Bukan Sultan, Tak Usah Gaya-gaya – Sederhana Saja, Bahagia Sepanjang Masa

Di mata perempuan zaman now. Matahari seakan setan menakutkan. Mereka tak berani beraktifitas di bawah sang surya. Berbeda perempuan lain yang demi bisa glowing tapi kantong kering, bahkan terkadang sampai nekat berlangganan hutang demi mendapat paket pemutih muka.

4 Juni 2022, 12:32 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Sosbud — Bukan Sultan, Tak Usah Gaya-gaya – Sederhana Saja, Bahagia Sepanjang Masa

“Apalagi hidup ini memang bukanlah ajang pamer, yang semuanya perlu dipertontonkan. Menurut Kus, hidup di bumi ini adalah tentang bagaimana memberi manfaat dan punya usaha untuk berkarya. Jadi tak usah banyak bicara dan penuh gaya. Sederhana dan tetap bahagia, haruslah menjadi harapan yang bisa dicapai.”

Ia menjalani hidupnya dengan sangat sederhana. Tak pernah gaya-gaya, apalagi berlagak kaya. Seperti itulah sosok yang melekat pada pribadi Kusmiati, anak kedua pasangan H. Nawawi dan Hj. Maimuna.

Lebih dari 10 tahun Kusmiati menekuni usaha dagang ayam potong. Dia mewarisi usaha yang pernah dijalankan mendiang almarhumah ibunya. Sekarang Kusmiati memiliki beberapa lapak di pasar, di antaranya di Pasar Banyu Ates, Kabupaten Sampang dan dua lapak Pasar Tanjung Bumi, Bangkalan.

Dalam menjalankan kegiatan niaganya, dibantu Mak Siri yang bertugas sebagai juru potong ayam. Mak Siri sudah lama bekerja di keluarganya Kusmiati. Dia orang satu-satunya yang merawat ayam-ayam dagangan milik Kusmiati. Selain sebagai tukang sembelih, dia juga memiliki tugas lain, membersihkan kandang dan dapur potong. Lebih tepatnya Mak Siri bekerja serabutan. Selain Mak Siri ada tenaga lain yang bertugas menjualkan ayam.

Kus sapaan akrab ibu tiga anak itu, dalam menjalankan usahanya tak seluruhnya menggantungkan kepada pekerjanya. Dia sendiri juga turut menjual ayam potong dagangannya, melapak di Pasar Tanjung Bumi, Bangkalan.

Dengan berkendara motor dari Desa Jatra Timur, Kabupaten Sampang. Kus membawa dagangan ayam potong ke Pasar Tanjung Bumi, Bangkalan. Dia mengangkut dagangannya dengan menempuh perjalanan sejauh lebih kurang 10 km, setiap pagi. Desa tempat tinggalnya tak jauh dari perbatasan antara ke dua wilayah kabupaten tersebut.

Tengah hari, ketika terik sangat memanggang. Dia baru pulang dari pasar. Kus tak hirau kulitnya bakal gosong atau masih glowing. Beruntung saja dia memang kuning dari sananya. Melintasi jalanan aspal di bawah langit yang sedang cerah bukanlah perkara muda bagi kebanyakan kaum hawa zaman Sekarang.

Di mata perempuan zaman now. Matahari seakan setan menakutkan. Mereka tak berani beraktifitas di bawah sang surya. Berbeda perempuan lain yang demi bisa glowing tapi kantong kering, bahkan terkadang sampai nekat berlangganan hutang demi mendapat paket pemutih muka (seputih muka mayat). Justru Kusmiati tak ketir menantang panas matahari demi membangun kemandirian ekonominya.

Dari usaha yang dilakoni, dia bisa membantu menopang kebutuhan ekonomi keluarga. Kus juga berhasil menyekolahkan anak-anaknya hingga perguruan tinggi. Kendati Kus sudah memiliki sumber ekonomi secara mandiri dan pundi-pundi, tetapi dia tetap menjalankan hidupnya dengan sederhana.

Kesederhanaan yang dijalaninya merupakan buah kesadaran hasil memetik dari pengalaman hidup orang lain. Demi tampak mentereng dan tajir. Tak sedikit orang nekat berbuat apa saja. Bahkan, mereka harus berakhir tersungkur ke dalam lembah derita akibat memaksakan diri menuruti gaya hidup di luar daya dan kemampuan.
Alih-alih bergelimang harta. Justru hidup dalam kepalsuan alias pura-pura kaya kaya, akan berakibat terjerat dalam petaka. Tapi kenyataanya, seperti tiada jera selalu saja ada orang yang memaksakan diri bergaya “sultan.”

Kus yang seorang istri dari seorang laki-laki berprofesi “kuli.” Sebagian besar orang pasti paham, berapa gaji kuli. Kus yang menginsyafi ekonomi keluarganya tergolong pas-pasan. Tak mungkin baginya meliarkan hasrat drama berlagak sultan-sultanan.
Dia juga paham jika panggung kehidupan ini tidak akan menyediakan bahagia bagi orang-orang yang hidupnya hanya untuk gaya-gaya melulu.

Apalagi hidup ini memang bukanlah ajang pamer, yang semuanya perlu dipertontonkan. Menurut Kus, hidup di bumi ini adalah tentang bagaimana memberi manfaat dan punya usaha untuk berkarya. Jadi tak usah banyak bicara dan penuh gaya. Sederhana dan tetap bahagia, haruslah menjadi harapan yang bisa dicapai.

Kusmiati membuktikan ucapannya. Dalam kesehariannya, dia lebih menyibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan produktif. Dalam pergaulannya, Kus tak banyak bicara. Dia dikenal hemat bicara. Tak seperti kaum emak-emak di lingkungannya, yang setiap hari kerjanya ngerumpi gak jelas jeluntrungannya.

Kus tahu hidup ini hanya sekali, tak ingin menjalani kehidupan dengan kesia-siaan. Jadi dia ingin mewarisi dan mengisi hidupnya dengan sesuatu yang bernilai dan berarti.

Madura, 3 Juni 2022 | Hasan Hasir — Foto: ©2022/Npj/Hasan

Yang ber-Otak Tak Bakal Mengekor
Belajar Tak Oleng Dari Boger si “Penari Oleng”
Sanjungan Batu Sandungan
Dua Pisang, Uang, dan Topeng
The Mask “Orang Baik” Dari Dunia Sampah
Tradisi Nyumbang dan Pergeseran Nilainya
Warung Makan Ndesa Pinggir Kali Comal
Mobil Listrik, Kelebihan dan Kekurangan Menyambut Transformasi Energi

Terkait

Terkini