Asketisme Manusia Jawa

7 September 2024, 13:15 WIB

Nusantarapedia.net | RELIGI — Asketisme Manusia Jawa

Oleh : Vian Ekaggatā

– dalam epistomologi Asketisme Jawa, tujuan puncaknya di satu aspek adalah untuk menyadari Sangkan Paraning Dumadi (Keilahian) dan di satu aspek lainnya adalah untuk Memayu Hayuning Bawono atau mempercantik peradaban. Untuk dua tujuan besar itulah, bangunan spiritual atau Asketisme Jawa menggabungkan aspek Tapa (Spiritual) dan Ngrame (Sosial) menjadi Manunggal (Bersatu) –

BERBICARA tentang manusia Jawa dan lebih spesifik mengenai tradisi kebatinannya di era saat ini dan juga sedikit meneropong ke dalam jejak-jejak kebatinan Jawa Wiwitan/Awal. Ada sesuatu yang sangat khas, yang begitu berbeda dengan tradisi kebatinan dari berbagai belahan dunia yang lain, seperti misalnya dengan tradisi kebatinan di Tibet, Bhutan, Thailand, Myanmar, Nepal, dan juga di India.

Di negara-negara yang saya sebutkan itu, tradisi kebatinan masyarakatnya terpolarisasi secara formalistik dalam dua bagian yang tegas, yaitu kaum awam atau “perumah tangga” dan kaum rahib atau “pertapa”.

Kaum perumah tangga pada umumnya adalah orang-orang yang awam mengenai laku-laku kebatinan dan seluk beluk pengetahuan batin. Mereka seperti manusia pada umumnya yaitu menikah dan bekerja mencari nafkah. Hidup mereka lebih diarahkan hanya semata untuk fokus dan bekerja pada perkara-perkara yang sekuler/keduniawian semata. Untuk itu soal kebatinan, soal spiritualitas mereka serahkan sepenuhnya pada otoritas kaum pertapa.

Sementara mengenai kaum pertapa adalah orang-orang yang dipandang expert (pakar) dalam laku-laku kebatinan dan seluk beluk pengetahuan batin. Hidup mereka haram untuk diorientasikan pada mencari nafkah dan hal-hal duniawi (sekuler), mereka harus selibat, haram untuk menikah atau sekadar berhubungan seks. Itu sebabnya mengenai penghidupan (makan dam minum) mereka bergantung sepenuhnya pada sumbangan kaum perumah tangga.

Jadi dengan demikian ada sebuah kesenjangan kebatinan/spiritualitas yang sangat besar dalam negara-negara dengan akar tradisi kebatinan semacam itu. Atau sedikit meminjam istilah yang dipopulerkan oleh Karl Marx, mungkin sistem masyarakat seperti itu menciptakan kelas “proletar spiritual” dan kelas “borjuis spiritual”, yang salah satu kelas menghisap/mengeksploitasi kelas yang lain.

Terkait

Terkini