Budaya Mundur Kian Kendur

Penghayatan birokrasi secara feodalistik mendorong orang untuk tampil secara lahiriah, formal. Gebyarnya atau luarnya saja yang bagus. Panggilan tugasnya yang merupakan nilai pokok tidak dilakukan secara baik. Yang dilayani hanya klien atau kelompoknya sendiri.

30 Juli 2022, 11:06 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Polhukam — Budaya Mundur Kian Kendur

“Cilakanya, semua nilai yang impersonal dari birokrasi dihayati secara simbolik oleh para aristrokrat kita. Dalam sejarah, masing-masing pejabat yang memiliki posisi tinggi harus punya semacam gebyar spiritual dan material yang secara simbolik diperuntukkan bagi klien atau keluarganya.”

PEJABAT publik yang diduga melakukan kecurangan (dalam berbagai bentuk kejahatan halus) demi memuluskan harga dirinya, makin tampak di Indonesia. Sejarah telah membuktikkan bahwa budaya kita adalah adalah budaya kolektivisme. Sumber nilainya ada pada kebersamaan atau kekerabatan. Kebersamaan dalam korps dipandang nomor satu. Kemudian, aristrokrasi feodalistik yang masuk ke Indonesia lebih memperkokoh tradisi kebersamaan itu. Ada kesetiaan terhadap kelompok.

Dahulu para pamongpraja dipaksa untuk setia kepada Belanda. Belanda menaruh gengsi kepada kita. Negara itu birokrasi, tetapi dihayati dalam semangat feodalistik. Seharusnya negara birokrasi itu impersonal. Kalau birokrasi betul, niatnya adalah efisien, tidak pandang bulu, dan mesin birokrasi melayani semuanya. Kalau ada kesalahan, ya ditertibkan tanpa melihat statusnya.

Dalam sejarah, semua raja kita dahulu tidak punya tanah lagi sebab diambil oleh Belanda. Oleh sebab itu, muncullah negara panggung atau negara gebyar. Karena tidak memiliki tanah, para raja lari pada berbagai ilusi simbolik. Cilakanya, semua nilai yang impersonal dari birokrasi dihayati secara simbolik oleh para aristrokrat kita. Dalam sejarah, masing-masing pejabat yang memiliki posisi tinggi harus punya semacam gebyar spiritual dan material yang secara simbolik diperuntukkan bagi klien atau keluarganya. Itulah faktor pendorong untuk terjadinya tindak penyelewengan.

Penghayatan birokrasi secara feodalistik mendorong orang untuk tampil secara lahiriah, formal. Gebyarnya atau luarnya saja yang bagus. Panggilan tugasnya yang merupakan nilai pokok tidak dilakukan secara baik. Yang dilayani hanya klien atau kelompoknya sendiri.

Tekad tidak mau mundur itu kuat sekali walaupun masyarakat sudah tahu adanya kolusi dalam korupsi sebab telah saling memberikan imbalan. Dalam budaya kolektivisme, ada kebanggaan terhadap sesuatu yang sifatnya simbolik. Secara individual orang yang telah korupsi atau kolusi sangat mungkin merasa bersalah dan mau mundur. Akan tetapi, karena dalam kelompok tersebut ada yang dituakan, ada bosnya sehingga kalau bos itu mengatakan jangan mundur ia akan patuh.

Munculnya kasus tersebut membuktikan bahwa kebudayaan kita belum banyak beranjak dari kesetiaan pada kelompok. Kesetiaan itu belum tertuju kepada rakyat. Soal tanah, buruh, dan kepastian hukum kurang diperhatikan. Soal tanah, misalnya, rakyat ibarat hanya diberi dua batang rokok atau dua buah kerupuk.

Pelaksanaan tugas yang tidak dipertanggungjawabkan menyebabkan kewibawaan, citra atau jati diri pemerintah menurun. Hal itu tidak bisa diobati dengan slogan clean goverenment dan segala macam. Rakyat hanya mau bukti bahwa right is right, wrong is wrong. Rakyat tidak butuh berbagai ulasan kultural untuk menutupi borok dalam budaya kita.

Budaya kita memang sedang sakit. Kita mau tampil dengan gebyar asri, tetapi di dalamnya ada borok. Borok itu harus dikuak. Sepakat ini rakyat dengan sikapnya yang makin kritis menuntut pertanggungjawaban dari para birokrat. Pertanggungjawaban itu harus disertai bukti dan dijelaskan secara transparan. Jika tidak, birokrasi akan mengalami krisis kepercayaan.

Terkait

Terkini