Beras Larang, Prihatin! Kaga Mau, Situ Aja Puasa! Diversifikasi – Substitusi Pangan Hanya Slogan
Bila rakyat masih kuat mencukupi kebutuhan pangannya dengan memakan nasi atau sagu lauk tahu dan tempe, disitulah sebuah kebijakan masih berani untuk "dimainkan". Tetapi, bila tahu dan tempe sudah tak terbeli, ditambah gonjang-ganjing soal ketersediaan beras yang harganya melambung tinggi, itu bukan hal yang normal. Itu hal yang mengkhawatirkan stabilitas nasional

Nusantarapedia.net | OPINI, POLHUKAM — Beras Larang, Prihatin! Kaga Mau, Situ Aja Puasa! Diversifikasi – Substitusi Pangan Hanya Slogan
Oleh : B. Ari Koeswanto ASM
“Apa nggak dihitung, bahwa menciptakan diversifikasi pangan (keanekaragaman) dari hulu sampai hilir, itu sama saja memulai sesuatu hal yang super besar. Itu investasi jangka panjang! Besar dananya, lama waktunya. Memangnya kita punya dana, memangnya tidak menyiapkan infrastruktur produksi. Tidak semudah itu diversifikasi pangan!”
Jadi, prihatin tidak makan nasi di negeri “bumi emas tanah air” adalah sama saja bagai “tikus mati di lumbung padi”. Itu adalah bentuk penghinaan budaya (peradaban:tani), itu pengingkaran kodrat atas dijaminnya pangan yang makmur bagi manusia oleh Tuhan
PRASASTI Rukam yang diterbitkan pada tahun 829 Ś atau 5 Nopember 907 M, ditemukan di Temanggung-Jawa Tengah, membuktikan bahwa makanan pokok masyarakat saat itu (Jawa), dalam perspektif bangsa-bangsa di Nusantara, sudah menyebutkan makanan bernama “skul tim” atau nasi tim. (skul paripurnna timan matu:nasi tim yang sempurna)
Artinya, bahan makanan pokok berupa nasi dari olahan beras yang dihasilkan tanaman padi, sudah menjadi kebiasaan bagi bangsa-bangsa di Nusantara. Meski sebelumnya, makanan pokok bangsa Nusantara awalnya jenis biji-bijian (serealia). Biji-bijian yang dimaksud bukanlah tanaman padi (oryza sativa), tetapi merujuk pada biji-bijian berupa jawawut (setaria italica), juga jelai (hordeum vulgare) yang mirip dengan padi, atau juga jenis shorgum (shorghum).
Sebelum jenis serealia tren di Nusantara, makanan pokoknya dari jenis palmae, seperti sagu (metroxylon sp.) menjadi makanan paling populer. Catatan ini dijelaskan dalam relief di Candi Borobudur maupun catatan dari Kerajaan Kalingga (Jepara), era Sriwijaya. Saking trennya sagu sebagai makanan pokok, ketika jaman sudah berganti dengan perubahan makanan pokok dari sagu ke serealia, orang masih menyebutkan makanan nasi atau sekul atau sega dari beras/padi masih diucapkan dengan sega. Padahal sega yang dimaksud adalah sagu (perubahan fonetik-fonologi). Jadi istilah sega pada jaman sebelum abad ke 8-9 merujuk pada sagu. Setelahnya, sega adalah makanan pokok dari beras.
Untuk makanan pokok berupa jagung dan ketela pohon (umbi-umbian), mulai ada di Nusantara sekitar abad ke-16 yang diperkenalkan oleh bangsa Portugis, selanjutnya menjadi komersialisasi saat era Hindia-Belanda.
Untuk jenis umbi-umbian, Nusantara kaya akan jenis makanan dari keluarga umbi-umbian, baik umbi lapis, batang, akar, maupun umbi udara. Seperti; talas, porang, gadung, ganyong, gembili/uwi, ubi jalar, gadung, garut, dsb. Aneka jenis umbi-umbian ini juga menjadi sumber makanan pokok bagi masyarakat di kebudayaan Nusantara, bahkan sejak era pra sejarah, meski dalam perkembangannya kalah tren dengan jenis palmae dan serealia, karena berbagai alasan, seperti efektivitas.
Kesimpulannya jelas, bahwa tidak terlalu penting, malahan menyudutkan “padi” bukan sebagai makanan pokok atau tanaman asli bangsa Nusantara, yang itu sebagai argumen pembenar saja atas gagalnya Indonesia dalam swasembada beras (ngeles). Atau, tanaman padi yang masuk ke Nusantara sekitar tahun 1500 SM, yang dibawa oleh bangsa Indocina maupun India, seolah menegaskan padi bukan tanaman endemik Nusantara.
Kita sering lupa, peradaban manusia yang asli itu berawal dari pertaniannya (alami) hingga menjadi budaya pertanian sub-sisten (budidaya). Di situlah dalam perkembangannya, entitas manusia global saling pengaruh – mempengaruhi budaya dalam proses yang sangat panjang, hingga di titik tertentu membentuk sebagai kebudayaan asli (formating kebudayaan).
Fakta historis di atas, bahwa sumber daya yang paling mungkin dengan prosedur yang sederhana, efektif, efisien, bahwa makanan pokok sebagian besar bangsa Nusantara adalah nasi/beras, nyata adanya. Setidaknya, 14-15 abad yang lalu, sega dari beras yang dihasilkan tanaman padi adalah makanan pokok di Nusantara, itu tidak terbantahkan. 15 abad lamanya tidak bisa mematahkan bahwa itu bukan budaya asli Nusantara.
Lantas, alasan pembenar saat ini sebagai argumentasi adalah, “saatnya diversifikasi pangan nasional” dan subtitusi (pengganti) bahan pokok, akibat dari mahalnya harga beras saat ini, dan langkanya stok beras nasional. Lah, kata diversifikasi pangan itu telah ditulis melalui jurnal ilmiah maupun artikel-artikel atau pun skripsi-skripsi, juga pendapat para ahli sudah teramat banyak, bahkan sungguh membosankan untuk dibaca dan didengar. Mana hasilnya, implementasi riilnya?
Kemudian untuk kebutuhan bahan pangan pengganti (substitusi), tahu dan tempe adalah batas terendah kemampuan rakyat, ketika rendahnya konsumsi protein sebagai pendamping makanan pokok tidak terpenuhi, masih dapat ditolerir dengan adanya tahu dan tempe, meski bahannya impor. Ya, makan nasi lauk tahu dan tempe adalah batas bawah untuk mengetahui kekuatan rakyat dalam hal stabilitas suatu sistem. Bila rakyat masih kuat mencukupi kebutuhan pangannya dengan memakan nasi atau sagu lauk tahu dan tempe, disitulah sebuah kebijakan masih berani untuk “dimainkan”. Tetapi, bila tahu dan tempe sudah tak terbeli, ditambah gonjang-ganjing soal ketersediaan beras yang harganya melambung tinggi, itu bukan hal yang normal. Itu hal yang mengkhawatirkan stabilitas nasional.
Rakyat cukup sabar, nrima, pasrah, asal masih ada nasi dan tahu tempe, sekalipun tak ada ikan, daging, ayam, telur, maupun olahan susu karena tak terbeli. Di situlah penerjemahan bahan pangan substitusi bagi kebudayaan (politik) Indonesia, padahal substitusi yang dimaksud adalah, ketika susu hewani tidak tersedia, maka peran susu dapat digantikan dengan produk olahannya, seperti yoghurt atau keju, atau ekstremnya tergantikan dengan susu nabati (kedelai).
Kembali soal padi. Padi adalah komoditas penghasil beras yang paling sederhana/mudah, efektif dan efisien untuk diproduksi dalam skala besar dan cepat di geografi Indonesia. Lha, ngapain, ibarat tanah yang subur, mengalir air dimana-mana (gemah ripah loh jinawi), kita masih pusing urusan diversifikasi pangan yang seolah-olah itu solusi tingkat dewa, namun hanya konsep semata. Apa nggak dihitung, bahwa menciptakan diversifikasi pangan (keanekaragaman) dari hulu sampai hilir, itu sama saja memulai sesuatu hal yang super besar. Itu investasi jangka panjang! Besar dananya, lama waktunya. Memangnya kita punya dana, memangnya tidak menyiapkan infrastruktur produksi. Tidak semudah itu diversifikasi pangan! Maka, tidak ada alasan lagi kita hemat (prihatin) makan nasi itu sebuah kebenaran. Kecuali, bumi Indonesia sudah rusak tidak dapat lagi untuk memproduksi padi. Kecuali, lahan persawahan atau pertanian sudah alih fungsi menjadi zona industri.
Jadi, prihatin tidak makan nasi di negeri “bumi emas tanah air” adalah sama saja bagai “tikus mati di lumbung padi”. Itu adalah bentuk penghinaan budaya (peradaban:tani), itu pengingkaran kodrat atas dijaminnya pangan yang makmur bagi manusia oleh Tuhan.