CAGAR BUDAYA GAJIHAN (“Belik Pitu” Ki Ageng Gribig Jatinom – Parkir Gajah Sultan Agung – Penampungan Cagar Budaya – Omah Ficus)
Akses utamanya dapat dijangkau dari Jalan Raya Klaten - Boyolali, Kampung Gajihan - Desa Pandeyan, utara Kota Jatinom sekitar 1,5 kilo meter
Nusantarapedia.net, JURNAL | TOURISM — CAGAR BUDAYA GAJIHAN (“Belik Pitu” Ki Ageng Gribig Jatinom – Parkir Gajah Sultan Agung – Penampungan Cagar Budaya – Omah Ficus)
“Cagar Budaya Gajihan juga sebagai wadah pengembangan kebudayaan bagi para pegiat sosial budaya, pemerhati sejarah, aktivis lingkungan hidup, dan komunitas lainnya.”
KLATEN adalah salah satu kabupaten di Jawa Tengah. Nama Klaten versi tertua berawal dari kata kelatian. Kela:gundukan dari bumi, dan tian:langit. Kelatian yang dimaksud adalah atap atau puncak candi yang terlihat indah menjulang ke langit. Saking banyaknya candi sebagai tempat pemujaan, lalu terkenal dengan sebutan Kelatian, kemudian menjadi nama Klaten (modern). Klaten dan sekitarnya, kini dengan sebutan “Kota Seribu Candi.”
Hal itu berdasarkan pada kronik Dinasti Tang (618-907 M), yang mana telah terjadi hubungan internasional antara Jawa dengan kekaisaran di Tiongkok, atau berlangsung pada periode Mataram kuno (kerajaan Medang) pada abad ke-7 hingga 11, saat Jawa dikuasai oleh Dinasti Syailendra – Sanjaya hingga perpindahan Medang Jawa Tengahan ke Jawa Timuran.
Wilayah Klaten yang kini dengan 5 kota kecamatan satelit, selain Kota Klaten sendiri, yakni; eks-Kawedanan Prambanan (Gondang Winangun), Wedi, Pedan, Jatinom, dan Delanggu. Kelima kota satelit tersebut turut andil besar dalam periode formating kebudayaan dari era ke era. Hal itu berangkat dari teori sederhana, bahwa topografi/geografi Klaten yang cenderung datar dengan tingkat kemiringan yang sedang di utara dan barat laut karena faktor Gunung Merapi, dan kemiringan di selatan dan tenggara karena bagian dari Pegunungan Sewu. Akhirnya, Klaten pun menjadi surganya jelai atau padi karena melimpahnya sumber mata air, yang kini disebut dengan “Klaten Seribu Mata Air”. Atas kesuburannya itu terkorelasi dengan demografi, mendorong orang (entitas) untuk membangun pemukiman, hingga aneka utilitas infrastruktur publik di seputar Klaten, pun dengan poros kekuasaan sebagai pusat kekuasaan ataupun kediaman para pembesar kerajaan. Dengan demikian, Klaten sudah padat penduduk sejak era Mataram kuno, Klaten adalah bagian dari kluster ibu kota Mataram terutama poros i Mataram (utara – selatan/Kedu – Prambanan).
Selanjutnya, ketika berganti masa, pusat kebudayaan tidak jauh dari kebudayaan sebelumnya, hanya timpa menimpa saja, meskipun berganti corak. Maka, Klaten pun hingga kini adalah terbentuk dari kebudayaan Mataram kuno/Hindu Buddha, era Jawa pertengahan (Demak – Pajang), Mataram Islam Sultan Agung, hingga Mataram Kolonial – Amangkurat, sampai Mataram Anyar Solo – Yogya, Hindia Belanda dan Indonesia.
Atas dasar itu, tentu menjadikan Klaten kaya potensi di semua sumber daya, termasuk peninggalan cagar budaya (wujud budaya) hingga ilmu pengetahuan di dalamnya dari sumber kesejarahan literasi kebudayaan dari era ke era.
Dalam tulisan ini, kita kerucutkan ke dalam satu tema saja, yaitu Cagar Budaya Gajihan. Cagar Budaya Gajihan adalah sebuah tempat di Kampung Gajihan, Desa Pandeyan, Kecamatan Jatinom, Kabupaten Klaten, termasuk dalam kesatuan budaya nJatinoman (kota Jatinom). Cagar Budaya Gajihan ini, sebagai tempat tujuan wisata edukasi, yang mengetengahkan aspek sejarah, sosial budaya dan lingkungan hidup (ekosistem), dengan latar waktu era kerajaan Hindu Buddha dan Islam.
Cagar Budaya Gajihan juga sebagai wadah pengembangan kebudayaan bagi para pegiat sosial budaya, pemerhati sejarah, aktivis lingkungan hidup, dan komunitas lainnya.
Pada konten yang paling tua, Cagar Budaya Gajihan digunakan (menampilkan) sebagai tempat penampungan artefak – arkeologis benda cagar budaya era Mataram kuno yang banyak ditemukan di sekitar kota Jatinom, berupa penemuan lepas artefak, seperti; lingga, yoni, arca, batu andesit dan bata merah candi, dsb. Hal itu berangkat, karena kampung Gajihan sendiri pernah ditemukan struktur candi.
Pada era setelahnya (masa Islam), yaitu era Sultan Agung, Cagar Budaya Gajihan terdapat 7 belik/sendang/mata air (Belik Pitu) yang telah digunakan oleh Ki Ageng Gribig Jatinom untuk aneka keperluan. Kampung Gajihan sebagai bagian dari kultural kota Jatinom, tidak bisa dipisahkan dengan kiprah Ki Ageng Gribig, dan Ki Ageng Gribig sebagai ulama, tidak bisa dipisahkan dengan kekuasaan Sultan Agung.
Saat ini, karena berkaitan dengan fungsi ekologi, yaitu pelestarian sumber daya air berupa belik/sendang/mata air yang berjumlah 7, maka Cagar Budaya Gajihan juga difungsikan sebagai pusat pengembangan pohon Ficus.
Terakhir, Cagar Budaya Gajihan yang dibuka untuk pariwisata dengan melibatkan masyarakat setempat, menyuguhkan (menggelar) atraksi seni budaya, seperti tari-tarian, musik karawitan, dan eksplorasi pengetahuan kearifan lokal lainnya, hingga acara spiritual dzikir – tahlil untuk mengenang jasa Ki Ageng Gribig Jatinom dalam siar dan dakwah Islam.