Asri dan Alaminya Desa Pegongsoran

Desa Pegongsoran dengan harmoninya hutan dan bengawan kali Waluh, dapat menjadikan relaksasi kepenatan dan reuni masa lalu di tengah bisingnya kawasan pantura sebagai mobilitas penting jalur Trans Jawa

7 Mei 2022, 23:17 WIB

Nusantarapedia.net, Pemalang, Jawa Tengah — Di tengah hiruk pikuk bisingnya kota Pemalang, karena berada di jalur arus mudik dan arus balik yang sangat ramai, di mana kota yang terkenal dengan sebutan “pusere jawa” ini, merupakan jalur segitiga yang sangat strategis, baik dari arah kota Cirebon, Semarang maupun Purwokerto.

“Demikian adanya, potret alami desa yang semakin tergerus akan kemajuan budaya jaman. Meski demikian, hukum alam tetaplah jujur, selalu menyisakan dalam bagian harmonisasi alam sebagai penjaga keseimbangan alam dan manusia secara natural. Desa Pegongsoran menjawabnya, meski di tengah desakan modernisasi.”

Pemalang dilewati jalur utama Trans Jawa, atau lebih dikenal sebagai jalur Pantura, Daendels atau jalan Pos. Bagi para pengendara yang masih suka menggunakan jalur arteri lama, tanpa masuk melalui jalan Tol Trans Jawa, adalah kenikmatan sendiri sambil menikmati budaya masyarakat pesisir.

Jalur yang selalu ramai ini, tentunya berdampak pada kebisingan dan polusi udara bagi kondisi kota Pemalang.

Dalam himpitan kebisingan lalu lintas dan perkembangan kota khas pesisiran, masih ada salah satu desa di antara 20 Desa dan atau Kelurahan yang ada di Kecamatan Pemalang Kota yang masih mampu mempertahankan corak khas kehidupan seperti keadaan pedesaan pada era tahun 1960-an.

Keadaan desa di mana masih terdapat ratusan hewan ternak dari petani tradisonal, seperti jenis Kerbau Jawa masih bisa di jumpai.

Di kandang kerbau milik penduduk desa Pegongsoran, sebuah desa yang terletak di pinggir hutan dan pinggir kali (sungai) Waluh, salah satu sungai besar di kabupaten Pemalang, masih menyajikan suasana yang alami dan asri di tengah pesatnya perkembangan daerah pesisiran yang ramai.

Eko dan Turanto, dua warga Pegongsoran, di antara penduduk yang masih mempertahankan kearifan lokal dengan memelihara kerbau di kandang pinggir hutan dan kali Waluh, tepatnya berada di sebelah timur hutan jati Perhutani.

Kebanyakan warga Pegongsoran kecamatan Pemalang kota tersebut yang memelihara kerbau, dengan rata-rata tiap orang (keluarga) mempunyai peliharaan ternak berjumlah 4 hingga 6 ekor. Penyebaran ternak kerbau berada di Dusun Pegongsoran sendiri serta Dusun Pesalakan, yaitu dusun di sebelah selatan Pegongsoran.

Menurut Turanto, yang juga sebagai kakak dari Kepala Desa setempat yakni Turitno, mengatakan bahwasanya memelihara kerbau bagi dirinya adalah hobby dan tradisi turun temurun dari orang tuanya.

Masih menurut Turanto, dirinya memelihara kerbau sebagai buruh, yang mana sistem upahnya, jika kerbau yang dipelihara olehnya beranak, anak kerbau itulah yang menjadi separoh upahnya dengan di jual terlebih dahulu. kemudian uangnya dibagi dua antara pemilik kerbau dan dirinya.

Hewan kerbau yang berdaging gempal dan berwarna hitam ke abu-abuan ini, kini keberadaannya semakin sulit ditemui, apalagi di daerah perkotaan seperti kecamatan Pemalang kota, yang mana pembangunan industrialisasi, pembangunan gedung perkantoran, area perniagaan dan perumahan semakin berkembang pesat.

Hal tersebut secara otomatis berdampak pada semakin menyempitnya lahan (pertanian). Namun demikian, desa Pegongsoran yang masih masuk dalam kawasan kota, mampu bertahan sebagai desa dengan gambaran suasana khas pedesaan pada perkampungan masa lampau. di mana hewan kerbau, suara burung saling bersahutan, terkadang sekawanan monyet masih sering dijumpai.

Demikian adanya, potret alami desa yang semakin tergerus akan kemajuan budaya jaman. Meski demikian, hukum alam tetaplah jujur, selalu menyisakan dalam bagian harmonisasi alam sebagai penjaga keseimbangan alam dan manusia secara natural. Desa Pegongsoran menjawabnya, meski di tengah desakan modernisasi.

Desa Pegongsoran dengan harmoninya hutan dan bengawan kali Waluh, dapat menjadikan relaksasi kepenatan dan reuni masa lalu di tengah bisingnya kawasan pantura sebagai mobilitas penting jalur Trans Jawa. (Ragil74)

foto : ©2022/Npj/Ragil74

Buyung, Pengemis Berkaki Buntung
Gatra Kencana, Resto Organik dan Merakyat
Pasar Kuliner Jadul Desa Penggarit
Jalan Daendels Pantura, Jadikan Jawa Sebagai Kota Terpanjang Dunia
Benowo Park, Antara Pariwisata dan Harmoni Alam
60 Persen Pemudik Belum Kembali ke Jakarta, Antisipasi Dari Pulau Sumatra dan Jawa
Memahami Kemiskinan Bersama Hamsad Rangkuti
Anies, Capres Paling Sering Dibicarakan

Terkait

Terkini