakan.
Namun demikian, atas banyaknya lulusan siswa SMU maupun SMK yang siap kerja, para sarjana Diploma, Strata 1, 2 dan lainnya, secara umum telah melahirkan dan menaikkan kuantitatif para intelektual dan ilmuwan. Ini menjadi statistik yang baik sebagai modal pembangunan dibanding era sebelumnya, meski kualitasnya stagnan bahkan pada kasus tertentu menurun.
Melihat kesejarahan Indonesia yang penuh kultur feodal memang tidak semudah membalik telapak tangan selama dua dekade lebih. Pemakhluman atas kultur dan metoda pendidikan dan pengajaran ala kerajaan dan kolonial, pasca merdeka dan era terpimpin Soekarno dan oligarki Soeharto bahwa situasi dan kondisi pendidikan belum memungkinkan tumbuh kembang maksimal dan ideal sesuai dengan tujuan karakter kebangsaan dan cita-cita konstitusi.
Namun kita terlambat pada era reformasi, harusnya selama 13 tahun untuk proses perubahan dan sepuluh tahun terakhir pendidikan Indonesia sudah maju dan ideal mengenai format, bentuk dan outcame lulusan serta fungsi keseluruhan sebagai mitra negara.
Ada beberapa point atas terselenggaranya pendidikan nasional sebagai tujuan yang ideal, yaitu;
1) Pendidikan Nasional harus melahirkan akademisi yang selalu up to date pada pelbagi bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
2) Kampus sebagai support riset pemerintah pada semua kajian-kajian (naskah akademik, blue print) mengenai tata kelola pemerintahan, maka jaminan independensi tanpa intimidasi dari pemerintah kepada PT adalah keharusan.
3) Pemerintah berhak atas “enterpreuner goverment,” dengan membuka kran investasi (kapital) dengan menggandeng PT sebagai rujukan ilmiah yang komprehensif.
4) Netralitas PT sebagai upaya penyeimbang pemerintah, sedangkan investasi sebagai percepatan pembangunan dan negara hadir di dalamnya.
Jadi soal sinergitas yang dibutuhkan saat ini, para akademisi, intelektual, cendekiawan, ilmuwan yang lahir dari kampus sudah lebih dari cukup jumlah dan kualitasnya. Pendidikan nasional benar-benar sebagai kekuatan sumber daya manusia untuk menyangga sistem penyelenggaraan pembangunan nasional. Kebijakan pemerintah diharapkan hasil dari masukan PT.
Tidak usah kita berdialektika mencari kambing hitam bahwa, pendidikan yang tidak merdeka karena pendidikan yang tidak sekuler atas negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan narasi ideal penerjemahan Pancasila sebagai negara yang sekuler.
Biarkanlah agama sebagai wadah perjuangan politik bukan tujuan negara, partai yang berlogo ka’bah, salib atau mandala dipersilahkan, demikian sekolah swasta dan yayasan agama menyelenggarakan pendidikan dengan spirit agama. Sekolah beryayasan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan lainnya sebagai spirit dan ruang demokrasi, tanpa mengurangi mutu pendidikan dan tidak bertentangan dengan ideologi Pancasila dan UUD 1945. Biarkan dunia luar sekuler, Indonesia dengan jati dirinya sendiri sebagai pendidikan yang berlandaskan pada nilai Ketuhanan.
Selain itu hal yang paling pokok dalam mindset pendidikan kita bahwa, proses sekolah dari tingkat kanak-kanak sampai perguruan tinggi hingga mendapatkan gelar sarjana, doktor dan profesor memanglah penuh tantangan, menyita waktu dan biaya, namun ending dari proses itu bukan ditebus dengan didapatkannya ijazah dan gelar, melainkan susah payah bersekolah guna mendapatkan ilmu pengetahuan dan melahirkan keilmuan, disitulah ruh pendidikan.
Merdeka Belajar, Antara Idealisme dan Angan-angan
Sejarah Perkembangan Kurikulum Pendidikan di Indonesia