Belanda Bagian Leluhur Nusantara, namun Harga Mati Penghapusan Penjajahan

9 November 2021, 04:42 WIB

Nusantarapedia.netBelanda Bagian Leluhur Nusantara, namun Harga Mati Penghapusan Penjajahan

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan”

Nusantara adalah entitas besar, masyarakatnya yang matang secara spiritual, menjadikan karakter bangsa yang “welcome” bagi siapa saja, dengan maksud dan tujuan apapun. Tercukupinya kebutuhan dasar hidup dari potensi alamnya, menjadikan kunci terbentuknya tatanan sosial yang mapan dan terbuka.

Kedatangan berbagai bangsa di dunia telah menjadikan Nusantara berciri multikultur. Adat istiadat dan kearifan lokal sebagai local wisdom, telah bercampur dengan aneka kultur dunia yang akhirnya melahirkan budaya baru, pada masa selanjutnya telah disebut sebagai kebudayaan asli (local genius).

Proses asimilasi dan akulturasi budaya telah mengantarkan pada kebudayaan Nusantara sebagai sistem struktural, dari dasar sistem simbolik menjadi bangunan sosiokultural khas Nusantara.

Nusantara sudah menjadi kota urban dunia pada masa kuno, cukup seksi bagi para pelancong, pedagang, maupun tujuan koloni baru. Sumber daya didalamnya bak hypermarket alam yang tersedia, bahkan bersifat cuma-cuma, saking kayanya.

Bangsa India, Arab, Tionghoa, Eropa, telah berhubungan mesra dengan entitas Nusantara sejak awal masehi, hingga puncaknya ketika jalur pelayaran global modern dimulai oleh bangsa Portugis sejak abad ke-15. Globalisasi kuno dan masa pertengahan sudah terjadi di Nusantara.

Keroncong Perjuangan, antara Cinta dan Medan Pertempuran

Meski geografi Nusantara sebagian besar maritim, namun kebudayaan mula Nusantara tetap berawal dari dalam. Episentrum budaya berawal dari konsep yang agraris, tengah, gunung dan tinggi, barulah merambah pada kebudayaan pesisiran yang berkonsep; laut, pinggir, rendah, dan terbuka. 

Konsep gunung dan laut, utara selatan, tanah air, sebagai bukti mula peradaban, sedangkan pesisiran sebagai portal globalisasi geostrategi kultural dunia dengan konsep poros maritim.

Namun demikian, tidak bisa disimpulkan bahwa Nusantara tidak berkebudayaan maritim (maritim based oriented), sejarah mencatat kebudayaan austronesia hingga era kerajaan dalam bidang pelayaran Nusantara, telah menjadi ingatan Indonesia bahwa, nenek moyang kita seorang pelaut, meski tujuan melautnya tidak dalam tendensi geo-strategi politik, seperti melautnya bangsa dunia pada abad XVI ke Nusantara dalam agenda dan misi tertentu. Dan, disinilah opini terbentuk sebagai pengetahuan Indonesia awal mula kolonialisme Belanda masuk.

VOC pertama masuk di Nusantara pada tahun 1596 di Banten, dipimpin oleh Cornelis De Houtman, misi dalam rangka perdagangan sudah pasti, namun pengumpulan data dan informasi mengenai Nusantara telah dicatat, hingga haluan itu perlahan menjadi proyeksi politik. 

Cek ombaknya VOC berlangsung dari tahun 1596 sampai 1620 yang akhirnya mampu menggeser hegemoni kekuasan Portugis, yang waktu itu dunia dikuasai Spanyol. VOC akhirnya menguasai dan membangun kota dagang di Ambon dan memindahkannya ke wilayah Banten, tepatnya di Jayakarta, yang selanjutnya berdiri sebagai kota dagang, markas dan pemerintahan administratif VOC hingga Hindia Belanda, menjadi Batavia (Batavia Stadhuis).

Dengan demikian, Belanda sudah ada di Nusantara sejak tahun 1596 – 1949, selama 353 tahun, atau 1680 – 1949 di Jawa, selama 269 tahun sejak pemerintahan Amangkurat Agung akhir. Bila angka harapan hidup dunia rata-rata berumur 65 tahun, Belanda sudah menghasilkan lima generasi, atau bila dihitung dari usia produktif kelahiran, sudah lebih dari tujuh turunan berada di Indonesia. Cukup lama bukan!

Kekaguman Belanda terhadap kebudayaan Nusantara diimplementasikan dalam tata kelola pemerintahannya. Pertama-tama, roadmap Nusantara dari masa purba, kerajaan Nusantara awal, hingga Nusantara masa Islam didokumentasi dan direstorasi.

Publikasi dilakukan kepada dunia sebagai kebanggaan koloni barunya. Hal inilah yang membuat Nusantara menjadi imajinasi masyarakat dunia, puncaknya pada tahun 1800 hingga abad XIX, terutama oleh masyarakat Eropa.

Semenjak Belanda berubah dari bentuk negara bersistem Republik menjadi Kerajaan, tata kelola pemerintahan semakin rapi dan maju. Berlaku juga di semua negara koloni pemerintahan administrasi Hindia Belanda

Hindia Belanda telah lahir sebagai institusi negara, bukan lagi sekumpulan perusahaan yang berafiliasi dengan pemerintah pusat Belanda, meski ruhnya sama. Dibentuknya organisasi tata kerja pemerintahan (satuan kerja; kementerian/dinas-dinas) di segala bidang, membuka pemaksimalan atas sumber daya, termasuk teknik dokumentasi dan inventarisasi aset.

Commissie in Nederlandsch Indie voor Oudheidkundige Onderzoek, adalah dinas arkeologi dan kepurbakalaan, telah berhasil mengamankan aset cagar budaya dan ribuan naskah kuno untuk direkonstruksi ulang. Pemugaran ratusan candi di seluruh Nusantara telah menorehkan catatan besar, akan daya guna saat ini. 

Hingga Belanda menyerahkan kedaulatannya kepada Indonesia, rekonstruksi tersebut belum selesai, dan dilanjutkan oleh pemerintahan Soekarno hingga sekarang. Contoh kasuistik lainnya, ketika Belanda menyelamatkan naskah Kitab Negarakertagama dan Pararaton yang ditemukan di Lombok padahal satu-satunya bukti primer sejarah Medang Kamulan dan penjelasan latar Nusantara dari catatan naskah tersebut.

Pada bidang pekerjaan umum, Belanda telah membawa pada pembangunan infrastruktur yang pesat dan luas, baik peruntukan bagi penyelenggaraan (government) maupun infrastruktur publik.

Bangunan Monumen Sebagai Living Monument, Penjaga Keluhuran Nilai Sejarah

Bahkan, dinas Openbare Weekend Hindia Belanda, membangun landscape tata ruang dan wilayah sudah berorientasi pada pembangunan berwawasan ekologi masa depan yang dipersiapkan. Belanda tidak ngawur dalam merencanakan RT/RW, prinsip pembangunannya berdasarkan lanjutan landscape kerajaan kuno sebelumnya. 

Bangunan atau situs cagar budaya yang telah ada tidak didirikan bangunan. Contoh pada wilayah kebudayaan Mataraman (Solo dan Yogya), yang mana hasil dari pewarisan Mataram Kuno dan Islam, tetap dilestarikan dengan tidak mendirikan landscape baru.

Konsep “Catur Gatra Tunggal” pada landscape keraton Surakarta maupun Yogyakarta adalah konsep peninggalan kuno, tetapi Belanda setuju, hingga menjadi desain aplikatif tata kota di Nusantara

Artinya, Belanda tidak hanya bertindak sebagai agresor, namun berposisi sebagai siswa yang sedang belajar, namun berhasil dalam teknik pendokumentasian pada penerapan implementatif dalam tata kelola administrasi selaku government.

Pada infrastruktur umum, pembangunan jalan, jembatan, bendungan, sarana irigasi, jalur perhubungan darat maupun rel kereta api, sudah terintegrasi sebegitu detailnya dengan pembangunan planologi kota maupun kawasan pemukiman. 

Zona-zona telah ditetapkan dengan membangun kawasan penyangga di semua bidang yang dibutuhkan dalam tata kelola sosiologis. Disitu dibangun kota, lengkap dengan sarananya seperti; sarana kesehatan, pendidikan, kantor polisi, maupun hiburan. Hal itu dimaksudkan sebagai upaya menjaga zona hijau sebagai kawasan pertanian, yang mana orientasi Belanda memang mengejar cuan dari produktivitas industri pertanian.

Mengapa Belanda pantas disebut sebagai leluhur budaya sosiologis, tak lain adalah: kondisi geografi negara Belanda dan Indonesia berbeda. Konstruksi pekerjaan umum serta gaya arsitekturnya yang dibangun di Hindia Belanda berbeda dengan yang dibangun di Belanda.

Ilmu pengetahuan dan detail teknik engineering didalamnya tidak hanya sekedar transfer aplikatif dan implementatif dari engineering Belanda, namun sudah pada kelahiran kekaryaan yang baru dari runutan ilmu pengetahuan yang baru. Jadi, kebudayaan dan desain engineering Belanda dengan Hindia Belanda berbeda, sekalipun pelakunya sama.

Pada bidang politik dan pemerintahan, bangunan konstitusi beserta produk perundangannya telah mengalami keterjelasan fungsi. Aneka produk hukum pidana, perdata, dan budaya hukum konvensi (islam, hukum adat, norma, pranata), dapat diselaraskan, dan bersifat up to date pada masanya, meskipun saat ini banyak bagian yang tidak reliable.

Dalam hukum agraria, berhasil menginisiasi wilayah Nusantara dengan batas-batas zona teritorial dan eksklusif dengan kepentingan sesama agresor dunia, yang selanjutnya menjadi batas yang jelas sebagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta kejelasan kepemilikan tanah antara milik negara, rakyat maupun Sunan ground.

Belanda berhasil menciptakan kultur baru disektor pertanian sebagai industri pertanian, dari yang sebelumnya sebagai petani untuk tujuan pemenuhan kebutuhan keluarga, menjadi petani kapitalistik.

Permintaan kebutuhan gula dunia yang tinggi, juga hasil budaya komoditi gula yang diciptakan sendiri, telah membawa pada transformasi masyarakat Hindia Belanda ke dalam masyarakat industri yang terintegrasi dengan produktivitas pertanian.

Bila sekarang menyambut era Revolusi Industri 4.0, Napoleon Bonaparte sudah mengawalinya tahun 1800, gelagat tersebut disambut Hindia Belanda dengan menyiapkan pabrik-pabrik gula dan lahan pertanian tebu, kopi maupun teh secara berkesinambungan. Hasilnya, Hindia Belanda sebagai raja gula dunia.

Melihat banyak prestasi Belanda seperti diatas, lantas tidak berdosakah kita yang seolah-olah mendiskreditkan jasa para Pahlawan dalam rangka memperoleh kemerdekaan.

Harus dipertegas, bahwa; Tuhan telah menciptakan makhluknya beribu suku bangsa, agama, adat istiadat beserta kepemilikan hak atas tanah yang didiami masing-masing. Hak warga Belanda adalah tanah yang mereka diami sebagai negara Belanda, hak warga Nusantara atas tanah nenek moyang yang sudah didiami sejak diciptakan. Dengan demikian, konsep pribumi sebagai hak indigenous akan tanah dan air adalah mutlak.

Bukan sebagai ego kepemilikan, tidak mau berbagi, atau pelit. Namun, sekat dan batas itu sudah jelas, antara pribumi dan pendatang, asli dan buatan. Bila demikian, rumusan keadilan itu akan tercipta sesuai dengan sekat, batas, kapasitas dan hak masing-masing.

Konsep berpikir seperti inilah yang kemudian menggugurkan atas jasa-jasa Belanda dalam pembangunan fisiknya, dan sebagai kebenaran atas jasa para pahlawan, hingga melahirkan pembukaan UUD 1945, bahwa penjajahan harus dihapuskan.

Terimakasih, dan Al Fatihah untuk leluhur Belanda yang telah mempersiapkan Nusantara untuk masa depan, dengan serangkaian penataan fisik sosiologis yang sudah memberikan banyak pelajaran ilmu dan pengetahuan serta kemanfaatan didalamnya.

Namun, harus kita katakan kepada Tuan-Tuan dan Nyonya-Nyonya, bahwa hal ini sudah menjadi kesadaran kolektif bagi bangsa kami, bahwa; penjajahan itu telah meninggalkan seribu luka dan duka bagi kami. 

Atasmu, kami menjadi bangsa yang rendah diri (inferiority), asal bapak senang, penghamba kekuasaan, menusuk dari belakang, kompetisi tidak sehat, menjatuhkan saudara sendiri, plenyak-plenyek, dan ratusan mentalitas rendah lainnya yang tidak memanusiakan atas hak hidup dan penciptaan dari Tuhan.

Kami sadar, seandainya kami tidak terburu-buru untuk merdeka, pasti Tuan dan Nyonya akan kembalikan kemerdekaan yang haqiqi kepada bangsa kami, namun kami juga tidak salah, penderitaan mental kami selama 353 tahun benar-benar sudah dipuncak kesabaran, hingga kami rela bangkit melalui masa kebangkitan, pergerakan, kemerdekaan, hingga revolusi Nasional. Semua sudah terlambat, dan atas berkat rahmat Tuhan sudah menjadi sunatullah.

Perang, bentuk kolonialisme, imperialisme, neoliberal dan apapun itu namanya, tidak menguntungkan kedua belah pihak, semua rugi dan hancur (Rebutan balung tanpa isi). Belanda yang telah menguras pikirannya demi menata pembangunan Nusantara, dengan hasil- sia-sia, seperti bangunan pabrik gula yang seolah ingin berbicara dan bersaksi bahwa itu tiada guna.

Sebaliknya bagi kami, kembali kepada mentalitas bangsa Nusantara yang spiritualis, hidup penuh keidealan telah menjadi rusak, sangat sulit bagi kami untuk mengembalikan itu. Kini, hanya ribut sesama bangsa sendiri yang terjadi. Kami berdarah-darah untuk move on.

Kontradiksi Nilai Kepahlawanan Sejarah Nusantara dengan Strategi Usang Pemilu

Namun demikian, “Pesta” telah Usai. Indonesia dan Belanda tidak ada lagi luka sejarah, harus selesai dan finish. Kutitipkan bangsa Nusantara yang sekarang tinggal dan menjadi warga negara Belanda sebagai saudara sendiri, juga darah Belanda yang sekarang telah berketurunan di Indonesia juga sebagai saudara sendiri yang setara.

Ada kalanya nanti, semua warga dunia akan menuju pada garis yang linier. Tujuan kita sekarang, menuju pada garis itu agar tercipta keadilan dan keadaban dunia

Terkait

Terkini