Bermain Api, Tak Mau atau Justru Ingin Terbakar?

Maka, resikonya "terbakar" itu kalau kemudian jadwal Pemilu benar-benar ditunda, apakah itu yang diinginkan, tetapi bagaimana bila konsekuensinya dari bermain api adalah "Pemilu Dipercepat"

4 Maret 2023, 20:15 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Polhukam — Bermain Api, Tak Mau atau Justru Ingin Terbakar?

“Ada apa dengan keputusan tersebut, yang mana dalam konteks hukum jelas salah, pun dengan “kepekaan” situasi saat ini atas diskursus penundaan pemilu 2024.”

WAJAR bila melukiskan keadaan Tanah Air saat ini yang gonjang-ganjing membingungkan pasca keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas gugatan perkara Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst., yang diajukan Ketua Umum Partai Prima Agus Priyono, diterima oleh majelis hakim, memenangkan gugatan Partai Prima terhadap KPU dan memerintahkan KPU untuk menunda jadwal/tahapan pemilu. Dalam pokok, menunda tahapan sama saja menunda pelaksanaan Pemilu 2024.

Salah satu bunyi pada amar putusan tersebut; “Menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari.” Mengacu pada keputusan tersebut, maka pemilu akan dilaksanakan pada sekitar 9 Juli 2025.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menyatakan penggugat adalah partai politik (Partai Prima) yang dirugikan dalam verifikasi administrasi oleh KPU, sehingga tidak lolos sebagai peserta Pemilu 2024 atau TMS (Tidak Memenuhi Syarat). Keputusan tersebut, “Menyatakan Tergugat (KPU) telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum.”

Atas keputusan tersebut, KPU pun meradang dan akan banding. Beragam tanggapan dari para pakar dan publik Tanah Air mengemuka, mulai tokoh yang ada di pemerintahan maupun di luar pemerintahan. Namun rerata menyatakan bahwa keputusan tersebut salah atau keliru dalam perspektif hukum ketatanegaraan dan melanggar konstitusi, karena penundaan pemilu adalah amanat konstitusi yang telah menetapkan pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali.

Secara kasuistik, kasus seperti di atas, cara penyelesaian gugatan perdata dan sengketa pemilu didasarkan pada kompetensinya. Bila berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu menjadi kewenangan BAWASLU (Badan Pengawas Pemilu), berkaitan dengan kepesertaan pemilu ada di PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara). Bila sengketa menyangkut hasil pemilu (pasca) maka menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi (MK). Begitu juga permasalahan lainnya yang menjadi domain dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), hingga Mahkamah Agung (MA).

Jadi apa yang dilakukan oleh Partai Prima adalah gugatan perdata, dan persoalan terkait dengan penyelenggaraan dan pelaksanaan pemilu pra dan pasca pencoblosan termasuk ke dalam sengketa pemilu antara tergugat dan penggugat. Maka, perbuatan melawan hukum yang dimaksud adalah bukan perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan dengan hukum publik di bidang ketatanegaraan atau administrasi negara.

Putusan PN Jakpus atas gugatan Partai Prima kepada KPU yang dikabulkan oleh majelis hakim, tidak berlaku umum dan mengikat siapa saja atau erga omnes. Putusan yang berlaku bagi semua orang (erga omnes), seperti putusan di bidang hukum tata negara dan administrasi negara, seperti putusan judicial review atas UU tertentu di Mahkamah Konstitusi. Artinya, persoalan ini ada pada pihak tergugat dan penggugat atau contentiosa yang tidak berdimensi ke publik, maka rakyat yang punya hak atas digelarnya pemilu tidak turut menjadi korban dampak dari kasus dan keputusan tersebut akan molornya jadwal pemilu atau penundaan pemilu.

Jelas, bahwa PN Jakpus tidak berwenang dalam mengadili perkara tersebut di atas, maka keputusan tersebut dibaca oleh publik sebagai keputusan yang “politis”. Jelas keputusan tersebut adalah “ultra vires” sehingga tidak dapat dieksekusi karena bersifat “null and void” atau “van rechtswege nietig“. Dengan demikian, keputusan PN Jakpus yang “logical fallacy” atau keputusan berlogika sesat dalam kategori “never existed” karena telah over kekuasaan pada sistem lembaga peradilan, adalah diduga bentuk “kepura-puraan”.

Terkait

Terkini