Cancel Culture Segera Dibudayakan!
Nusantarapedia.net | SOSBUD — “Cancel Culture” Segera Dibudayakan! (Tidak Dimaknai Pembatasan HAM)
Oleh : B. Ari Koeswanto ASM
– kami memohon kepada Menteri Kebudayaan Fadli Zon dan Wamennya Giring Ganesha, bahwa problem ini harus diselesaikan melalui jalur kebudayaan. Kebudayaan mempunyai peranan vital dalam membangun peradaban, atau dalam konteks Indonesia tercapainya tujuan konstitusional, melalui upaya revolusi mental dieksekusi dengan pendekatan cancel culture, bukan sebaliknya untuk membungkam ide dan gagasan. Di antaranya menghentikan budaya pencitraan yang nir ide dan gagasan, tidak konstruktif dan kontekstual. Ini tugas kebudayaan! Dan kebudayaan bukan parade seremonial kesenian –
“Sementara di satu sisi, sejarah Indonesia dengan latar belakang aristokrasi yang feodalistik, menjadikan masyarakat kita mudah dibohongi oleh figur paternal yang tidak mencerahkan, namun justru dimainkan untuk tujuan tertentu, seperti mempolitisir, mengkapitilisir dan mengkomersilir. Ini rawan terjadi dan terus berulang-ulang memanfaatkan kondisi kemiskinan rakyat. Maka perlunya kearifan, kebijaksanaan dan keteladanan dari para tokoh untuk tidak memanfaatkan kultur ini”
KASUS “es teh” menjadi pembelajaran bagi kita semua. Gegara ucapan Gus Miftah dalam sebuah pengajian yang dianggap menghina penjual es, berdampak luas dan fatal. Gus Miftah pun dirujak netizen, dikecam oleh publik. Akhirnya pun berujung pengunduran diri Gus Miftah dari jabatan Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan pada Kabinet Merah Putih.
Diketahui, Gus Miftah adalah seorang ulama, dan kini juga sebagai pejabat publik. Tak memandang atau dalam kesatuan pandang dari rekam jejaknya hingga kenasabannya, ia adalah “tokoh publik”. Perkara sejauh mana ketokohannya didapatkan dari kompetensi tertentu atau sekedar “branding” semata, itu nomor ke sekian.
Yang jelas, konsekuensi dari ketokohan memang harus “perfect”, meskipun di Indonesia standar ketokohan yang dimaksud masih samar-samar. Karena dalam konteks tertentu, muncul instan melalui branding citra diri, framing diri, manipulasi, yang kemudian menjadi subur atas peranan mimetisme media dan beternak “buzzer”. Atau ketokohan yang didapatkannya dari sekedar aktifitas “selengekan”, asal berbeda dari perilaku dan pendapat umum, yang kemudian menangguk popularitas. Publik pun dibohongi, dibodohi secara parsial, sistemik hingga kultural.
Kasus seperti itu berlaku untuk ketokohan apapun, mulai dari tokoh agama, akademisi, politisi, pengusaha, hingga artis, dsb. Lihat saja, bagaimana kemudian muncul ketidakpercayaan publik adanya tokoh agama yang jual agama, lahirnya politisi gadungan karena by design uang, juga munculnya intelektual-akademisi dengan mendapatkan gelar ijazah sarjana, master dan doktoral yang palsu. Juga lahirnya pejabat merangkap pengusaha yang pro oligarki.
Cilakanya, rakyat menjadi korban atas peran mereka yang “all in one” berperan multi, dengan berbalut agama dan intelektual, adalah seorang politisi, masih menjadi seorang pengusaha, artis, dan pejabat publik, padahal ketokohannya jauh dari kapasitas dan kompetensi sesuai dengan bidangnya. Ini tidak sesuai dengan prinsip “the right man, in the right place”.