Bapak, Jangan Menangis
"Bapak, jangan menangis lagi, ya. Ning tetap akan tinggal dan merawat Bapak, setelah Ning menikah nanti."
Nusantarapedia.net — Bapak, Jangan Menangis
“Tidak, Ning. Bapak nggak berkeinginan untuk itu. Cukup satu cinta untuk Ibumu saja.”
Aku terbangun saat alarm sahur berbunyi. Kubawa tubuh ini ke kamar mandi.
Seketika dingin menjalari tubuh, saat air dari keran membasuh muka.
Aku mengambil mukena untuk menunaikan salat di sepertiga malam terakhir. Berharap dapat menjemput berkahnya malam Lailatul Qadar, yang hadir di sepuluh hari terakhir Ramadan.
Selama tiga puluh hari berpuasa ada satu malam yang spesial yaitu malam Lailatul Qadar. Sering diartikan sebagai malam seribu bulan. Pada malam ini, di kisahkan para malaikat turun. Mencatat segala amal kebaikan yang kita kerjakan.
“Pak, kenapa menangis?” tanyaku saat melihatnya yang tengah tertunduk.
Bapak buru-buru mengusap matanya.
“Bapak tidak menangis Ning, hanya kelilipan.”
Selalu begitu jawaban Bapak saat aku memergoki beliau meneteskan air mata. Bapak berusaha menyembunyikan air mata yang selalu beliau tumpahkan di atas sajadah usang bergambar Ka’bah. Di tangannya tasbih kayu oleh-oleh dari Pakde saat pergi Haji lima tahun yang lalu, masih menjadi teman setia dalam setiap waktu salat.
Bapak adalah lelaki paling kuat yang kukenal. Beliau adalah seorang duda tangguh yang kumiliki. Sejak kepergian Ibu, beliau tidak mau menikah lagi. Katanya, tidak mau jika aku memiliki ibu tiri. Bapak lebih memilih menjadi Single Dad dalam membesarkanku. Terhitung sejak meninggalnya ibu, di saat aku masing-masing berusia tiga tahun.
Sekarang usiaku genap dua puluh dua tahun. Dan selama itu pula, hanya Bapak yang menemani hari-hariku, di sela-sela pekerjaannya sebagai buruh tani.
Dua puluh tahun sudah Bapak menduda. Kadang ada rasa kasian saat melihat beliau seorang diri saat kutinggal bekerja.
“Ning rela jika Bapak menikah lagi. Mungkin Bapak butuh seseorang yang bisa mendampingi disaat sendirian,” ungkapku suatu hari.
“Tidak, Ning. Bapak nggak berkeinginan untuk itu. Cukup satu cinta untuk Ibumu saja.”
So sweet memang Bapakku ini. Beruntungnya Ibu bersuamikan beliau. Namun, sayang umur Ibu tidak panjang.
Alarm pengingat bahwa sebentar lagi Imsak sudah berbunyi. Aku segera mengajak Bapak untuk makan sahur. Memang sudah menjadi kebiasaanku dan Bapak dalam hal mengakhirkan makan sahur. Sepotong roti dan segelas susu putih, sudah cukup menjadi makan sahur kami.
“Ning, mungkin ini Ramadan terakhir kita bisa puasa bareng, ya?”
Bapak menyeka sudut matanya yang berair. Sosok tangguh itu terlihat kian renta seiring waktu yang melaju.
“Bapak kok ngomong gitu. Ning akan selalu menemani Bapak sampai kapanpun.”
Aku menjawab dengan sedikit memberi keyakinan pada Bapak bahwa aku tidak akan meninggalkannya.
“Kamu tidak lupa, kan, Ning. Besok Lebaran hari ke sepuluh kamu akan melangsungkan pernikahan?”
Aku mengangguk. Tentu tidak akan lupa karena itu akan menjadi hari bersejarah untukku.
Bapak menghela nafas pelan, lalu memandang haru padaku.
“Itu berarti purna sudah tugasku sebagai seorang Bapak. Menghantarkanmu dalam gerbang pernikahan adalah cita-cita terakhir Bapak. Setelah itu tugasku akan diambil alih oleh suamimu. Semoga suamimu bisa menjadi imam terbaik dalam membina rumah tangga bersamamu.”
“Aamiin. Semoga Allah mengabulkan doa Bapak.”
Ternyata selama ini Bapak menangis hanya karena takut kehilangan aku, setelah menikah nanti. Rasa sayangnya begitu besar kepadaku.
“Bapak, jangan menangis lagi, ya. Ning tetap akan tinggal dan merawat Bapak, setelah Ning menikah nanti.”
“Memang kamu sudah minta ijin sama calon suami kamu?”
“Sudah, Pak. Jangan kuatir. Semua sudah Ning bicarakan sebelumnya. Toh calon suamiku dekat juga kan rumahnya.”
Aku tersenyum. Bapak nampak lega. Beliau memelukku. Sebuah pelukan hangat seorang Bapak kepada anaknya yang begitu tulus.
Alhamdulillah. Aku ucapkan syukur pada Allah karena ternyata jodohku adalah tetanggaku sendiri. Namanya Mas Rahman, usianya terpaut tiga tahun di atasku. Dia adalah teman bermainku sejak kecil. Tak pernah mengira jika kami berjodoh.
Rumah kami hanya berjarak dua puluh meter, jadi aku tetap bisa merawat Bapak. Tak terbayang jika jodohku orang yang jauh tempat tinggalnya. Pasti Bapak akan sangat kehilangan putri satu-satunya ini.
Terima kasih, Ya Allah, atas semua suratan takdir yang Kau tuliskan untukku. Dan aku yakin semua pasti adalah jalan yang terbaik.
Magelang, 17 Ramadan 1443 H
Mundy Sae
Bingkai Kenangan Saat Ramadan
Keinginan Yang Tertunda
Angkringan atau Wedangan dan Budaya Jagongan
Setia Adalah Roman di atas Selembar Tikar