Buya Syafii Telah Berpulang, Pembaharu Pemikiran Intelektual Muslim Indonesia (2)
Komitmen dan kesungguhannya dalam membimbing umat islam dengan sikap toleransi dan pluralisme. yang mana dari kedua landasan tersebut digunakan sebagai basis untuk mencapai keadilan dan keselarasan hidup.

Nusantarapedia.net, Jurnal | Citra Persona — Buya Syafii Telah Berpulang, Pembaharu Pemikiran Intelektual Muslim Indonesia
“Meskipun pemikirannya yang mewakili semangat pembaharuan dalam lingkungan Islam di Indonesia, acapkali berseberangan dengan pandangan tokoh muslim lainnya, namun Buya Syafii telah menawarkan kepada bangsa dengan pikiran-pikirannya tentang pluralisme dan toleransi. Bahkan, keadilan dapat terwujud dari kedua landasan tersebut.”

“Islam yang damai, Islam yang konstruktif dan Islam yang dapat mengayomi bangsa ini, dengan tanpa membeda-bedakan suku, agama dan perbedaan lainnya. Itu Islam yang benar. Ke-Islaman harus satu nafas dengan ke-Indonesiaan dan kemanusiaan” (Buya Syafii)
Pemikiran Buya Syafii mengenai pandangan Islam dan kebangsaan, banyak dipengaruhi oleh tokoh pemikir Islam dari Pakistan, Fazlur Rahman, yang juga sebagai dosennya.
Ciri-ciri pemikiran Islam liberal yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang menindas. Sekat-sekat yang kaku dibuka dengan kebebasan pikiran sebagai pembebasan nilai-nilai usang yang tidak lagi relevan pada dinamika jaman.
Adian Husaini, mengkategorikan Ahmad Syafii Maarif sebagai tokoh Muhammadiyah pendukung gagasan Islam Liberal (neo–modernisme) ala Fazlur Rahman.
Menurut catatan Zuly Qadir, Buya Syafii bersama Hasyim Muzadi juga menolak pemberlakuan syariat Islam secara formal di Indonesia. Buya Syafii bersama tokoh Islam lainnya, termasuk ke dalam 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia: Pengusung Ide Sekulerisasi, Pluralisme, dan Liberalisasi Agama.
Selama kepemimpinannya di Muhammadiyah,
Muhamad Afif Bahaf juga menuliskan bahwa gerakan Islam liberal tumbuh subur di Muhammadiyah semasa dipimpin Buya Syafii.
Hal tersebut ditandai dengan berdirinya tiga komunitas intelektual di tubuh Muhammadiyah, yakni Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP), Maarif Institute, dan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).
Beberapa sikap Buya Syafii juga kontroversial, dicap sebagai ulama gaya liberal, seperti pernah menolak kembalinya Piagam Jakarta ke dalam konstitusi pada tahun 2001 dan mengeluarkan statement yang seolah-olah membela Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan mengatakan bahwa Ahok tidak melakukan penistaan agama. Atas pernyataannya tersebut, Buya berseberangan dengan hampir tokoh Islam Indonesia yang mem-Fatwakan bahwa Ahok telah melakukan penistaan agama.
Tak hanya soal Islam dalam negeri yang dikritisinya, Buya tak tanggung-tanggung mengkritik para penguasa di Arab Saudi sebagai pemimpin tiran.
‘Kiblat di Tangan Para Tiran,’ adalah di antara artikel yang ditulisnya berseri. Dalam tulisan tersebut, Buya mengkritik tindakan rezim Arab Saudi yang buruk, tak pantas sebagai negara kiblat/poros Islam dunia. Buya menyebutnya ada tiga kekuatan yang menindas, yaitu Trilogi ‘Saudi-Wahhabi-Amerika.’

Buya Syafii Maarif Sebagai Pembaharu Pemikiran Intelektual Muslim Indonesia
Buya Syafii konsisten dengan pemikiran modernnya dari peta kebudayaan Islam Indonesia, yang di bawanya keluar dari pemikiran yang konservatif dan tradisional. Buya menghadirkan Islam sebagai sistem iman, yang mana Islam hanya ada satu. Tetapi Buya menghadirkan fakta di lapangan bahwa Islam selain sebagai sistem iman juga sebagai bentuk ekspresi politik, kebudayaan, hingga Islam menjadi banyak sekali ragamnya telah menggejala di dunia, tak hanya di Indonesia.
“Bagi saya Islam itu tujuannya membangun peradaban, bukan membangun kebiadaban” (Buya Syafii)
Atas pandangan dan sikapnya tersebut, tak jarang Buya Syafii sering berseberangan dengan tokoh muslim lainnya. Pemikiran dan praktik dalam sikap hidupnya, dihadirkan dengan menjunjung toleransi dan kemanusiaan.
“Kita boleh tidak setuju, tetapi tidak setuju itu juga menghormati orang lain. Kita jangan jadikan perbedaan agama menjadi saling merusak” (Buya Syafii)
Syarat terciptanya kedamaian di bumi ini salah satunya dengan toleransi beragama.
“Perbedaan itu sunatullah, disetujui hukum alam, sebuah keniscayaan. Bukan hanya agama saja yang berbeda, namun adat istiadat, bahasa, latar belakang, dan macam-macam. Dan itu memperkaya kehidupan manusia” (Buya Syafii)
Pemikiran seperti di atas yang kemudian Buya Syafii diapresiasi oleh dunia luar akan komitmen dan kesungguhannya dalam membimbing umat islam dengan sikap toleransi dan pluralisme. yang mana dari kedua landasan tersebut digunakan sebagai basis untuk mencapai keadilan dan keselarasan hidup.
Hasilnya, tahun 2008, Buya Syafii menerima Ramon Magsaysay Award dari The Ramon Magsaysay Award Foundation (RMAF) pada kategori Peace and International Understanding.
Pada kasus penyerangan Gereja Santa Lidwina Bedog, Yogyakarta, pada Februari 2018 yang mengakibatkan tiga umat, satu rama, dan satu polisi terluka. Buya berkesempatan menjenguk pelaku penyerangan. Buya memperlakukan pelaku dengan baik, bahwa itu dilakukan karena korban kebodohan.
Menurut pandangan Buya Syafii, banyak kelompok-kelompok penyerangan (radikal) menjadi bertindak seperti itu karena banyak diliputi keputusasaan, kekecewaan, kebingungan, dan kegamangan dalam hidup pada konteks sosiologis.
“Saya pikir anak ini korban, korban karena kebodohannya, karena ketidaktahuannya, sehingga malah melakukan kekerasan dengan ayat-ayat yang dipahaminya” (Buya Syafii)
Dalam kehidupan sehari-hari sebagai individu dan sosial, Buya Syafii hidup dalam kesahajaan dan kesederhanaan. Buya Syafii memang berubah dan menjelma menjadi tokoh intelektual Indonesia, namun tidak merubah sikapnya dalam urusan cara (gaya) hidup, kecuali pada tingkatan karier dan ketokohannya sebagai tokoh (panutan) cendekiawan muslim Indonesia.
Buya terbiasa makan di angkringan, naik kereta yang berdempet-dempetan, naik pesawat kelas ekonomi, mendarat di Bandara tanpa ada yang menjemputnya, hingga bersepeda menghadiri undangan-undangan. Bahkan, sepulangnya dari Amerika Serikat pada 1983 setelah menempuh pendidikan doktoral, Buya Syafii, berusia 48 tahun waktu itu, membeli rumah pertama yang ia tempati hingga akhir hayat, di Nogotirto, Sleman dengan mencicil. Uang mukanya pun dibayarkan dari hasil tabungan istrinya ketika menjadi pengasuh anak di Amerika.
Sisi yang lain, Buya Syafii sebagai kaum intelektual yang kompleks, memahami betul akan hak-hak wanita untuk dimerdekakan. Buya tidak melihat perempuan sebagai obyektifikasi pada banyak hal, terutama pandangan laki-laki untuk urusan biologis saja.
Pandangan tersebut ditunjukkan dengan penolakannya pada praktik poligami. Buya sangat menghormati wanita, dan memperlakukan istrinya dengan baik. Tugas-tugas ibu rumah tangga seperti menjemur pakaian, berbelanja di pasar, memasak adalah hal yang biasa dikerjakan oleh seorang Buya Syafii.
Pada saat ulang tahunnya yang ke-86, mendapatkan hadiah buku persembahan dari koleganya yang berjudul, Ibu Kemanusiaan: Catatan-Catatan Perempuan untuk 86 Tahun Buya Ahmad Syafii Maarif (2021).
Perhatian Buya Syafii pada hak-hak perempuan bukan karena masa lalunya dimana ayahandanya yang suka berpoligami. Buya adalah anak dari istri pertama dari tiga istri ayahnya. Namun semata Buya melihat perempuan dari sudut pandang kesetaraan sebagai bagian dari hak demokrasi gender.
Direktur Eksekutif Maarif Institute, Abd Rohim Ghazali, menukil cerita kehidupan pada keluarga Buya Syafii dari buku ‘Cermin untuk Semua: Refleksi 70 tahun Ahmad Syafii Maarif (2005). Bahwa, keluarga tersebut sangat demokratis, setiap anggota keluarga sering adu pendapat dengan tidak memaksakan kehendak.
Selain itu, Buya Syafii sebagai pribadi yang konsekuen dan konsisten. Satunya kata dan perbuatan selalu diterapkan dalam langkahnya, baik dalam kapasitasnya sebagai ulama, dosen, maupun saat menjabat sebagai Ketum Muhammadiyah dan sebagai publik figur intelektual muslim Indonesia.
Dalam kesaksian Wakil Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas, menggambarkan kiprah Buya Syafii sebagai seorang tokoh yang langka karena beliau tidak haus dengan harta dan kekuasaan. Beliau dikenal dengan julukan bapak bangsa karena tidak pernah mengenal istilah lelah untuk berpikir dan berbuat bagi umat dan bangsanya.
“Banyak tokoh yang dekat dengan beliau mengingatkan siapa saja yang ingin bertemu dengan beliau jangan coba-coba untuk merayu beliau dengan uang dan kemewahan. Barangsiapa yang mencoba-coba melakukannya maka pasti akan kena semprot dari beliau” (Anwar Abbas)
Kini, Buya Syafii Maarif telah berpulang, seorang cendekiawan muslim penyeru nilai-nilai moralitas dan kebajikan untuk Indonesia. Buya Syafii Maarif menjelma sebagai guru bangsa bagi semuanya, selain sebagai ayah bagi anak-anaknya, sesepuh bagi Muhammadiyah, juga profesor bagi para mahasiswa.
Meskipun pemikirannya yang mewakili semangat pembaharuan dalam lingkungan Islam di Indonesia, acapkali berseberangan dengan pandangan tokoh muslim lainnya, namun Buya Syafii telah menawarkan kepada bangsa dengan pikiran-pikirannya tentang pluralisme dan toleransi. Bahkan, keadilan dapat terwujud dari kedua landasan tersebut.
Buya Syafii telah membawa pada paradigma baru muslim Indonesia sebagai masyarakat ilmiah yang terus mengelaborasi nilai-nilai tradisional-konservatif dengan pemikiran modern selaras dengan dinamika kemajuan jaman yang terus berkembang.

Karir Buya Syafii Maarif
1) Guru Besar IKIP Yogyakarta
2) Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP) dan pendiri Maarif Institute.
3) Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah ke-13, masa jabatan 1998 – 7 Juli 2005.
Karya Tulis
1) Mengapa Vietnam Jatuh Seluruhnya ke Tangan Komunis, Yayasan FKIS-IKIP, Yogyakarta, 1975.
2) Dinamika Islam, Shalahuddin Press, 1984
3) Islam, Mengapa Tidak?, Shalahuddin Press, 1984
4) Percik-percik Pemikiran Iqbal, Shalahuddin Press, 1984.
5) Islam dan Masalah Kenegaraan, LP3ES, 1985.
Selesai
(disarikan dari beberapa sumber)
Buya Syafii Telah Berpulang, Pembaharu Pemikiran Intelektual Muslim Indonesia (1)
Sanjungan Batu Sandungan
Aktualisasi Semangat Kebangkitan Nasional Indonesia Sebagai Substansi Bukan Sensasi
Buya Syafii Telah Berpulang, Pembaharu Pemikiran Intelektual Muslim Indonesia (1) Moral Clarity dan Etika Politik Poros Intelektual
Pendulum Kapitalisme dan Sikap Intelektual Muslim Kita (1) Obyektifikasi Perempuan dalam Heroisitas Aksi 11 April
Sejarah Sistem Perekonomian Indonesia, Potret Perlawanan Kapitalisme
Zinidin Zidan, Kena Mental dan Dramaturgi
Adu Elektabilitas Sudah Dimulai, Saling Klaim Itu Hak! Dimana Etikabilitasnya?