Cikal Bakal Penyerahan Tanah Nioniba dan Dalil Penarikan Retribusi Po’o

- Dalam penyerahan itu, kata Ode Taibu, tidak ada kesepakatan terkait pembebanan retribusi Po'o pekarangan rumah, khususnya pekarangan rumah milik warga Nioniba melainkan kesepakatan Po'o lahan kebun -

10 Desember 2022, 18:45 WIB

Nusantarapedia.net, Ende, NTT — Tanah pekarangan rumah milik warga Nioniba, Kecamatan Maukarao, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT) didalilkan fungsionaris adat “Kebhi” bahwa masih dalam kekuasaan ulayat tersebut, sehingga harus dilakukan penarikan retribusi “Po’o”.

Sementara, berdasarkan bukti sejarah disebutkan bahwa, legitimasi tanah milik pekarang warga Nioniba adalah sah milik perorangan dan itu artinya secara hukum, tidak dibenarkan untuk diganggu maupun digugat.

Sejarah penyerahan tanah Nioniba bukan tanpa alasan dan tanpa proses. Kongkritnya ialah, tanah kampung Nioniba diserahkan karena para tokoh berpengaruh di wilayah itu telah berjasa merintis kampung tersebut dan andil di setiap urusan keulayatan.

Namun setelah berjalannya waktu, tepatnya di tahun 2003, dua dari sejumlah fungsionaris Kebhi justru mengambil keputusan sepihak memberlakukan penarikan retribusi “Po’o” pekarangan rumah milik warga Nioniba tersebut.

Sementara kesepakatan di dalam penyerahan kala itu, oleh Era Mori (alm) tidak ada namanya Po’o pekarangan rumah melainkan Po’o tanah kebun atau ladang yang berstatus tanah “Garap”.

Selain persoalan penarikan retribusi Po’o, terdapat juga persoalan pungutan lain sebesar Rp250.000 per-KK kepada warga Nioniba dengan spekulasi bahwa pungutan tersebut untuk pembangunan rumah adat.

Namun, faktanya di lapangan setelah ditelusuri tidak didapati rumah adat yang dibangun di lokasi upacara adat dari hasil diduga pungutan liar itu.

Salah seorang fungsionaris Adat Kebhi, Fanus ketika dikonfrimasi membenarkan adanya Po’o pekarangan rumah milik warga Nioniba yang diberlakukan sejak 2003.

“Setiap tahun adat ini berjalan, itu karena kesepakatan. Kesepakatan dari mosalaki dan keluarga serta tokoh-tokoh yang ada. Setiap tahun juga tokoh-tokoh itu diundang untuk datang duduk di tempat po’o ini. Karena harga babi makin melonjak kalau ketetapan 50 ribu seperti tahun lalu itu sangat tidak bisa, karena babi ni harga mahal,” katanya.

Fanus tidak mengaku kalau ketetapan Po’o hanya diberlakukan kepada warga Nioniba saja. Sementara hasil penulusuran, berdasarkan pengakuan sejumlah warga, bahwa Po’o itu hanya diberlakukan di Nioniba.

“Baru dipersoalkan hari ini ya, ini seluruh. Menurut mereka hanya di wilayah Nioniba ka? (tanyanya) Tidak semua, pokoknya apa saja yang berdomisili yang tinggal mencari nafkah hidup di Kebirangga ini, wajib !!, mau pekarangan rumah kek, mau kebun kek, pokoknya yang tinggal di wilayah Kebirangga ini sudah disepakati,” katanya.

Dalam komunikasi itu, Fanus cenderung mengular fakta.

“Karena adat ini tidak secara tertulis mau lisan pun dia jadi. Ya, yang paling pertama, semua kebutuhan yang menyangkut dengan Po’o ini diambil dari uang itu salah satunya babi, panggung, semua kebutuhan apa saja yang dibutuhkan oleh para undangan dengan yang ada di depan sini dibutuhkan pakai dengan uang itu,” ungkap Fanus.

“Jadi kalau uang itu ada 200 kebun, kalau 75 ribu berarti perorang hanya 15 juta. kebun serta apa saja macam saya bilang tinggal dua tempat rumah kek sudah disepakati wajib Po’o karena mencari nafkah hidup di Kebirangga. Dia tidak pake secara tertulis itu (kesepakatan-red) karena adat ni resmi, diumumkan di tempat Po’o ni resmi pak. Makanya keluarga saya yang ada di Nioniba itu, semua yang ditentukan mereka akan langgar salah satunya tempat rumah yang sudah diserahkan jual dengan seenaknya tanpa sepengetahuan mosalaki, maka mosalaki mau keras seperti itu. Sedangkan setiap tahun diumumkan di tempat Po’o ini, tempat, rumah apapun yang menyangkut dengan hak adat tidak bisa serta merta kamu jual dengan seenaknya, tapi mereka tetap lakukan itu yang kami tidak sepakat dengan mereka tu di situ. Lagian orang kami dari dulu sampai sekarang, orang Nioniba diberi cuma-cuma se-Sen uang pun tidak diberi kepada kepala suku,” tambahnya.

Faktanya, tanah pekarangan rumah warga Nioniba semua besertifikat hak milik dan secara hukum, ulayat tidak bisa menguasai hak tanah tersebut sekalipun tanah pekarangan itu digadaikan ataupun dijual oleh pemiliknya.

IMG 20221210 WA0010
Acara adat salah satu suku di NTT.

Terkait

Terkini