Baritan, Tradisi Tolak Bala Malam 1 Suro

Sebagai contoh masyarakat di Kota Blitar, Jawa Timur, Baritan ini dilaksanakan pada penghujung bulan besar atau Dzulhijjah menjelang bulan Muharram.

31 Juli 2022, 17:51 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Sosbud — Baritan, Tradisi Tolak Bala Malam 1 Suro

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk yang masyarakatnya terdiri dari beraneka ragam suku bangsa. Masyarakat umumnya menjunjung tinggi tradisi yang telah berkembang turun menurun di lingkungannya atau daerahnya.

Tradisi yang dilakukan oleh masyarakat ini adalah untuk menolak ‘bala’ atau bencana alam, kematian, kelaparan, dan hal-hal lainnya yang mengancam kehidupannya. Hal ini akhirnya menimbulkan berbagai tradisi yang hingga kini masih tetap hidup (the living tradition). Salah satu tradisi tersebut adalah “Baritan.”

Tradisi Baritan adalah upacara adat yang pada umumnya berkaitan dengan kepercayaan masyarakat dan peristiwa alam. Tradisi ini tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat dan sudah turun menurun hingga sekarang.

Memperingati malam 1 Suro pun, khususnya beberapa di wilayah Jawa Timur, masyarakat menggelar Baritan untuk meramaikan suronan dan menolak bala.

Sebagai contoh masyarakat di Kota Blitar, Jawa Timur, Baritan ini dilaksanakan pada penghujung bulan besar atau Dzulhijjah menjelang bulan Muharram. Karena diyakini bahwa bulan Suro atau Muharram adalah bulan keramat yang dipercaya sebagai tonggak atau bulan permulaan untuk memulai sesuatu.

Setiap menjelang bulan Suro ini, tanpa ada instruksi juga tanpa pemberitahuan, setiap warga sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk kegiatan ini. Selanjutnya menjelang atau setelah magrib warga berduyun-duyun berkumpul di perempatan (ruang publik) terdekat untuk melakukan upacara selamatan atau tasyakuran.

Demikian juga oleh masyarakat Kabupaten Tulung Agung, tradisi Baritan digelar pada malam hari, tepatnya pada malam 1 Suro dengan menggelar serupa tirakatan di pertigaan atau perempatan (ruang publik) dengan masing-masing warga membawa hidangan dalam takir ponthang.

Agak berbeda dengan masyarakat Banyuwangi, masyarakat duduk berkelompok beralaskan tikar sesuai dengan keluarga, kerabat masing-masing. Tiap kelompok melingkari atau duduk berhadap-hadapan yang di tengahnya terdapat makanan khas adat, pecel pitek (ayam) yang mereka bawa.

Hidangan itu nantinya akan disantap secara bersama-sama, seusai pemangku adat membacakan doa keselamatan bagi semua penghuni desa. Selama acara berlangsung, jalan raya desa ditutup dan arus lalu lintasnya dialihkan ke jalur lain.

Tradisi Baritan digelar menjelang beberapa saat adzan magrib berkumandang. Karena disaat itulah bulan dianggap sudah berganti atau Tahun Baru Muharam telah datang.

Acara adat yang berusia ratusan tahun ini diakhiri dengan menebar beras kuning dan penanaman telur ayam di empat penjuru. Kedua benda tersebut terlebih dahulu diberi mantera khusus.

Di Kulon Progo, Yogyakarta, Baritan merupakan tradisi yang identik dengan membawa takir perwakilan dari anggota keluarga. Takir tersebut berisi nasi yang berisikan sayur dan lauk pauk. Sayur yang biasa digunakan ialah berbagai macam kulupan. Yang tidak boleh ketinggalan dalam takir adalah janur yang di pasangkan pada takir.

Pada sebuah sajian dalam takir memiliki makna sendiri-sendiri misalnya : sambel goreng melambangkan kebersamaan karena dalam sambel goreng tersebut banyak campuran mulai dari kentang, tempe, tahu dan lain-lain. Sedangkan telur melambangkan kerja keras, karena pada zaman dahulu untuk mendapatkan telur sangat susah sehingga dibutuhkan usaha lebih untuk mendapatkannya.

Masih banyak daerah-daerah yang menghelat Baritan untuk memperingati dan menyambut datangnya 1 Muharram. Meskipun dengan tradisi, ritual dan sajian yang berbeda-beda, esensi kegiatan tetap sama, yaitu memohon keselamatan untuk tahun-tahun yang akan datang.

Perlu diketahui, tahun baru islam dalam penanggalan Hijriah ini, kemudian diduplikasi menjadi sistem kalender Jawa, hasil percampuran dari kalender Hijriah dan Saka menjadi tahun Jawa. Dengan demikian, tahun baru islam atau Hijriah juga merupakan tahun baru Jawa. 1 Muharram 1444 H sama dengan 1 Suro Tahun EHE 1956 Jawa, yang mana dalam kalender Masehi jatuh pada bulan Juli 2022, dan akan terus bergeser.

Resepsi Budaya Bhairawa Tantra dan Sadranan, hingga Slametan Kendurenan (1)
Tradisi Nyumbang dan Pergeseran Nilainya
Prepegan, Tradisi Penjaga Pasar Tradisional
Tradisi Padusan dan Pergeseran Nilainya
50+ Tradisi Nusantara di Bulan Sya’ban dan Ramadan (1)

Terkait

Terkini