BTS Meal dan Fetisisme Komoditas

7 Februari 2022, 22:21 WIB

Nusantarapedia.netBTS Meal dan Fetisisme Komoditas

BTS, Korean Pop yang sedang digandrungi anak muda. Debut kemunculannya di tahun 2013 bukan tanpa tantangan. Pasalnya, K-Pop lebih digandrungi generasi muda di luar negerinya sendiri.

Eksistensinya di Korea selatan sendiri kurang mendapat tempat, bahkan tidak dianggap musik, kecuali oleh anak mudanya. Pada periode 90-an, Seo Taiji, penyanyi dan penulis lagu, mencetuskan K-Pop, setelah banyaknya kasus kekerasan dan bunuh diri di kalangan remaja.

Ia merasa harus menyuarakan protes terhadap kondisi sosial dan konservatisme di Korea Selatan, sekaligus menyampaikan pesan pada para remaja melalui media yang mereka sukai, yaitu musik. Dari sinilah akhirnya aliran music K-Pop berkembang.

BTS sendiri sebenarnya grup musik pop Korea yang cukup kritis mengoreksi fenomena-fenomena sosial yang sedang terjadi di negaranya, Korea selatan. Pada tahun 2013 sejak awal kemunculannya ia sudah mencipta lagu yang berisi kritik tajam terhadap sistem pendidikan di Korea Selatan dan tekanan yang dirasakan para pelajar.

Hal itu tertuang dalam lagu mereka yang berjudulNo More Dreamdan ‘N.O.’ Personil BTS pun selalu terlibat langsung dalam penulisan lagu sebagai wujud konsistensi mereka untuk menyuarakan kritik sosial maupun psikologis .

Namun begitu, grup ini tetap dianggap sebagai kelompok yang sedang ikut-ikutan mengikuti trend aktivisme demi memperluas pasar barat. Secara umum, BTS kerap mengangkat berbagai isu terkait pemberdayaan remaja seperti perasaan terasing dan menyerah (Whalien 52, Jamais Vu), feminisme (21st Century Girls), stereotipe pada milenial (Silver Spoon), sampai menyindir budaya konsumerisme pada remaja itu sendiri (Spine Breaker, Go Go).

Bukan sekadar makna tersembunyi, ‘The Last’ juga secara gamblang menyebutkan depresi dan kecemasan sosial dalam lirik rap-nya. Selain itu, ‘Spring Day’ banyak diinterpretasikan untuk mengenang korban kecelakaan Ferry Sewol, sebuah kasus kontroversial di Korea Selatan yang ditutupi oleh pemerintah dan media.

Bukan tidak mungkin, kedepannya BTS akan terus mengeksplorasi konsep Jung dengan membuat album bertema ego, shadow, dan anima.(pijarpsikologi.org)

Di tengah hedonis, kekanak-kanakan dan tidak mendidiknya lagu-lagu anak muda yang beredar, kehadiran BTS sebenarnya lumayan memberi angin segar. Pun di tengah puncak popularitasnya, mereka tetap menyuarakan keresahan-keresahan dan kritisisme yang merepresentasi kehidupan anak muda.

Kendati kemunculannya banyak yang menantang (terlebih budaya timur) lantaran mereka yang terbuka dan menerima sisi feminine dari masing-masing anggota dan menolak pakem yang disebutnya ‘toxic masculinity.

Squid Game dan Fakta Kemiskinan di Indonesia

BTS Meal dan Fetisisme Komoditas

Sederet kisah dan latar belakang karya-karya BTS yang begitu krtitis tak banyak diungkap oleh media ataupun platform infotainment. BTS hanya disorot sebagai grup band Korea, ikon tren anak muda yang hingar bingar mengkampanyekan fashion dan cara berdandan yang (untuk sebagian kalangan) terkesan norak dan seperti waria (terlalu feminine).

Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah army (begitu para fanatisnya disebut) dan simpatisan BTS Indonesia ini juga mengerti dan memahami secara kontekstual perjalanan terciptanya karya-karya mereka? Atau jangan-jangan ini hanya sebuah trend taklid buta seperti yang sudah-sudah?

BTS Meal, kolaborasi menu resto cepat saji Mc Donald dengan Grup band K-Pop BTS. Menu BTS Meal yang dipasarkan di Indonesia berisikan 9 buah Chiken McNugget, French Fries Medium, Cola Medium, serta Cajun dan Chili Sauce. Untuk harganya, BTS Meal dibanderol mulai dari Rp 40 ribu – 50 ribu belum Ppn. Puluhan jutaan anak muda berebut hingga kerumunan abang ojek online pengantar makanan menghiasi pelataran Mc Donald.

Ini bukan lagi tentang nugget yang berbahan daging ayam yang rasanya, anak desa pun sudah sangat akrab, atau kentang goreng yang bayi pun juga doyan. Ini BTS Meal, menu sakti para army yang lemitid edition. Menu dengan box ungu ini diperebutkan bukan sekadar dari isinya.

Namun, disinilah prestise dan harga diri para army dipertaruhkan, tidak membeli BTS meal, dipertanyakan ke’army’annya. Fanatisme remaja dalam fandom-fandom ini menggejala dan masif di negeri kita. Negeri yang sedang terseok-seok ekonominya, sementara generasinya sedang dijangkiti fetisisme komoditas berupa produk makanan.

Iya, hanya makanan, yang tak istimewa. Terlepas dari karya-karya BTS yang konstruktif, nyatanya mereka juga lihai memanfaatkan trend yang begitu pandai mengambil pasar anak muda Indonesia yang kebanyakan kaum hedon. Lapisan yang hanya tahu bagaimana agar tidak ketinggalan trend dan bagaimana lolos meminta uang dari orang tuanya untuk kebutuhan aktualisasinya.

Excellent! Pemujaan status symbol dalam gaya hidup anak muda hanya dari sekotak ungu makanan seharga 50 ribuan. Bagaimana mereka yang bekerja keras menuntut ilmu, berkarya, berkompetisi demi mengharumkan nama bangsa?

Digital Virtual, antara Utopia Libertarian dan Evolusi Kapitalisme

Fanatisme dan Budaya Konsumtif

Hemetsberger mendefinisikan fanatisme sebagai pengabdian luar biasa terhadap suatu objek yang di dalamnya terdapat gairah, keintiman, dan dedikasi yang luar biasa dan mencapai tingkat di atas rata-rata. Secara sosiologis fanatisme diartikan sebagai antusiasme yang berlebihan dan tidak rasional, pengabdian kepada, keyakinan, atau garis tindakan, yang menentukan sikap yang sangat emosional.

Intinya, fanatisme adalah ekspresi berlebihan yang disadari atau tidak, menggambarkan kecintaan segolongan manusia terhadap suatu yang telah dianggap dan diyakini sebagai suatu hal tertentu yang telah dianggap dan diyakini sebagai sesuatu hal yang terbaik bagi dirinya.

Fanatis K-Pop adalah para penggemar, penggila grup musik pop dari Korea. Fanatisme pada grup k-pop biasanya terlihat dari perilaku para fanatisnya yang akan melakukan apapun untuk memuaskan kecenderungannya terhadap k-pop idola.

Untuk itu mustahil fanatisme tanpa ritual altruistis. Pengorbanan itu pasti. Terlebih fanatisme yang termanifestasi dalam fandom-fandom dimana keterikatan anggota satu dengan yang lain (harus) terjalin erat dengan kebutuhan integrasi yang kuat, memerlukan banyak atribut untuk menuntjukkan identitasnya.

Kebutuhan akan eksistensi identitas ini tentu juga perlu diperjuangkan. Para fanatis biasanya rela berkorban apapun demi apa yang digemarinya. Fandom memberi pengaruh luar biasa terhadap terbentukya budaya altruisitik ini.

Sehingga tak heran, para fanatis tak segaan-segan mengeluarkan kocek berapapun demi junjungannya. Seperti para army yang rela membeli BTS Meal hingga puluhan juta. Ya, puluhan juta untuk seonggok mcnugget dan coca cola yang rasanya mungkin biasa saja.

Itu belum yang lain; tiket konser yang tak hanya satu tempat dan satu daerah, atribut, merchandise, dan sebagainya yang secara prinsip dan kebutuhan mendasar sebenarnya mereka tidak membutuhkan ornament-ornament itu.

Inilah 10 Cara Hidup Hemat Agar Bisa Menabung – Coba dan Rasakan Manfaatnya!

Jean Baudrillard menyatakan bahwa konsumsi yang terjadi sekarang ini menjadi konsumsi tanda. Tindakan konsumsi suatu barang dan jasa tidak lagi berdasar pada kegunaannya melainkan lebih mengutamakan pada tanda dan symbol sosial yang melekat pada barang dan jasa itu.

Seperti halnya BTS Meal, dimana para army rela berebut dan membeli hingga jutaan untuk apa? Karena mereka lapar? Bukan, melainkan karena ada prestise yang diperjuangkan dari makanan itu. Ya, mereka membeli prestise demi sebuah pengakuan sosial bahwa mereka army sejati.

(Oleh: Ika Nidaul Haq, disampaikan di forum Ari Ks Center, 21 Juni 2021)

Terkait

Terkini