Beranikah Prabowo Tinjau Ulang PSN PIK 2?

11 Oktober 2024, 18:13 WIB

Nusantarapedia.net | OPINI, POLHUKAM — Beranikah Prabowo Tinjau Ulang PSN PIK 2

Oleh : Bhre Ari Koeswanto ASM 

“Lantas, kepentingannya apa dengan hadirnya proyek tersebut? Bahwa new urbanism dengan pola pembangunan aglomerasi pada akhirnya tak ubahnya hanya akan memarginalisasi dan mendepopulasi masyarakat lokal. Bukankah proyek ini pada akhirnya hanya untuk menyediakan hunian bagi warga global. Mungkinkah rakyat kecil kuat membelinya. Yang artinya, ini soal kedaulatan negara; dengan hadirnya negara di dalam negara (enclave)”

“Modeling pembangunan seperti itu, yang jelas berhaluan liberal kapitalistik, semakin mengancam kedaulatan Indonesia. Setelah kawasan pantura Banten hingga Karawang terhubung, senada dengan status dan kawasan aglomerasi DK Jakarta, yang memasukkan wilayah Bandung hingga Cianjur ke selatan pedalaman menjadi satu kawasan terintegrasi alih-alihnya. Yang artinya pemetaan itu tak hanya di kawasan pantura, tetapi sudah melebar ke pedalaman selatan Jawa, yang khawatirnya akan mengacak-acak kebudayaan agraris pegunungan”

– Bila akhirnya, Pak Bowo tak berani mengubah haluan pembangunan Indonesia; menjadwalkan kembali utang, mereschedule PSN, dan atau merubah total haluan ekonomi dan keuangan, maka Pak Bowo hanya “jas bukak ikete blangkon, sami juga alias sami mawon”, berpihak pada kepentingan oligarki dan globalis, sang pemilik modal, sang pemilik Tanah Air. Artinya, kemandirian dan kedaulatan Indonesia ala Prabowo hanya jargon semata. Kita tunggu, setelah 20 Oktober! –

UNDANG-UNDANG (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang, adalah produk perundang-undangan sepaket untuk memuluskan megaproyek PSN (Proyek Strategis Nasional), yang mana mempunyai privilege, seperti yang tertuang pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2021 tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional.

Keistimewaan/kemudahan PSN, seperti; jaminan kredit, perizinan usaha, pengadaan tanah/kawasan (pembebasan lahan), penyelesaian masalah hukum; dampak sosial proyek di semua aspek.

Salah satu megaproyek itu adalah PIK 2 PSN (Pantai Indah Kapuk 2), adalah proyek pembangunan kota mandiri, yang intinya lebih ke pengadaan properti — membuka kawasan perumahan elit. Proyek ini seperti santer diberitakan seluas 2.650 hektar, namun disinyalir lebih dari itu. Berada di daerah pesisir utara Tangerang, Banten, seperti di Kecamatan Teluk Naga dan Kronjo. Proyek ini kelanjutan dari sebelumnya, PIK 3 dan PIK 9.

Melihat lanskapnya, PSN PIK 2 ini akan terhubung dengan kawasan Pantai Utara Jakarta, seperti pada kawasan reklamasi di teluk utara Jakarta saat ini. Bukan tidak mungkin, yang awalnya di kluster dengan luasan ribuan hektar akan menjadi ratusan ribu hektar. Yang artinya, mulai dari daerah pantai utara Banten hingga Karawang akan menjadi satu kawasan aglomerasi. Dengan begitu, akan melebihi luas negara Singapura (77.000 ha), termasuk total luas DKI Jakarta (66.000 ha) termasuk di dalamnya sebagai poros utama.

Sedikitnya, Rp40 – 65 triliun nilai investasi dari PSN PIK 2 ini. Aneka skema pembiayaan di dalamnya, intinya didanai oleh investor (swasta) ditopang kebijakan keuangan nasional — disangga dan turut diupayakan keberhasilannya oleh pemerintah (didanai – dilindungi negara), dibela-belain secara massif dan sistematis.

Proyek ini milik salah satu konglomerat Indonesia, yang tentu sudah malang melintang di dunia properti dengan membuka kawasan-kawasan besar hunian. Tak sekedar untuk kebutuhan hunian/pemukiman, namun membuka kota-kota baru.

Pertanyaannya, sejauh mana keuntungan Indonesia dengan hadirnya megaproyek tersebut. Bagaimana keadilan dalam pembebasan lahannya? Bagaimana problem ekologinya? Bagaimana integrasi kultural masyarakat lokal? Bagaimana berdampak secara ekonomi pada masyarakat terdampak dan ekonomi nasional? Dan terpenting, keberlanjutan masa depan Indonesia hal kedaulatan, dsb.

Lantas, kepentingannya apa dengan hadirnya proyek tersebut? Bahwa new urbanism dengan pola pembangunan aglomerasi pada akhirnya tak ubahnya hanya akan memarginalisasi dan mendepopulasi masyarakat lokal. Bukankah proyek ini pada akhirnya hanya untuk menyediakan hunian bagi warga global. Mungkinkah rakyat kecil kuat membelinya. Yang artinya, ini soal kedaulatan negara; dengan hadirnya negara di dalam negara (enclave).

Memang, haluan pembangunan seperti itu menarik bagi warga global untuk menciptakan pasar baru, tetapi apa artinya bagi bangsa ini yang pada akhirnya kehilangan hak kebangsaan oleh negara, yang seharusnya negara melindungi hak kodrati — sebagaimana tujuan negara didirikan, justru sebaliknya, dengan alih-alih (narasi) pertumbuhan dan kemajuan ekonomi Indonesia.

Kalau begitu caranya, timbul keniscayaan, bahwa pembangunan IKN adalah cara mengalienasi Indonesia untuk mewujudkan kawasan pantai utara Jakarta (Banten – Karawang) menjadi kawasan yang bebas. Tak ada pengganggunya, yakni dengan memindahkan pemerintahan ke Kalimantan (IKN).

Terkait

Terkini