Bagaimana Perkembangan UU MIGAS Terkini
Nusantarapedia.net, Jurnal | ESDM — Bagaimana Perkembangan UU MIGAS Terkini
UNDANG-UNDANG Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas), dinilai banyak pihak sudah tidak relevan lagi saat ini.
Gaung revisi UU Migas ini sebelumnya sudah cukup lama terdengar untuk segera direvisi, karena sudah tidak sesuai dengan dinamika yang terjadi di Indonesia, dalam pengertian negara lebih banyak dirugikan daripada keuntungan yang didapat.
Terlebih, Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 002/PUU-4/2003 pada tanggal 21 Desember 2004, telah membatalkan Pasal 12 ayat (3), Pasal 22 ayat (1), serta Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, karena bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945), sehingga pasal-pasal yang dibatalkan tersebut tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat
Terakhir, MK juga mengeluarkan putusan terhadap uji materiel UU Nomor 2 Tahun 2001 tentang Migas, yakni Melalui Putusan No. 36/PUU-X/2012. MK antara lain membatalkan Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, Pasal 63 UU Migas.
Mahkamah Konstitusi juga membatalkan frasa-dengan Badan Pelaksana dalam Pasal 11 ayat (1), frasa melalui Badan Pelaksana dalam Pasal 20 ayat (3), frasa berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan dalam Pasal 21 ayat (1), frasa Badan Pelaksana dan dalam Pasal 49 dari UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Berkaitan dengan hal ini, Mulyanto Anggota Komisi VII DPR RI, dalam keterangan persnya yang dikutip dari Parlementaria, Selasa (22/11/2022), mengatakan bahwa, kabar hengkangnya beberapa perusahaan migas asing dari Indonesia harusnya menjadi perhatian bagi pemerintah untuk berbenah.
Menurutnya, pemerintah harus segera mengevaluasi berbagai aturan yang membuat investor migas asing tidak betah melanjutkan kegiatan investasi di Indonesia. Termasuk segera merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) yang dinilai sudah tidak relevan. Bila kondisi ini dibiarkan Indonesia berpotensi kehilangan pendapatan negara yang cukup besar.
Mulyanto menyebut selama ini DPR sering mengingatkan pemerintah terkait pentingnya pembahasan revisi UU Migas ini. Namun sayangnya, seruan tersebut tidak ditanggapi serius oleh Pemerintah.
Hingga kini Surat Presiden (Surpres) kepada DPR untuk membahas revisi UU Migas tersebut tidak disertai daftar inventarisasi masalah (DIM).
“Bagaimana DPR mau membahas revisi UU Migas ini kalau Presiden tidak juga mengirimkan DIM. Karena pembahasan RUU itu kan harus mengacu kepada DIM,” ujar Mulyanto.
Sebelumnya dalam pembahasan RUU Cipta Kerja, pemerintah memasukan revisi UU Migas, termasuk usulan pembentukan kelembagaan BUMN Khusus Migas. Namun naasnya, pada saat pembahasan, pemerintah sendiri yang tidak tidak siap dan mencabut usulan bahasan tersebut. Mulyanto menyebut ada beberapa hal penting yang perlu diatur dalam UU Migas yang baru. Terutama terkait masalah kelembagaan dan perizinan.
Mulyanto berharap, UU Migas ini lahir sebuah lembaga yang berwenang penuh untuk mengatur kegiatan hulu migas yang selama ini secara sementara dijalankan oleh SKK Migas. Menurutnya, lembaga ini harus punya kewenangan penuh untuk mengatur berbagai kebijakan migas secara komprehensif. Tidak parsial seperti yang berlaku selama ini. Bahkan bila perlu, kelembagaannya harus setingkat kementerian. Agar kepala lembaga ini dapat berbicara langsung dalam rapat kabinet.
Dengan demikian keputusan dan koordinasi implementasi kebijakan terkait migas dapat diselesaikan dengan cepat dan efisien.
“Selain itu UU Migas yang baru nanti harus dapat menyederhanakan birokrasi perizinan. Ide untuk membuat layanan satu atap migas saya rasa cukup baik. Sehingga investor tidak repot wara-wiri ke berbagai kementerian untuk mendapatkan berbagai izin. Sudah sama-sama kita ketahui dimana ada izin, di sana ada biaya yang harus dikeluarkan. Akibatnya biaya investasi menjadi tinggi,” jelas Mulyanto.
Komisi VII DPR RI berencana segera membahas kembali inisiatif DPR terkait revisi UU Migas, setelah selesai melalukan pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Namun sayangnya, seperti revisi UU Migas, pemerintah kembali tidak mengirimkan DIM terkait RUU EBET. Bahkan sudah lewat 60 hari sejak surat diterima DPR.
Hal tersebut di atas, Mulyanto sudah kembali memantik mengenai bagaimana seharusnya UU Migas perlu untuk segera direvisi.
Lantas bagaimana daftar inventarisasi masalah dalam UU MIGAS ini menurut catatan Dr. Lestari Moerdijat, S.S., M.M. yang diterbitkan pada 7 Oktober 2019, di laman slideshare.net. Berikut analisisnya dalam poin-poin;