Bagaimana Menyikapi Golput?
Nusantarapedia.net | OPINI, POLHUKAM — Bagaimana Menyikapi Golput?
Oleh : Dr. Tomy Michael
“Dalam perspektif ilmu negara, apa yang dilakukan negara agar memimimalkan terjadinya golput tidak selaras dengan sifatnya. Negara memiliki sifat monopoli, memaksa serta keduanya, bagaikan leviathan yang terus menerus ada”
– golput tidak lagi menjadi hantu dalam bernegara jelang pemilu. Orang yang berkenan memilih pun sebetulnya lebih memiliki ikatan emosi yang kuat kepada negara, karena ia percaya sepenuhnya akan pilihan yang ada. Sebagai penyeimbang, apa yang harus dilakukan oleh negara terhadap mereka yang golput? –
SECARA histori golongan putih (golput) terjadi akibat penolakan akan sistem pemilihan umum (pemilu) yang lampau. Namun hingga saat ini golput menjadi perhatian negara dalam mensukseskan pemilu. Saat ini Indonesia tidak sedang belajar demokrasi lagi, karena ketika belajar terus digaungkan, maka kepastian dalam bernegara tidak akan tercapai. Demokrasi harus tetap disempurnakan terus menerus dengan banyak pendukung lainnya. Misalnya berdemokrasi yang baik dalam pemilu yaitu, adanya transparansi atau adanya peraturan perundang-undangan yang ada. Salah satunya pemikiran Socrates yang menjadikan dirinya mati, masyarakat muda saat itu semakin terbuka untuk memilih. Ini bisa dikatakan, policy yang semakin terbuka ternyata membahayakan karena tidak siap.
Bagaimana negara harusnya bersikap pada masyarakat yang golput? Tentu validasi jawaban yang saya tawarkan dalam esai ini tidak bisa dipaksakan ke seluruh subjek hukum, karena argumentasi hukum itu sifatnya luwes.
Dalam perspektif ilmu negara, apa yang dilakukan negara agar memimimalkan terjadinya golput tidak selaras dengan sifatnya. Negara memiliki sifat monopoli, memaksa serta keduanya, bagaikan leviathan yang terus menerus ada. Sifat negara yang ortodoks tersebut tidak relevan ketika tidak diimbangi dengan bagaimana negara bertindak terhadap permasalahan hukum. Perlu diingat juga, bahwa negara kekuasaan sudah tidak diakui lagi secara normatif di Indonesia melainkan negara hukum. Untuk mendefinisikan negara hukum pun dibutuhkan ketenangan hati agar jawaban itu tidak bertentangan dengan kebaikan universal. Kemudian esensi negara hukum sebetulnya juga ada kekuasaan didalamnya, hanya saja semuanya dibatasi dalam politea.
Jika dicermati, promosi agar tidak golput cenderung lebih masif menjelang pemilu presiden daripada pemilu kepala daerah yang sebelumnya. Ketika negara telah menyiapkan segala sesuatunya, maka ajakan untuk tidak golput sebetulnya menambah kerumitan bernegara. Mari diilustrasikan, ketika tidak ada satu pun warga negara Indonesia yang golput, namun mereka melakukan golput teknis seperti merusak kertas suara atau mencoblos secara tidak sah. Kemudian hasilnya pun sama andai kata golput diperbolehkan.
Sebetulnya negara giat mengkampanyekan tentang aturan kepemiluan secara mudah, sanksi yang diberikan ketika terdapat kecurangan pemilu atau keamanan akan logistik pemilu. Mengacu pada pemikiran Thomas Aquinas, bahwa secara alamiah manusia itu adalah baik. Namun kebaikan itulah yang menimbulkan permasalahan, karena tiap orang akan berusaha mencari cara penyelesaiannya. Tetapi kebaikan tiap orang itu akan menemukan caranya masing-masing, sehingga kebaikan akan memunculkan standar yang berbeda-beda.
Hal inilah yang dikritik oleh John Bordley Rawls, dan pada akhirnya melakukan perubahan akan makna keadilan dalam karya Political Liberalism. Artinya negara tidak selalu meluruskan tindakan kebaikannya dengan argumentasi dari masyarakat karena perbedaan standar tadi. Setiap subjek hukum pasti memiliki pilihan yang berbeda, namun negara tidak wajib memenuhinya karena semuanya kembali ke negara terkait legitimasi.