Bangunan Monumen Sebagai Living Monument, Penjaga Keluhuran Nilai Sejarah

9 November 2021, 03:41 WIB

Nusantarapedia.net–Bangunan Monumen Sebagai Living Monument, Penjaga Keluhuran Nilai Sejarah

Identity Pride. Kebanggaan akan identitas suatu bangsa atau negara, selalu dipandang penting dalam kepentingan penyiaran akan siapa dirinya. Di situlah bangunan fisik berupa monumen marak didirikan. 

Di dalamnya mengandung nilai filosofi dan spirit kehidupan yang dilandasi dari nilai sejarah mengenai banyak aspek. Pada perkembangannya, aspek kesejarahan tidak mutlak sebagai pijakan, pembangunan monumen sebagai bentuk peringatan tidak lagi sebagai tujuan, bahkan sengaja bersifat ahistoris dengan tujuan tertentu, termasuk pengakuan hegemoni dunia dan gairah industri.

Siapa yang tidak mengenal Menara Eiffel di Paris, sebagai peringatan seratus tahun Revolusi Perancis, dalam perjalanannya telah menjadi ikon global, berkembang menjadi sarana industri yang luas? 

Seperti halnya ikon dunia yang lain, Menara Pisa di Italia, Amerika dengan Patung Liberty, Australia punya Sydney Opera House, Taj Mahal di India, Malaysia bangga dengan Petronas Tower, Inggris terkenal dengan Big Ben-nya, Kamboja dengan Angkor Wat, Burj Khalifa di Uni Emirat Arab, dan tentunya Indonesia, bangga dengan Monumen Nasional alias Tugu Monas.

Sejarah hebat Nusantara, telah menorehkan catatan besar kepada dunia. Bangunan bersejarahnya termasuk dalam kategori warisan dunia, sebagai ciri peradaban asli bangsa Nusantara (local genius).

Peninggalan bersejarah berupa; Candi Muara Takus, situs Biaro Bahal oleh kerajaan Sriwijaya

Seribu candi yang dibangun oleh wangsa Syailendra dan cabangnya Sanjaya, seperti; Candi Borobudur, Keraton Ratu Boko, Prambanan, Dieng, Gedong Songo, dan lainnya. Begitu juga masa Medang Kamulan, telah mewariskan wujud kebudayaannya yang agung, seperti situs Trowulan Majapahit, dan banyak candi yang tersebar di wilayah kultural Jawa Timuran.

Pada masa Nusantara pertengahan, monumen hidup dari peninggalan masa Islam masih lestari. Bangunan Masjid, Menara, Kompleks Makam, Bekas Pesantren, dijadikan spirit filosofi dalam laku kehidupan. Masjid Agung di Demak, Masjid Menara Kudus, Kedatuan para Wali, adalah monumen abadi, terus digunakan setidaknya sampai saat ini.

Belanda, mulai dari organisasi dagang VOC sampai pemerintahan administratif Hindia Belanda, yang diopinikan sebagai kolonialis, telah mewariskan banyak bangunan berbentuk infrastruktur publik.

Puluhan benteng telah dibangun untuk tujuan kemiliteran, ratusan pabrik gula dioperasikan, planologi kota sebagai bentuk master plan tata ruang dan wilayah telah dimulai sebegitu detailnya. Kesemuanya telah menghantarkan pada hal baru sebagai masyarakat industri dari basis agraris, serta pembangunan berwawasan ekologi untuk fungsi ruang bagi manusia (pemukiman).

Lingga dan Yoni

Nusantara kaya akan peninggalan bangunan bersejarah, salah satunya adalah Candi yang didalamnya terdapat banyak artefak, diantaranya Lingga dan Yoni. Telah menginspirasi banyak bangunan modern sebagai bentuk dasar arsitektur duplikasi Lingga dan Yoni.

Secara umum, artefak tersebut sebagai simbol dasar dari penciptaan manusia. Menurut sumber BPCB Jawa Tengah (2016), banyak interpretasi mengenai lingga dan yoni berdasarkan agama atau kepercayaan yang telah tumbuh ke dalam banyak aliran maupun sekte, bagi agama Hindu dan Budha. Lingga digambarkan dalam berbagai wujud antropomorfik

Oleh penganut Siwaisme Lingga sebagai simbol Siwa meski dalam wujud an-iconic. Dalam mitologi Linggodbhawa Murti, sebagai simbol benih dari segala sesuatu yang ada di alam semesta ini berasal. Merupakan simbol kejantanan dari organ maskulin, disebut sebagai Jyotirlinga.

Pancaran dari energi penciptaan Lingga, akan berfungsi bila disatukan dengan energi Shakti disimbolkan dalam bentuk Yoni. Merupakan organ feminin untuk menampung energi penciptaan Lingga. Dengan demikian, satunya Lingga dan Yoni merupakan awal dari kehidupan manusia sebagai proses penciptaan.

Tidak hanya simbol penciptaan dasar manusia, Lingga dan Yoni mengetengahkan fakta bahwa, Nusantara sebagai daerah yang subur. Kondisi alamnya mendatangkan kemanfaatan bagi kehidupan makhluk di dalamnya, terciptanya harmonisasi manusia dan alam, telah mengantarkan pada tumbuhnya nilai-nilai spirit kehidupan bagi bangsa Nusantara, yang selanjutnya terwariskan kepada generasi, hingga duplikasi Indonesia modern selalu berkiblat dari kesejarahan masa lalu Nusantara yang penuh spirit filosofi.

Masa Revolusi Nasional Indonesia

Targetnya, kerajaan Belanda dan Sekutunya ingin kembali merebut negara bekas koloninya tersebut sebagai pemerintahan administrasi Kerajaan Belanda sebagai negara Hindia Belanda.

Pada akhirnya, Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada tanggal 29 Desember 1949. Pasca kemerdekaan, sebagai awal masa Revolusi dalam rangka semangat mempertahankan proklamasi, adalah Pertempuran Surabaya yang terkenal dalam peristiwa 10 November. 

Berbagai perlawanan dan pertempuran dalam revolusi fisik oleh bangsa Indonesia terjadi di berbagai daerah, antara lain; Pertempuran Medan Area, Pertempuran Lima Hari di Semarang, Pertempuran Ambarawa, Pertempuran di Padang, Peristiwa Bandung Lautan Api, Pertempuran di Palembang, Serangan Umum 1 Maret di Yogyakarta, hingga Serangan Umum di Surakarta.

Semangat para pejuang Indonesia dalam pertempuran tersebut berbuah, salah satu hal pokok dalam semangat mempertahankan kemerdekaan tersebut, berhasil menggiring opini dunia, hingga banyak negara pada akhirnya turut mengakui kedaulatan kemerdekaan Indonesia, bahwa bangsa Indonesia sudah selayaknya berhak menentukan nasibnya sendiri sebagai negara merdeka.

Filosofi Bangunan Monumen sebagai Monumen Hidup

Adalah Soekarno, sebagai presiden pertama Republik Indonesia, dengan semangatnya menggaungkan penghapusan budaya poskolonial. Tujuan didirikannya Tugu Monas, tak lain sebagai peringatan atas jasa para pahlawan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan, dengan semangat membangun mentalitas bangsa sebagai jati diri.

Tugu Proklamasi, Tugu Monas, Tugu Pahlawan Surabaya, Monumen Jogja Kembali, Monumen Bandung Lautan Api, Monumen Palagan Ambarawa, Monumen Bajra Sandhi di Bali, Monumen Padang Area, Patung Jenderal Soedirman di Flores, Patung Sultan Hasanuddin di Makasar, Patung Martha Christina Tiahahu di Ambon, serta masih banyak lagi aneka Tugu, Monumen maupun Patung sebagai peringatan dalam rangka merebut dan mempertahankan kemerdekaan atas bela bangsa para pendahulu.

Tentu, keberadaan Monumen diatas hanyalah benda mati yang tidak abadi. Filosofi didalamnya mengandung nilai historis yang tidak ternilai, guna menghormati jasa para pahlawan. 

Maksud pendirian bangunan tersebut, diharapkan agar aktualisasi nilai kepahlawanan bagi semua warga negara menjadi bentuk monumen hidup yang abadi. Isi sejarahnya, filosofinya, simbol jati diri, nilai spiritnya, juga aktualisasi implementatif kekinian sebagai kesadaran Pahlawan masa kini dalam mengisi kemerdekaan, tak lain tujuan yang termaktub dalam amanat konstitusi merupakan tujuan yang harus dibela, dipertahankan dan diwujudkan oleh 300 juta Pahlawan Indonesia saat ini.

Kultus bangunan tersebut bukan terletak pada wujud fisiknya, namun spirit didalamnya sebagai kesadaran kolektif setiap insan warga negara, bertindak sebagai Pahlawan dalam tindakan nyata dalam tata kelola penyelenggaraan berbangsa dan bernegara, terlebih oleh kekuasaan, dan kepatuhan serta kesemangatan pembangunan materiil dan spirituil yang sehat oleh setiap komponen bangsa.

Bila spirit itu ditarik pada peradaban Nusantara yang jauh lebih kuno, Monumen tersebut bertindak sebagai sumbu ingatan akan kebesaran masa lalu yang telah mengalami masa keemasan, seperti yang tersirat dalam makna artefak Lingga dan Yoni. Nusantara yang subur dan makmur, kekayaan yang melimpah, serta tatanan masyarakat yang sudah mengalami puncak keidealan sebagai bangsa. 

Selarasnya antara pembangunan fisik dan spiritual, keadaban dan kemanusiaan yang pada tempatnya, hingga menuju keselarasan kehidupan manusia dan alam, juga dalam penerapan organisasi bernegara sebagai bentuk entitas besar.

Kontradiksi Nilai Kepahlawanan Sejarah Nusantara dengan Strategi Usang Pemilu

Tidak mencari-cari alasan atas diskursus ideologi maupun bentuk tata kelola institusional sebagai kekuasaan (government), apapun bentuk dan sistemnya sebagai penyelenggaraan, baik dengan sistem monarki maupun demokrasi, pada intinya sama, meski dinamika didalamnya selalu mencari format yang ideal. 

Penyelenggara dan rakyat adalah dua komponen yang tidak bisa dipisahkan dengan tugas pokok dan fungsi sesuai dengan kapasitas masing-masing, yang ruhnya bernafas pada nilai kesejarahan.

Dengan demikian, hendaknya seluruh monumen ditiupkan ruh agar hidup, membawahi spirit dalam kehidupan kebangsaan dan bernegara kita saat ini, jadikan sebagai poros filosofi dalam aplikasi dan implementasi modern, bukan stuck pada khayalan belaka sebagai sumbu imajiner. 

Pun sebagai romantisme sejarah, apalagi tergiring dalam opini globalisasi dan revolusi industri 4.0 yang menyandera kita, semakin mengaburkan tujuan, yang seharusnya pondasi itu telah kita bangun sebegitu kokohnya. Dengan semangat, tekad, kemauan dan keseriusan semua komponen bangsa, tujuan ideal konstitusi dapat diwujudkan, tanpa menggadaikan arti jati diri sebagai hak kedaulatan manusia dan langit.

Aneka Bangunan Simbolisasi dalam Tinjauan Tata Ruang Modern

Demografi Indonesia saat ini telah menjadikan jumlah penduduk menempati posisi lima besar dunia. Hal ini berpengaruh pada penyediaan ruang pemukiman. Perlu dipersiapkan secara detail dalam pengaturan rencana tata ruang dan wilayah, agar tidak terjadi alih fungsi lahan yang tidak berwawasan ekologi.

Menjadi kewajaran bila aneka bangunan monumen didirikan di seluruh penjuru tanah air kala itu. Bentuk penghargaan, semangat dan nilai historis didalamnya sebagai sumbu filosofi patut dikenangkan sebagai fungsi living monument. Mengingat bangsa Indonesia akan mengarungi bahtera kehidupan masa depan sebagai titik awal.

Kiranya saat ini, sejak undang-undang otonomi daerah diberlakukan, pun dengan undang-undang desa, gairah pembangunan di seluruh tanah air menjadi riuh. Tidak sedikit provinsi, kabupaten/kota maupun desa membangun monumen serupa sebagai bentuk nilai spirit dan brand. Banyak tema-tema diusungnya seikonik mungkin, dari tema kepahlawanan sampai kerajaan, bahkan tema artifisial masa depan.

Sah dan boleh saja itu dilakukan, selama tidak menyalahi fungsi tata ruang, memenuhi kaidah arsitektural, dan berimplikasi pada edukasi. Sering didapati aneka monument yang a-historis dan terlalu dipaksakan, terlebih terjebak pada gaya masa depan yang belum tentu jelas seperti apa kehidupan nantinya.

Harapannya, pembangunan tersebut saat ini harus dikendalikan, cukup sudah kita merawatnya yang sudah ada sebagai warisan, dan cukup juga sebagai penjaga keluhuran nilai sejarah, baik spirit kepahlawanan maupun aspek sosiologis lainnya pada peristiwa masa lampau. Bukan perlombaan daerah membangun aneka bangunan dengan alasan sebagai ikon.

Lantas, apabila bangunan itu didirikan saat ini, tema artifisial masa depankah yang aktual. Tentu tidak! Mengapa?

Perlu kita jujur mengakuinya, bahwa tujuan berbangsa dan bernegara menurut amanat konstitusi belum tercapai. Dengan demikian, signal kebudayaan masa lalu yang saat ini menguat, perlu ditransfer dalam realisasi yang aplikatif dan implementatif. 

Saat ini, kita belum mampu untuk melepaskan keterlepasan antara masa lalu dan sekarang tidak terhubung (decoupling), kita masih berharap pada spirit kultural masa lalu sebagai penyangga. 

Mendulang Keteladanan Pahlawan, Semboyan “Merdeka atau Mati” hingga “Tiji-Tibeh” dalam Aktualisasi Modern

Dalam realisasinya, kita belum diizinkan oleh keadaan untuk membangun gaya kehidupan masa depan yang bias, penuh imajinasi dan artifisial. Alasannya sederhana, kita belum finish dalam tujuan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang mana generasi masa depan masih perlu dibimbing dalam pembentukan jati diri ke-Indonesiaan.

Kecuali, semuanya sudah tercapai, maka kita siap untuk melepaskan nilai historis masa lalu. 

Jangan sekali-kali terjebak dalam narasi global, yang sesungguhnya itu neoliberal! 

Selamat Hari Pahlawan

Kami meneruskan perjuanganmu, sebagai 300 juta Pahlawan masa kini.

Terkait

Terkini