Belajar Matematika Pilpres 2024
Tak berhenti pada ketergantungan dan tarik ulur pengisian capres dan cawapres, persoalannya muncul ketika calon yang diusulkan tidak qualified, dalam artian tidak menjual, dengan popularitas dan elektabilitas yang rendah

Nusantarapedia.net, Jurnal | Polhukam — Perhitungan Komposisi Suara dan Kursi Koalisi Parpol Pilpres 2024 dengan 3 Skenario Poros
AMANAT Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, terutama pada Pasal 222 yang mengatur mengenai ambang batas presidential threshold sebagai syarat pencapresan.
Pada Pasal 222 berbunyi; Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
Berdasarkan aturan tersebut, partai politik saling berlomba untuk mendapatkan tiket dalam pencapresan pada Pilpres 2024. Hanya PDIP yang otomatis mempunyai tiket gratis berdasarkan hasil Pemilu 2019, sedangkan partai politik lainnya harus berlomba untuk mendapatkan tiket dengan cara berkoalisi agar memenuhi minimal suara 20% dari jumlah kursi total DPR sebanyak 575 kursi. 575/100X20 = 115 kursi (20%) minimal.
Hal tersebut yang sampai saat ini menjadi polemik, bahwa ambang batas presidential threshold (PT) 20% terlalu berat. Banyak usulan untuk diturunkan angkanya dengan mengajukan gugatan/uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar PT diturunkan menjadi 7-9% (persen), bahkan dihapuskan menjadi 0%.
Hal itulah yang dianggap proses demokrasi dalam pemilihan presiden (Pilpres) tidak mencerminkan nilai-nilai demokrasi itu sendiri, dengan tidak memberikan/menghalangi kesempatan kepada para calon. Meskipun pemilihan presiden telah dilaksanakan dengan memilih langsung, namun tidak pada mekanisme pengusulannya. Disitulah ruh dari demokrasi menjadi kabur (sesak), dengan tidak memberikan kesempatan yang sama (adil) kepada yang berkeinginan dan pantas menjadi seorang calon.
Dampaknya, akan melahirkan iklim demokrasi yang tidak sehat, karena akan banyak kepentingan di dalamnya secara politis yang melibatkan banyak instrumen, sumber daya, dan semua aspek dalam tatanan kehidupan berpolitik. Lebih khusus lagi, energi partai politik habis untuk memperebutkan tiket tersebut yang telah dimulai 2-3 tahun sebelum Pilpres digelar.
Selain parpol yang disibukkan urusan tiket, terkorelasi dengan calon yang akan diusung untuk mendapatkan komposisi yang tepat demi meraih kemenangan, baik calon dari kader partai maupun independen. Di situlah terjadi praktik saling jegal, pembelahan, dan praktik tidak sehat lainnya.
Mendasari dari hasil Pemilu 2019, maka proyeksi Pilpres 2024 dapat dibaca dari sumber daya yang ada di setiap partai politik maupun calonnya (presiden dan wakil presiden). Dengan demikian, Pilpres 2024 akan ada sedikitnya 2 hingga 4 poros koalisi mengusung capres. Secara realistis dari potensi yang ada akan ada 3 atau 4 poros koalisi capres.
Di masing-masing parpol, kecuali PDIP telah tersandera dalam “ketergantungan” menciptakan koalisi untuk menutup angka 20 persen tersebut. Di saat angka 20 persen terpenuhi dengan koalisi, konflik muncul dalam koalisi partai perihal kader “jagoannya” di masing-masing parpol yang meminta posisi calon presiden maupun wakil presiden, yang mana telah terjadi rebutan, padahal jumlah partai koalisinya 3 hingga 4 partai. Ada potensi koalisi akan bubar bila “jagoannya” tidak dipasang.
Tak berhenti pada ketergantungan dan tarik ulur pengisian capres dan cawapres, persoalannya muncul ketika calon yang diusulkan tidak qualified, dalam artian tidak menjual, dengan popularitas dan elektabilitas yang rendah.
Melihat fakta kekinian, komunikasi yang dilakukan antar partai, antar tokoh, dalam rangka membangun atau menciptakan koalisi dan dalam rangka memasang capres-cawapres, telah berdinamika dengan massive. Rangkaian komunikasi, manuver, bahkan saling mengeluarkan jurus-jurus kotor terus digulirkan. Saling serang dengan halus mencari celah-celah kelemahan hingga perang terbuka “psywar” dan celah hukum telah benar-benar dilakukan untuk mendapatkan tiket dan demi berhasil dipasangnya sebagai calon, sekaligus sebagai kesatuan pandang menghitung potensi kemenangan.
Selain itu, apabila salah satu calon yang diusulkan oleh salah satu partai dalam koalisi partai bersedia tidak dipasang, konsekuensinya mahar politik pun akan tinggi. Akan ada pembicaraan yang mengarah pada bentuk kompensasi, baik langsung maupun setelah terpilih nantinya.
Kesimpulannya, publik Tanah Air setidaknya akan mendapat hiburan dari movement koalisi parpol dalam upaya mendapatkan tiket dan meracik komposisi ampuh capres cawapres hingga Pemilu 2024 digelar pada 14 Februari 2024. Masihlah cukup panjang! Dan, menariknya lagi ketika hasrat memperoleh kemenangan pada poros-poros tersebut harus tersandera oleh kepentingan capital pemilik modal. Karena memperoleh kemenangan dengan biaya politik yang tinggi akan membuka peluang adanya “pesan sponsor.”
Berikut ini bekal suara dan kursi dari masing-masing parpol untuk memperebutkan tiket dan memasang capres-cawapres menuju Pilpres 2024.