”Bung, Merdeka!”

”… Di mana-mana terdengar pekik, Bung, Merdeka!” Simpulan omongan pejuang ini laksana alun gelombang, meliuk seturut zaman.

13 Agustus 2022, 09:37 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Sejarah — Bung, Merdeka!”

REPUBLIK Indonesia baru berdiri, dengan bangga, yakin, nekat, dan cemas. Ini revolusi, Bung! Kita tidak akan biarkan kolonialisme kembali! Semua Bung di Surabaya mendengus siap perang. Di mana-mana terdengar pekik, Bung, Merdeka! Ribuan Bung siap mati untuk kemerdekaan itu,” tulis Goenawan Mohamad (Catatan Pinggir, Tempo, 23 November 2007).

Pada masa revolusi fisik, muncullah panggilan bung untuk menyatakan kesamaan, keakraban, dan ketegasan. Kelahiran sapaan bung pada masa revolusi menyebabkan panggilan itu identik dengan perjuangan. Keidentikan itu berlanjut sampai sekarang. Bung yang melekat pada nama-nama tokoh pahlawan, seperti Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, kadang-kadang dilekatkan pula pada tokoh politik masa kini. Panggilan bung tidak meluas benar dan tidak intensif benar pemakaiannya, tetapi hidup sampai hari ini.

Ihwal kata bung sukar ditelusuri asal-usulnya. Yang jelas ragawi bung lahir dari rahim pergerakan kebangsaan walaupun bung sebenarnya telah lama bersemanyam dalam batin para pejuang kala mengusir kaum penjajah.

Sosok bung kian perkasa. Gairah zaman butuh suasana solider dan akrab antarsesama anak bangsa inlander. Sapaan bung mampu meringkus dan mewakili sentimen kebangsaan, persaudaraan, dan solidaritas. Dengan perkataan lain, bung ”cocok” dijadikan simbol pembangkit nasionalisme. Bung kian gemilang tatkala 17 Agustus 10 November 1945. Siapa saja asalkan bangsa Indonesia, pantas disapa bung tanpa melihat status sosial.

Bung begitu kental dengan makna kerakyatan. Dapat dipahami jika sastrawan Oyik alias Satyagraha Hoerip ”menegur” dua editor (Titie Said dan Lies Said) saat mengedit draf buku
Bung Tomo, Suamiku. Mereka meloloskan kata sapaan ”Pak” di kancah revolusi begitu janggal atau lebih tepatnya ”konyol”. Bukankah saat itu akrab dengan sapaan bung, seperti melekat pada Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, dan bung lainnya?

Zaman terus berganti. Nasib kata sapaan bung kian terpuruk saat negara ini masuk masa 1960-an. Entah mengapa pada 1960-an, panggilan akran Bung Karno harus diawali dengan ”Paduka Yang Mulia”. Makna bung makin menciut manakala dirangkai dengan kata yang lebih ”elite” dan ”perkasa” di belakangnya. Kata bung pada Bung Karno sering terjepit dan tersingkir oleh sebutan Presiden Seumur Hidup, Pemimpin Besar Revolusi, atau Pengemban Amanat Penderita Rakyat.

Bukan itu saja, kata sapaan bung kalah beken dengan, misalnya, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah (Jasmerah), genta suara revolusi (Gesun), dan tahun vivere pericoloso (Tavip) (A.H. Nasution, 1988: 92). Ketika atmosfer politik makro tidak bernuansakan kebersamaan, eksistensi bung maknanya tidak mekar atau tidak mengembang penuh. Kata bung mengandung dua ”anak” yang kontras, yaitu roh kerakyatan dan roh egois (one man show).

Pada zaman Orde Baru, sapaan bung berorbit tanpa pangkalan di era kapitalisme, yang tabiatnya dilatari induvidualisme, kebebasan, persaingan, dan materialisme . Orang sukses tidak digelari ”Bung”, tetapi ”Bapak”. Prestasi seseorang disapa ke arah yang lebih personal, misalnya, si anu pembayar pajak terbesar dan ter…ter… lainnya.

Pada era kesejagatan, sapaan bung makin meringkuk. Bung sebagai nilai kebersamaan tidak berguna lagi. Oleh sebab itu, ketika tiba-tiba saja kata bung dipakai oleh suatu media, jiwa terasa terlempar. Siapa gerangan yang memakainya? Demi kepentingan individu, kelompok, atau bangsa? Untuk menggalang kebersamaan, demi individu atau kepentingan individu? Oh, sama saja.

Dengan demikian, makna bung diperkirakan bermakna tiga. Pertama, untuk para generasi tua yang pernah merasakan pahit-getirnya perjuangan, makna bung adalah kenangan yang bersejarah. Kedua, untuk yang berkuasa, makna bung sangat efektif dan efisien menggalang simpati massa. Ketiga, untuk generasi bangsa yang lahir pasca-1996, sapaan bung hanyalah rajutan empat huruf yang enak diteriakkan di atas podium/mimbar bebas.

”… Di mana-mana terdengar pekik, Bung, Merdeka!” Simpulan omongan pejuang ini laksana alun gelombang, meliuk seturut zaman. Dimanfaatkan boleh, dilupakan tidak apa-apa, dan diteriakkan pun sangat pantas. Dengan begitu, kita tahu, ”kerja belum selesai, belum apa-apa, tapi tiap kali kita bisa memberinya arti,” ucap Chairil Anwar. Indonesia dirgahayu! Selamat berulang tahun yang ke-77 tahun.

Penulis, tinggal di Bandung.

Nilai Kepahlawanan untuk Anak
Budaya Mundur Kian Kendur
Adil
Merindu Suara Kehidupan
Jika Stok Beras Mulai ”Ambles”

Terkait

Terkini