Candi Kedulan, 13 Kali Tertimbun Erupsi

25 Februari 2022, 15:37 WIB

Nusantarapedia.net | SEJARAH — Candi Kedulan, 13 Kali Tertimbun Erupsi

Medang i Mataram yang fenomenal dengan pembangunan seribu candi, harus menerima kenyataan pahit.

Peradaban yang telah dibangun ratusan tahun, akhirnya ditinggalkan begitu saja akibat erupsi gunung Merapi. Episentrum kerajaan pun pindah dari i Mataram ke i Wwatan.

Pada bagian lain, kegemaran perebutan hegemoni kekuasaan hingga takhta suksesi terus terjadi pada lingkup internal. Perang saudara (intrastate conflict) massiv terjadi pada setiap jaman.

Akibatnya, peradaban yang sudah di bangun maju harus runtuh, dampak potensi kebencanaan alam dan perang saudara. Akhirnya, warisan peradaban sebagai bukti fisik wujud kebudayaannya yang tersisa tak sebanding dengan kebesaran kerajaan.

Bangun-Hancur-Pindah! Bangun-Hancur-Pindah! Bangun-Hancur-Pindah! Itulah pola kerajaan Nusantara Jawa. Perseteruan Kalingga dengan Sanjaya, Syailendra dengan Sanjaya, Pikatan dengan “Balaputradewa,” hal itu berlanjut sampai era di Wwatan, Wton Mas, Kahuripan Jenggala-Daha Kadiri, Singosari, Majapahit. Tak berhenti sampai disitu, Demak-Pajang dan Mataram sama gaduhnya, terlebih Amangkurat Kartosuro hingga Mataram Anyar.

Dan, Soekarno dan Soeharto hingga Gus Dur pun juga dilengserkan. Hingga konsensus itu muncul sebagai keniscayaan pola baru harapan baru, yaitu Pemilu Serentak 2024 untuk menuju tatanan yang ideal.

Dengan demikian, hendaknya sejarah Nusantara kita jadikan hikmah pelajaran. Tidak sekedar romantisme masa lalu yang ditafsirkan hebat. Mengapa? faktanya kita sebagai penerus entitas Nusantara Jawa, saya menganggap tatanan ini belum ideal.

Gunung Merapi begitu dahsyatnya memuntahkan laharnya ke arah selatan. Diperkirakan dalam rentang satu abad telah terjadi erupsi besar sebanyak tiga belas kali, belum lagi ditambah erupsi dalam skala kecil.

Akibatnya, peradaban Medang i Mataram, sebuah poros kerajaan pada abad ke-7 sampai abad ke-11 terkubur aliran lava. Banyak bangunan suci, keraton, pemukiman harus terkubur material erupsi.

Selain akibat erupsi Merapi yang menenggelamkan Medang i Mataram, nampaknya perang saudara juga tiada hentinya. Rivalitas Sanjaya dan Syailendra sampai keturunannya terus berlanjut meski era berganti dari hitungan dekade dan abad.
Namun demikian, hubungan kelompok keduanya dengan melibatkan kefahaman atas hegemoni kekuasaan Jawa dan Sumatera acap kali putus nyambung dalam kemesraan.

Bangun-Hancur-Pindah! Bangun-Hancur-Pindah! Itulah pola kerajaan di Jawa akan eksistensi di dalamnya. Selain akibat faktor alam (kebencanaan), perang saudara (intrastate conflict) yang membuat wujud fisik kerajaan-kerajaan Nusantara (Jawa) nyaris tak tersisa.

Bila dilihat dari kebesaran kerajaan atas sepak terjang pada masanya, warisan wujud fisik kebudayaan Kalingga hingga Medang dalam hitungan persen yang termasuk sedikit.

Akibat kedua faktor utama tersebut, akhirnya pusat kerajaan Medang i Mataram dipindah oleh Airlangga ke daerah Wwatan (Magetan). Dari Wawatan memulai babak baru kerajaan Medang di daerah Jawa bagian timur (Jawa Timur). Hingga melahirkan kerajaan-kerajaan Jenggala Kahuripan, Kadiri, Singosari hingga Majapahit.

Sebelumnya, Dinasti Rakai Pikatan yang beristri Pramodawardhani memimpin Medang yang dipenuhi kegaduhan dalam perebutan suksesi raja Medang oleh keturunannya sendiri maupun kekuatan luar yang ingin merebutnya.

Terdapat banyak aktor sentral dalam peristiwa perebutan takhta tersebut hingga Airlangga merupakan raja terakhir yang memindahkan Medang i Mataram juga Medang i Mrawantipura (wilayah kebudayaan Semarangan) ke Wwatan.

Nama seperti; Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni y, Balaputradewa saudara Pramodawardhani, Rakai Watuhumalang, Mpu Daksa, Rakai Gurun Wangi, Rakai Limus Dyah Dewendra, Dyah Balitung, Dyah Tulodong, Dyah Wawa hingga Mpu Sindok. Nama-nama tersebut yang erat kaitannya dengan pemindahan kerajaan Medang i Mataram ke Wwatan.

Meskipun dalam rentang waktu satu abad lebih, namun perseteruan tersebut terus mengular dan menjadi dendam kesumat oleh keturunan dan kelompoknya.

Sampai saat ini pun, masih banyak diskursus mengenai hal tersebut, masih bersifat spekulasi, karena keberadaan prasasti yang memuat isi mengenai daftar para raja, tanah perdikan, bangunan suci serta keadaan sosial politik pada waktu itu cenderung kontradiktif antara prasasti yang satu dengan lainnya, maka perlu analisa yang kritis dalam mengolah sumber primer tersebut. Bersifat prediktif- spekulasi, multi tafsir dan subyektif menurut pendapat para ahli yang juga berbeda-beda.

Candi Kedulan

Candi Kedulan terletak di Desa Kedulan, Tirtomartani, Kec. Kalasan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, 55571.

Candi ini tidak jauh dari Candi Sambisari yang berjarak 6 kilometer, juga candi Kalasan sekitar 7 kilometer dan jarak dengan Candi Prambanan sekitar 10 km.

Ditemukan tahun 1993, di tempat yang digenangi air karena mengalir rembesan mata air yang muncul di mana-mana. Membentuk sebuah cekungan berisi air.

Menurut sumber prasasti, keberadaan Candi Kedulan merupakan sarana penghormatan kepada penguasa air, yang mana di sekitar candi terdapat sebuah DAM kuno atau bendungan air untuk fungsi irigasi. Hal ini membuktikan bahwa pada abad ke-8 masyarakat Jawa sudah mengenal sistem manajemen air untuk pemanfaatan sebagai sarana dan prasarana pertanian.

Dari proses ekskavasi yang di lakukan oleh Balai Peninggalan Cagar Budaya, lokasi Candi Kedulan berada di bawah tanah dengan 13 lapisan tanah yang berbeda. Ketiga belas lapisan tanah tersebut merupakan 13 kali erupsi Gunung Merapi dalam bentuk material lahar Merapi yang mengubur candi sebanyak 13 kali.

Letusan yang terjadi dari sekitar tahun 900 hingga puncaknya letusan dahsyat tahun 1006. Tidak diketahui pasti, kapan candi tersebut tidak digunakan lagi atau dilanjutkan oleh penerusnya, yang jelas perkiraan angka tahun meletus dalam beberapa kali erupsi terjadi tahun sekian.

Candi Sojiwan, How Beautiful Klaten’s Herritage!

Sejarah Candi Berdasarkan Prasasti

Candi ini dibangun pada periode abad ke-8 hingga abad ke-9. Dalam prasasti yang ditemukan berangka tahun 869 Masehi, candi ini di perkirakan di bangun semasa raja Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala Sri Sayyawasanottunggadewa, merupakan raja ketujuh kerajaan Medang periode Jawa Tengah yang memerintah tahun 856 – 880-an.

Prasasti Sumundul dan Pananggaran merupakan dua prasasti yang dapat dihubungkan dengan keberadaan Candi Kedulan. Bertuliskan huruf serta bahasa Jawa Kuna berangka tahun 791 Saka atau 869 M.

Menurut Cahyono Prasodjo dan Riboet Darmosutopo dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Prasasti tersebut berhasil dibaca dan diinterpretasikan, yang isinya menjelaskan tentang adanya sebuah dawuhan (dam). Bendungan tersebut digunakan oleh masyarakat dari dua desa yakni; Pananggaran dan Parhyangan. Isi prasasti juga mengetengahkan mengenai adanya kewajiban membayar pajak untuk pengelolaan dam tersebut.

Kedua prasasti tersebut juga menyebutkan adanya bangunan suci bernama Tiwagaharyyan, hanya saja Tiwagaharyyan yang dimaksud tidak menyebutkan bahwa bangunan tersebut adalah Candi Kedulan.

Dengan demikian, perkiraan pembangun Candi Kedulan didasarkan pada angka tahun kedua prasasti tersebut yang berangka tahun 791 Saka atau 869 Masehi. Bila dihubungkan lagi, angka tahun tersebut sejaman dengan pemerintahan Rakai Kayuwangi.

Pada tahun 2015, muncul bukti baru dengan ditemukannya prasasti berangka tahun 30 Maret 900. Prasasti tersebut kemudian diberi nama Prasasti Tlu Ron (Tiga Daun) berdasarkan isi di dalamnya.

Isi prasasti Tlu Ron mengenai perawatan bendungan guna kepentingan irigasi pertanian. Juga pemberian tanah perdikan yang didirikan bangunan suci di daerah yang bernama Tlu Ron (tiga daun). Bangunan suci yang dimaksud bernama Parhyanan i Tigaharyyan (tempat suci di Tigadaun) menurut prasasti Pananggaran. Atau ditafsirkan sebagai Parahyanan Haji i Tlu Ron (tempat suci kerajaan di Tigadaun) menurut prasasti Tlu Ron).

Dari pengamatan berdasarkan ciri-cirinya, Candi Kedulan merupakan candi Hindu, hal ini dibuktikan dengan adanya lingga, arca Durga Mahisasuramardini, arca Nandiswara, Mahakala, Ganesa, dan arca Agastya. Hal tersebut merupakan ciri dalam pantheon agama Hindu.

Posisi candi menghadap ke arah timur, ukurun candi induknya pada bagian kaki candi berdenah persegi berukuran 12,05 x 12,05 meter dan tinggi 2,72, sedangkan bagian tubuh candi induk berukuran lebih kecil dibandingkan dengan bagian kaki candinya, yaitu 4 x 4 meter dan tinggi 2,6 meter.

Terdiri dari satu candi induk dan tiga candi perwara, serta dikelilingi oleh pagar candi di bagian dalam. Apabila di ekskavasi lebih lanjut mungkin akan di temukan pagar luar dari kompleks bangunan suci. Pada umumnya kompleks bangunan candi di kelilingi oleh pagar dalam (halaman 1) dan luar (halaman 2) atau pagar berlapis sebagai penanda batas.

Dalam pengamatan sederhana penulis mengenai candi ini atau candi-candi yang lain bahwa, ada kebiasaan masyarakat Jawa saat ini ternyata hasil warisan panjang era Medang yang masih berlanjut, yaitu; posisi pintu utama Gapura pada pagar candi halaman 1, ternyata tidak benar-benar berada pada poros di tengahnya dengan keseimbangan simetris atau segaris lurus dengan bangunan intinya.

Kepercayaan ini berlaku pada tata ruang bangunan rumah Jawa saat ini, bahwa membangun pagar rumah dengan pintu utama berupa Gapura atau Regol di depan rumah tidak boleh di letakkan pas di tengah-tengahnya. Karena apa? secara simbolisasi energi negatif atau pihak luar sebagai musuh berpotensi menjadi ancaman. Dengan demikian dimaksudkan agar tidak bisa mengakses langsung menembus jantung utama inti bangunan rumah. Juga alasan privacy dan keamanan.

(Sumber Informasi; BPCB Yogyakarta)

Candi Sambisari, Jejak Peradaban yang Terkubur
Candi Banyunibo, Simbol Sakralitas Keheningan

Terkait

Terkini