Catatan Hati Seorang Ustazah
"Sarah merasakan ujung matanya memanas, menyimak cerita yang dituturkan Najla. Apalagi setelah dia tahu, Najla seorang anak yatim"

Nusantarapedia.net | CERPEN — Catatan Hati Seorang Ustazah
Oleh : Mundy Sae
HARI ini adalah hari pertama untuk Sarah mengajar anak-anak mengaji di Pondok Pesantren Insan Qur’ani. Masih teringat percakapan dengan Bu Nyai Chalimatus Sakdiyah yang memintanya membantu mengajar sebulan yang lalu.
“Sarah, Ibu minta mulai bulan depan, ikutlah mengajar, bagikan ilmu yang kamu miliki selama mengaji di sini. Insha Allah kelak akan menjadi amal jariyah untukmu.”
“Mohon maaf, Bu Nyai, saya merasa belum pantas menjadi Ustazah di sini. Ilmu saya masih kurang karena baru kemarin lulus,” jawab Sarah merendah.
“Sampaikanlah walau hanya satu ayat, dari setiap apa yang telah kamu pelajari, Sarah, dan bagikan kepada murid-muridmu kelak.”
“Baik, Bu Nyai, akan saya coba. Semoga apa yang saya ajarkan bisa bermanfaat. Jika ada salah dalam penyampaiannya mohon teguran dari Jenengan, Bu?”
“Tentu Sarah, kita berjuang bersama-sama. Bismillah, niatkan ibadah. Ikhlas karena mengharap ridho Allah.”
“Inggih, Bu.”
Percakapan itu pun berakhir, Sarah pamit setelah sebelumnya mencium takdhim punggung tangan Bu Nyai.
Pondok Pesantren Insan Qur’ani adalah sebuah pondok khusus putri yang mempelajari dan memperdalam ilmu Al-Quran. Ada juga program beasiswa khusus untuk anak-anak yatim. Sampai saat ini sudah sepuluh tahun pondok berdiri, dan sudah banyak yang menimba ilmu untuk menjadi seorang hafizah di pondok ini. Hasilnya pun cukup memuaskan. Sudah banyak lulusannya yang bergelar hafizah.
Mei Sarah sendiri tercatat sebagai murid dengan gelar hafizah, sejak di wisuda dua bulan yang lalu. Dalam kurun waktu lima tahun dia menyelesaikan hafalan Al-Quran tiga puluh juz, waktu yang cukup lama menurutnya. Namun, itu adalah pencapaian tertinggi karena dia hanya sebagai Santri Kalong (sebutan untuk murid yang tidak menjadi santri tetap pondok pesantren). Dia hanya mengaji saat pagi dan sore hari, bersama dengan para santri yang mukim di Pondok. Pagi untuk setoran hafalan sementara sore untuk muroja’ah.
Kebetulan rumahnya hanya berjarak dua puluh meteran dari pondok. Terbukti dengan ketekunan dan kegigihannya dia bisa menjadi seorang hafizah. Sekarang tinggal melancarkan bacaan, agar hafalannya semakin melekat. Sambil memperbaiki ejaan yang masih belum fasih.
Mentari bersinar cerah dengan warna keemasan. Menembus gorden tipis yang terpasang di jendela kamar Sarah. Dia pun membuka jendela lebar-lebar. Tak ayal, sinarnya memberikan sedikit rasa hangat pada tubuhnya yang sempat merasakan kedinginan subuh tadi.
Sarah keluar rumah saat waktu menunjukkan pukul 08.00 WIB. Semilir angin berhembus sepoi, menerbangkan sedikit ujung pashmina warna dusty pink yang dikenakannya, lengkap dengan gamis longgar warna senada. Tubuhnya nampak lebih berisi memakai gamis yang longgar.
Dengan bismillah dia melangkahkan kakinya ke pondok. Setelah sampai, dia menyalami seluruh ustazah dan tak lupa pamit pada Bu Nyai. Sarah menuju ke sebuah ruang berukuran lima kali enam meter. Di dalamnya ada sekitar dua puluh anak sudah duduk rapi, lengkap dengan gamis dan jilbab warna putih. Sebagai seragam harian untuk mengaji, biar kelihatan serasi dan untuk menyamakan warna.
Pandangan Sarah terpaku pada seorang gadis yang sebenarnya manis, tapi karena kurang terawat jadi kelihatan udik. Warna jilbab dan pakaiannya pun sudah memudar, bahkan ada noda yang tampak di bagian-bagian tertentu dari pakaian tersebut. Penampilan yang berbeda dengan anak-anak lain.
“Nama saya Najla Alfiya, biasa dipanggil Najla. Semoga besok bisa menjadi seorang hafizah karena saya ingin sekali bisa memberikan mahkota untuk kedua orang tua di surga kelak. Meski sekarang Bapak sudah meninggal, tapi dulu semasa hidup beliau ingin sekali agar saya bisa menjadi seorang hafizah.”
Sarah merasakan ujung matanya memanas, menyimak cerita yang dituturkan Najla. Apalagi setelah dia tahu, Najla seorang anak yatim. Dan di kelas itu hanya dia yang yatim. Sarah pun mengelus puncak kepala Najla perlahan, sambil merapikan letak jilbab gadis itu yang tadinya belum pas. Sarah seperti menemukan dirinya yang dulu pada diri Najla.
“Semoga terkabul keinginan muliamu, Dek,” kata Sarah dan mempersilakan dia kembali ke tempatnya.
Hari ini sebagai pembuka pertemuan hanya diisi dengan perkenalan dan tanya jawab. Setelah sebelumnya melafalkan bacaan surat Al Fatihah bersama-sama.
“Ustazah, butuh waktu berapa lama untuk kita bisa menghafal Al-Qur’an?” tanya seorang anak bernama Namira.
“Benarkah jika kita menjadi seorang penghafal Qur’an akan mendapat syafaat kelak di hari kiamat?”
Ada pertanyaan lain yang terlontar dari bibir Najla.
Pertanyaan kritis dari sebagian murid, yang cukup membutuhkan waktu untuk Sarah berpikir karena tidak mudah menjelaskan kepada mereka yang masih kecil. Namun, Sarah salut atas semangat dan keingintahuan mereka dalam mempelajari Al-Quran.
Dia pun mencoba menjawab pertanyaan tersebut, sebisa mungkin dengan bahasa yang mudah dipahami anak-anak. Umur mereka berkisar antara tujuh sampai sepuluh tahun.
“Berapa lamanya kita menghafal Al-Qur’an tergantung pada diri kita masing-masing. Kalau menurut saya tidak usah tergesa-gesa yang penting tepat. Dalam artian tepat makhrojnya dan bisa tartil saat membacanya, yang paling penting kita bisa istiqomah dalam menghafalnya.” Sarah berucap penuh keyakinan.
Untuk pertanyaan berikutnya. Sarah menjawab dengan menuliskan sebuah hadis. Dari Imam Ahmad al- Bahili radiyallahu’anhu bercerita, Nabi shallallahu’alaihi WA sallam bersabda:
“Rajinlah membaca Al-Quran karena dia akan menjadi syafaat bagi penghafalnya di hari kiamat.”
(HR.Muslim 1910)
Para murid pun terlihat memahami apa yang disampaikannya. Ada yang takjub sambil mengangguk paham dengan jawaban yang Sarah sampaikan.