Baliho Pilkada, Dari Strategi Usang Kampanye Hingga Menyiratkan Kedangkalan Ruh Kepemimpinan

5 Juni 2024, 23:53 WIB

Nusantarapedia.net | OPINI, POLHUKAM — Baliho Pilkada, Dari Strategi Usang Kampanye Hingga Menyiratkan Kedangkalan Ruh Kepemimpinan (Konsep Kepemimpinan Ideal)

Oleh : B. Ari Koeswanto ASM

“Terlebih, aspek spiritualitas tidak lagi menjadi ruh kepemimpinan untuk mengiringi pembangunan peradaban global saat ini yang hanya berorientasi pada materialitas dari hulu liberal-kapital yang meminggirkan entitas di dalamnya. Ini adalah sesuatu yang hilang dalam role model kepemimpinan Indonesia pada daerah-daerah yang mewakili aspek kebangsaan, yang bagian itu justru seharusnya ditangkap atas semangat otonomi daerah untuk memberikan detail hak kebangsaan dengan tetap memberikan otorisasi penuh pada negara yang bersifat sebagai alat yang integral.”

– pada kalimat ambek adil paramarta, berarti mampu bersikap adil dan bermurah hati (keadilan sosial), karena kepekaannya pada nilai-nilai yang dibangun dari konstruksi yang manusiawi dengan landasan imanensi.

– betapa polusi visual telah mengganggu estetika dan berpotensi menimbulkan kecelakaan lalu lintas, lantaran melihat foto ibu atau nona yang cantik “merok-merok”, juga melihat bapak atau mas-mas yang dibuat gagah perkasa tiada tanding, tapi “wagu” ketok yen “meksa” dengan senyum citra yang dibuat-buat, terpampang pada baliho beraneka ukuran. Bahkan ada yang asal nampang dipaku di pohon-pohon, tak sedikit pula terpampang di atas tumpukan sampah, juga kakus umum sekalipun –

PILKADA (Pemilihan Kepala Daerah) Serentak 2024 digelar pada 27 November 2024, diikuti sebanyak 545 daerah, dengan rincian; terdiri dari 37 provinsi, 415 kabupaten dan 93 kota se-Indonesia.

Berawal dari semangat reformasi menjadikan perubahan praktik demokrasi di Indonesia berdampak positif, manakala setiap warga negara dalam kedudukan yang setara akan hak berpolitik, seperti pada konteks Pilkada Serentak 2024 untuk menjadi seorang pemimpin di segala level, yakni menjadi presiden, gubernur, bupati, wali kota hingga kepala desa, setiap warga negara mempunyai hak konstitusional untuk dipilih dan memilih.

Namun, tunggu dulu! Apakah sebenarnya pemimpin itu, seperti apakah konsep kepemimpinan itu hingga implementasinya bersifat ideal. Seringkali kita terjebak pada narasi demokrasi. Semangat demokrasi tidak hanya dimaknai sebatas hak konstitusional dalam proses menjadi pemimpin, demokrasi menyempit hanya urusan regulasi administrasi semata. Lihatlah, kasus otak-atik gathuk aturan selama ini, bahwa demokrasi hanya dipandang dari bentuk hukum (tertulis) saja sebagai formalitas, sedangkan aspek etik dan moral yang mengandung substansi kebermanfaatan sesuai prinsip dan asas bahkan adagium nilai-nilai universal tidak dijadikan alas, penerjemahan demokrasi tidak dilandasi dengan nilai. Bahkan outputnya, aturan dijadikan alat tambang pundi-pundi uang dan kepentingan terselubung lainnya yang tidak memihak rakyat.

Untuk itu renungkanlah dan mengertilah; bahwa pemimpin itu berada pada derajat yang paling tinggi — di puncak tangga hirarki sosial. Sejauh mana mampu menyangga batin dan lahir seisi di dalamnya. Sadari itu, sebagai landasan filosofis kepemimpinan, tak sekedar turut berpartisipasi dalam keriuhan aneka pemilihan berdasarkan regulasi yang “by design”.

Berangkat dari perspektif itu, apakah calon pemimpin mengerti dan memahami konsep kepemimpinan yang sejati, bukan Pilkada yang tampak euforia saja dengan mengedepankan pragmatisme di semua level, melibatkan partai politik dengan “dagang sapinya” untuk mendapatkan rekomendasi calon, hingga politik uang (money politics) yang membudaya di akar rumput melibatkan dua arah, calon/parpol dan konstituen.

Lucunya, Pilkada sebatas digunakan ajang personal branding semata, menyiratkan pribadi-pribadi yang tak tahu diri, lantaran tanpa mengukur bekal kepemimpinan, jauh dari kualifikasi menjadi pemimpin sejati, turut serta nampang pada baliho-baliho sebagai bakal calon hingga calon kepala daerah. Apakah mereka berniat sungguh-sungguh menjadi pemimpin, atau hanya sekedar numpang beken dengan parade foto-foto norak dan narsis pada baliho yang dipasang di sudut-sudut kota dan desa. Jangankan memahami filosofi kepemimpinan dari nilai spirit-nya, etika dan moral, penyelenggaraaan kepemerintahan yang baik, hingga aspek (problem) ekologi. Bekal yang dimilikinya tak linier dengan besarnya tanggung jawab akan amanat (mandat) rakyat. Tersampaikannya pesan akan tanggung jawab keberlanjutan impact kepemimpinan, menjadi hilang di era demokrasi tanpa arah ini.

Terkait

Terkini