CFW, Hasrat Membeli Kemiskinan

Ya, dengan cara mereka. Yang kebanyakan orang men-stigma norak, kampungan, dekil, dsb. Benar stigma itu, karena mereka anak-anak jalanan yang lahir dalam jerat kemiskinan. Jika mereka para remaja dari orang tua yang mapan, tentu mereka tak akan berhambur di Dukuh Atas hanya demi diperhatikan khalayak.

28 Juli 2022, 22:44 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Sosbud — CFW, Hasrat Membeli Kemiskinan

“Halo! Citayam hanya tempat nongkrong. Tempat nongkrong yang akhirnya diprospek para pemegang modal, juga oleh mereka yang gemar cari konten. Pebisnis fashion memanfaatkan keluguan mereka atas nama endorse.”

Baru kemarin CFW ditutup sementara oleh Pemprov DKI. Hal ini lantaran katanya banyak kejahatan yang kemudian muncul setelah taman Sudirman ini ramai oleh para remaja nyentrik. Selain itu, fenomena SCBD ini juga memunculkan komunitas remaja perokok, merusak lingkungan karena tidak bisa memperlakukan sampah dan juga rawan terjadinya sex bebas. Yang lebih krusial, aktivitas menyebabkan kemacetan lalu lintas.

Kemunculan kaum belia nyentrik ini tentu bukan tanpa sebab. Kemiskinan ibu kota mendorong nyali para remaja ini untuk eksis. Di kawasan SCBD yang terbilang steril bersih dan elit mereka melakukan eksperimen sosial, bagaimana caranya agar menjadi dikenal dan eksis. Seperti bermain spekulasi. Sehari, seminggu, sebulan. Dan semesta pun menjawab, kini mereka populer. Citra anak muda kini, terrepresentasi dari hingar bingarnya tempat nongkrong yang diciptakan Bonge, Kurma, Jeje dan teman-teman remaja SCBD-nya.

Tetiba “Citayam Fashion Week” tersemat pada gerakan bersahaja mereka. Gerakan khas anak muda pinggiran yang bosan dengan lorong jalan tol. Ingin beraktualisasi dengan cara mereka. Ya, dengan cara mereka. Yang kebanyakan orang men-stigma norak, kampungan, dekil, dsb. Benar stigma itu, karena mereka anak-anak jalanan yang lahir dalam jerat kemiskinan. Jika mereka para remaja dari orang tua yang mapan, tentu mereka tak akan berhambur di Dukuh Atas hanya demi diperhatikan khalayak.

Mereka hanya nongkrong, bosan, kemudian berinisiasi untuk melakukan flash mob, besoknya seperti itu lagi. Hingga ada yang satu dua pemerhati yang terusik dan akhirnya hujjahnya pun mengurai. “Wow, ini seperti Street Fashion!”

Lampu merah Dukuh Atas adalah saksi tempat nongkrong yang akhirnya terenggut oleh ego-ego para serakah. Hanya tempat nongkrong yang akhirnya menjadi CFW, siapa yang melabeli? Para outsider yang berkepentingan, siapa yang bikin macet? Orang-orang yang berdatangan karena penasaran dengan penampakan para remaja out of the box ini. Lalu, kaum tulang lunak juga ikut menunggangi, dan lagi-lagi para kyai sosmed ikut berisik.

Halo! Citayam hanya tempat nongkrong. Tempat nongkrong yang akhirnya diprospek para pemegang modal, juga oleh mereka yang gemar cari konten. Pebisnis fashion memanfaatkan keluguan mereka atas nama endorse. Outfit keren dan branded disandang oleh seorang Bonge, Jeje dan Kurma, remaja yang lain hanya ikut bertepuk tangan getir. “Kok, Gue enggak, ya?”. Mereka masih remaja, peralihan dari anak-anak. Masih ingin juga menikmati apa yang dinikmati kawan-kawan nongkrongnya.

Para kapitalis itu mana mungkin berpikir bagaimana psikis para remaja lainnya? Sama-sama nongkrong, mati-matian pakai outfit dari rumah, namun hanya dia-dia saja yang dilirik, dielu-elukan oleh kaum berduit. Bukankah mereka sama-sama sedang melawan kemiskinan, nekad datang ke tempat yang dicitrakan sebagai metropolitan dan selama ini dikesankan milik high class. Berbondong-bondong mengidentikkan diri sebagai remaja gaul, melek fashion dan tidak miskin.

Bagaimana stake holder seharusnya?

Setiap komunitas membutuhkan ruang. Kekerasan oleh oknum remaja dan pelajar sering merepresentasikan keadaan kota Jakarta. Tingkat kejahatan jalanan oleh anak sebaya di kota lain juga tak kalah tinggi intensitasnya dan mengkhawatirkan. Yang diperlukan dari Jakarta adalah meyakinkan bahwa Jakarta tetaplah kota yang layak untuk para remajanya. Baik pendidikan maupun pergaulannya.

Keluarga menjadi pangkal terjadinya kejahatan remaja di jalanan. Hasil riset Dikti terhadap remaja yang dititipkan oleh penegak hukum maupun hasil operasi Dinas Sosial sendiri, 98 persen remaja bermasalah di jalanan atau di luar rumah akar persoalan mereka dari keluarga.

Kerasnya Kota Metropolitan mengajarkan mental para remaja ini lebih resisten dan sensitif. Untuk itu, ruang publik sangatlah penting bagi keberadaannya. Masa remaja adalah masa-masa transisi membutuhkan aktualisasi diri, sehingga ada energi yang harus disalurkan. Sementara mereka melihat penyaluran-penyaluran (energi) itu, tempat-tempat bermain arena-arena aktualisasi diri yang mulai hilang.

Salah satunya contoh hilangnya ruang publik adalah kalau dulu di kampung-kampung kalau sore hari ada tanah lapang untuk bermain bola voli untuk main bola sebagai untuk mengekspresikan energi kaum muda sekarang jadi hilang, sehingga mereka membentuk ekspresi sendiri hingga membentuk kelompok-kelompok. Secara sosiologis kelompok-kelompok sosial ini terbagi menjadi in group dan out group. Sikap-sikap in group pada umumnya di dasarkan pada faktor simpati dan selalu memiliki perasaan dekat dengan anggota-anggota kelompok. Adapun sika-sikap out group yang ditanda dengan antagonisme antipati atau musuh.

Tak heran jika di kota-kota besar yang memiliki tingkat pembangunan fisiknya tinggi dan masif, tidak memiliki ruang publik untuk pemudanya, angka pertikaian antar pemuda biasanya tinggi. Kasus CSF, seharusnya menjadikan pemerintah peka akan kebutuhan aktualisasi bagai para remaja. Jika kemacetan, kejahatan, seks bebas, kebersihan menjadi persoalan, pemerintah bisa menggandeng banyak pihak untuk mengedukasi mereka dalam ruang-ruang khusus. Pemerintah bisa memindahkan ruang publik atau merekayasa waktu agar tak mengganggu ketertiban lalu lintas.

Ketersediaan ruang publik bagi remaja di kota-kota besar sebenarnya menjadi persoalan krusial sejak lama, ini salah satu sebab mengapa remaja kita lebih suka tawuran dari pada berkompetisi dalam bidang olah raga, karena memang ruangnya tidak ada. Akhirnya energi mereka tersalur pada aksi yang cenderung merusak.

Secara sosiologis, fenomena CFW adalah bentuk perilaku dengan melibatkan tanda-tanda. Charles Sanders Peirce mengatakan bahwa Teori semiotika merupakan pembelajaran tentang proses dan tanda semiosis, penunjukan, indikasi, kesamaan, metafora, analogi, simbolisme, makna dan komunikasi. Sebuah tanda (representamen) adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Sesuatu yang lain itu adalah interpretan atau penafsiran suatu tanda kemudian interpretant harus mengacu kepada objek. Sebuah tanda (representamen) memiliki relasi dengan interpretan dan objeknya.

Dalam interaksinya, para remaja SCBD ini mengandalkan banyak tanda untuk menunjukkan identitasnya, seperti outfit dan bahasa-bahasa khas yang mereka gunakan. ‘Slebew’ adalah cirri bahasa khas salah satu remaja yang kemudian viral. Gaya berpakaian paling uniklah yang paling mendapat banyak perhatian. Selain gaya berpakaian, juga gaya bahasa dan gesture mereka yang cenderung dibuat-buat untuk mengekspresikan diri.

Bonge, hanya remaja pinggiran. Datang ke Sudirman untuk nongkrong dan pacaran, selebihnya merokok dan pamer outfit anehnya. Kini tempat nongkrongnya ditutup sementara karena uforia ulah mereka yang tak sabar menaruh kepentingan bisnis yang membabi buta. Ke mana kini para remaja SCBD bergaya merdeka seperti dulu? Wahai kapitalis, biarkan mimpi-mimpi mereka tetap sahaja dan merdeka meski masih dalam balut kemiskinan.

Fenomena SCBD, Bentuk Perlawanan?
Jangan Nyampah, Bikin Macet, Menggelandang dan Positif Kreatif, untuk CFW SCBD
Citayam Berbusana & Kwanyar Berliterasi, Era Kemajuan Muda Mudi
Street Fashion ala ABG Citayam di Sudirman
30 Kawasan Khusus Sepeda di Jakarta, DTKJ Berharap Warga Manfaatkan Layanan Prasarana Sepeda

Terkait

Terkini