Bingkai Kenangan Saat Ramadan

Adul merengkuh tubuh Silma dan membawa ke dalam pelukannya. Pelukan penuh rasa sayang dari suami untuk istrinya.

17 April 2022, 19:30 WIB

Nusantarapedia.net — Bingkai Kenangan Saat Ramadan

“Sebuah kenangan itu, nyatanya terlalu indah untuk dilupakan. Biarlah semua terbingkai rapi dalam pikiran masing-masing. Toh sekarang mereka telah dipersatukan oleh suratan takdir bernama pernikahan. Ya, Abdullah Mukafi dan Silma Annisa, telah mengikrarkan janji suci sehidup sesurga dua jam yang lalu.”

Bulan Ramadan adalah bulan yang istimewa, bulan penuh keberkahan dan bulan penuh ampunan. Setiap amalan yang kita kerjakan akan dilipatgandakan pahalanya oleh Allah.

Dalam bulan Ramadhan kita berkewajiban melaksanakan puasa. Kalaupun ada halangan tidak bisa puasa, harus menggantinya di lain hari dengan puasa atau membayar fidyah, sesuai dengan kemampuan dan keadaannya. Malam harinya ada salat sunah tarawih, yang hanya ada dalam bulan Ramadan, biasanya diteruskan dengan tadarus Al_Qur’an.

Hari pertama puasa di bulan Ramadan tahun ini. Mungkin karena belum terbiasa, badan Silma, gadis berusia tigabelas tahun itu sedikit agak lemas. Keringat dingin mengalir dari keningnya.

“Bu, aku lapar, lemas rasanya,” keluh Silma pada Ibu sambil memegang perut yang berbunyi minta diisi.

Ibunya menatap Silma dan tersenyum.

“Puasa itu memang menahan diri dari makan dan minum mulai waktu Imsak sampai Magrib, Silma. Salah satu tujuannya adalah agar kita bisa merasakan betapa susahnya orang yang tidak punya. Saat lapar tapi tidak punya apa yang mau dimakan.”

Silma mencoba memahami penjelasan Ibu.

“Seperti nasib Bang Adul dan Mbok Jum ya, Bu.”

Silma menyebutkan tetangga sebelah yang sering dikasih makanan oleh ibunya. Mereka adalah orang yang kurang mampu sejak ditinggal pergi suami. Hidup mereka hanya dari belas kasihan orang-orang di sekitarnya. Itu dikarenakan karena mbok Jum adalah seorang penyandang tuna netra, sementara Bang Adul harus bekerja serabutan di usianya yang masih kecil, untuk sekadar mendapatkan receh.

“Kalau lihat kehidupan mereka, harusnya kita bersyukur. Mereka hampir setiap hari didera rasa lapar jika tidak ada yang ngasih makanan. Kamu sabar sebentar saja, tinggal dua jam lagi. Tanggung kalau harus berbuka sekarang. Ibu masak dulu, kamu tunggu ya, Cah Ayu, anak solehah.”

Silma mengangguk. Ibu mengacak rambut Silma pelan, dan menciumnya lembut. Menit berikutnya Ibu, beraksi di dapur.

Silma pun mengangguk dan mencoba menahan rasa lapar, mengingat kehidupan Bang Adul yang tak seberuntung dirinya.

“Bu, aku ingin bantu masak di dapur. Boleh kan?”

Akhirnya Silma putuskan untuk membantu Ibu, agar sedikit melupakan rasa lapar yang hadir.

“Boleh sini, bantu kupas bawang aja dulu.”

Rencana hari ini Ibunya memasak opor ayam, tempe goreng dan sambal.
‘Hhmm…, yummy. Tak sabar rasanya menunggu Magrib tiba.’

Allahu Akbar! Allahu Akbar!

Suara azan Magrib sudah terdengar menggema, dari speaker masjid yang mengarah tepat di rumah Silma.

‘Alhamdulillah.’

Silma menyegerakan buka puasanya. Sementara Bapak dan ibunya lebih memilih untuk membatalkan puasa terlebih dulu, kemudian salat jamaah di Masjid, baru setelah itu berbuka dengan makan nasi.

Selepas salat Magrib, Ibu menyuruh Silma untuk memberikan semangkuk lauk dan juga tempe goreng ke rumah Bang Adul, yang hanya berjarak satu rumah saja.

Saat sampai di depan rumah, ternyata Bang Adul sedang mengaji, di sampingnya Mbok Jum mendengarkan dengan seksama.

“Assalamu’alaikum, Bang. Ini ada sedikit lauk dari Ibu,” kata Silma yang sedari tadi terkesima dengan suara Bang Adul yang merdu banget saat melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran.

“Oh, ya, terima kasih. Bilang sama ibu ya. Kebetulan kami belum berbuka. Tadi hanya membatalkan dengan segelas teh hangat. Ternyata Allah kirimkan rejeki lewat keluargamu. Sekali lagi Terima kasih.”

Bang Adul menyerahkan mangkuk pada Silma, yang sudah diganti dengan miliknya.

“Iya, Bang. Sama-sama. Silma permisi dulu, ya?”

“Iya, silakan.”

Bang Adul mengantar sampai depan rumah. Laki-laki berusia tiga tahun lebih tua dari Silma itu, tampak lebih dewasa dari umurnya karena keadaan. Seandainya bisa bersekolah, saat ini dia baru kelas satu Sekolah Menengah Atas. Sementara Silma kelas satu Sekolah Menengah Pertama. Namun, keadaan memaksanya untuk iklas dan mengubur mimpinya agar bisa bersekolah.


“Bu, suara Bang Adul waktu ngaji bagus banget, lho. Baru kali ini Silma mendengarnya.”

“Oh, ya, kebetulan besok pas malam tujuh belas Ramadhan di Balai Desa akan ada acara Peringatan Nuzulul Qur’an. Nanti akan diadakan lomba MTQ. Coba suruh saja Adul ikut. Nanti biar didaftarkan Bapak.”

Kebetulan Ayah Silma adalah sekretaris desa yang sudah menjabat selama sepuluh tahun. Sementara Ibu Hanun, ibunda Silma adalah Ibu rumah tangga yang sedang mencoba membuka usaha catering, yang berawal dari hobinya memasak. Meski sudah berusia kepala empat, tetapi masih tampak muda.

“Baik, Bu. Nanti Silma main ke rumah Bang Adul dan memberitahu kalau ada lomba di Balai Desa.”

Sorenya Silma main ke rumah Bang Adul dan mengutarakan maksud kedatangannya. Bang Adul pun setuju dengan saran Silma dan bersedia ikut lomba besok.

Hari berikutnya perlombaan berlangsung dengan cukup meriah. Ada persaingan sehat dalam perlombaan itu. Saat Bang Adul tampil di panggung membacakan murottal, hampir semua dibuat terkesima oleh suaranya dan juga bacaan tajwid yang pas sesuai makhroj. Silma sampai tertegun di pojokan panggung, dan yakin Bang Adul akan jadi juara.

Tibalah saat pengumuman, dan malam itu semua mata tertuju pada Bang Adul yang menjadi juara MTQ dengan nilai cukup memuaskan. Kepala Desa secara langsung memberikan hadiah berupa medali, piala dan uang tunai. Tepuk gemuruh membahana, tak ada yang memandang sebelah mata pada Bang Adul, seperti yang selama ini diterimanya. Semua memandang penuh rasa harus dan takjub. Mereka pun mengucapkan selamat.

Adul yang bernama lengkap Abdullah Mukafi itu tersuruk dalam sujud syukur. Tangis haru tak bisa dia sembunyikan. Dalam kegembiraan dan suka cita di hatinya, dia mencari sosok Mbok Jum dalam ratusan penonton yang ada. Dia ingin mempersembahkan hadiah itu untuk Emak, yang di bawah telapak kakinya ada Surga-Nya.

Suratan takdir tak pernah ada yang tahu. Dalam hingar bingar suasana penuh haru itu, ternyata menjadi hari terakhir untuk Mbok Jum menikmati nafasnya di dunia. Selang beberapa menit pengumuman pemenang, Mbok Jum bermaksud berjalan ke arah lapangan desa untuk sekedar mendengar suara anaknya menerima hadiah. Namun, malang tak dapat ditolak dan untung tak dapat diraih. Saat hendak menyeberang jalan, sebuah mobil menabrak Mbok Jum. Kejadian itu membuat dia meninggal di tempat kejadian, dengan luka parah dibagian Kepala.


“Ehmmm!”

Suara lelaki berdehem, lalu melingkarkan tangan pada pinggang wanita yang kini menjadi istrinya.

“Kamu melamun? Apa yang dipikirkan?”

“Bukan apa-apa, Mas. Aku cuma teringat perjalanan hidupmu sepuluh tahun lalu.”

Sebuah kenangan itu, nyatanya terlalu indah untuk dilupakan. Biarlah semua terbingkai rapi dalam pikiran masing-masing. Toh sekarang mereka telah dipersatukan oleh suratan takdir bernama pernikahan. Ya, Abdullah Mukafi dan Silma Annisa, telah mengikrarkan janji suci sehidup sesurga dua jam yang lalu.

“Terima kasih, Silma, sudah mau menerimaku apa adanya.”

Adul merengkuh tubuh Silma dan membawa ke dalam pelukannya. Pelukan penuh rasa sayang dari suami untuk istrinya.

Semoga kebahagiaan selalu menyertai ke-dua insan itu.


Magelang, 15 April 2022
Mundy Sae

Kejutan
Keinginan Yang Tertunda
Rindu Untuk Emak

Terkait

Terkini