Dengan Ini: Saya Menyatakan Mundur dari Jabatan … atas …, Misalnya! (1)

Seorang pejabat publik yang memahami konsep dan praktik moralitas dan etika akan terkait dengan moral clarity juga kesadaran diri sebagai keberpihakan intelektual dalam kepemimpinannya

8 Oktober 2022, 22:59 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Polhukam — Dengan Ini: Saya Menyatakan Mundur dari Jabatan … atas …, Misalnya!

“Bahwa, sang pejabat merasa malu, malu karena ketidakmampuan dalam mengelola atau tidak mempunyai kapasitas, hingga lalai, abai, tidak mempunyai kepekaan, tidak jujur, bahkan masih berasa feodal dengan tidak mau mengoreksi dirinya sendiri dengan melempar kesalahan dirinya dengan mencari kambing hitam.”

NEGARA Jepang salah satunya negara dengan budaya “pengunduran diri pejabat publik” dengan intensitas tinggi.

Pejabat publik yang merasa gagal dalam mengemban amanah berupa tugas-tugas sebagai seorang pejabat publik memilih untuk mengundurkan diri sebagai bentuk tanggung jawab. Terlebih bila menyangkut suatu kasus yang berdampak besar bagi kelangsungan hajat hidup manusia (rakyat), seperti menyebabkan kekacauan, putus sekolah, tidak terpenuhinya kesehatan dasar, terlebih kelaparan, dsb., apalagi hanya soal kebijakan di wilayah teknis operasional manajerial.

Pun dengan dampak kemanusiaan lainnya yang telah menyebabkan kematian, yang disitu jelas melanggar hak asasi berupa hak hidup atau hak kodrati atas penciptaan manusia.

Dengan demikian, kesadaran sebagai pejabat publik yang dimaknai sebagai “pengemban amanah” dalam kesepakatan tujuan bernegara tetap dalam satu kesatuan pandang bahwa manusia (orang) diciptakan atau ada karena sifat alamiah/manusiawi, atau dalam konsep ketuhanan sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Artinya, mengemban amanah rakyat sebagai pejabat publik juga dimaknai sebagai mengemban amanah dari Tuhan.

Berat bukan? amanah sebagai pejabat publik dalam artian sebagai pimpinan/pemimpin atau orang yang paling bertanggung jawab. Tentu sesuai dengan tugas, pokok, fungsi dan kewenangannya secara formil dan non formil seperti dalam konteks ini.

Relasi Dasar Konsep dan Praktik Moralitas, Etika, dan Kecendekiawanan

Pejabat publik harus mempunyai nilai etik yang harus dipegang teguh, nilai etik tersebut dilakukan dengan bentuk mengundurkan diri manakala telah gagal atau tidak berhasil menjalankan tugas-tugas yang diemban sebagai bentuk sikap koreksi/refleksi pada dirinya sendiri. Bahwa, sang pejabat merasa malu, malu karena ketidakmampuan dalam mengelola atau tidak mempunyai kapasitas, hingga lalai, abai, tidak mempunyai kepekaan, tidak jujur, bahkan masih berasa feodal dengan tidak mau mengoreksi dirinya sendiri dengan melempar kesalahan dirinya dengan mencari kambing hitam.

Pejabat publik yang dengan penuh kesadaran diri dan ikhlas mau mengundurkan diri dari jabatannya, atas alasan di atas, tentu telah menempatkan dasar-dasar dan nilai-nilai moralitas dan etika dalam kepemimpinannya sebagai seorang pejabat di atas hal yang sifatnya administrasi, seperti aturan hukum yang berlaku, terlebih hanya sekedar seremonial belaka. Artinya, seorang pejabat publik yang memahami konsep dan praktik moralitas dan etika akan terkait dengan moral clarity juga kesadaran diri sebagai keberpihakan intelektual dalam kepemimpinannya. Bukan gebyarnya! Terlebih selama tidak ada “putusan pengadilan,” posisi sebagai pejabat publik masih aman. Soal moral clarity, moralitas dan etika, itu urusan lain.

Maka bagian moral, etika dan kecendekiawanan pejabat publik harus melekat atau didasari dari nilai-nilai tersebut sebagai bagian dari keteladanan. Tentu teladan bagi yang dipimpinnya. Bagaimana keteladanan tersebut mampu diwujudkan dengan perilaku, tindakan, kebijakan dalam kepemimpinannya. Apabila wujud keteladanan tersebut tidak bisa dihadirkan, maka si pejabat publik justru merasa menjadi orang yang tidak terhormat bila tidak lekas mengundurkan diri.

Hal itu justru berkebalikan bagi pejabat publik yang sama sekali tidak masuk pada dimensi pemikiran tersebut. Keterhormatan menurutnya ditafsirkan dengan gaya feodal, borjuis, inferioritas, dengan tindakan penyuapan, pembodohan, mencari simpati, asal bapak senang, dsb. Parahnya, justru membawa manusia (rakyat) menjauh dari nilai kemanusiaan, sesat dan bentuk pembodohan.

Jadi sudut pandang terhormat bagi pejabat publik ketika mampu membawa pada cita-cita bersama yang beradab sesuai dengan komitmen atau janji-janji politiknya. Disitulah menjadi pejabat publik yang terhormat, manakala gagal akan janji-janjinya mewujudkan harapan sesuai dengan yang telah disepakati, dan bila masih ingin menjadi manusia yang terhormat maka harus mengundurkan diri. Ini sebagai bentuk satunya kata dan perbuatan.

Cilakanya, ada budaya yang menjustifikasi bila pejabat publik mundur maka akan dicap menjadi orang yang tidak terhormat lagi, konsekuensinya harus terus menutupi kesalahan, kebohongan, kelalaian tersebut agar terus di cap sebagai pejabat publik yang terhormat. Artinya telah masuk dalam jebakan ego yang semakin jauh dari “akal sehat.” Mundur dimaknai sebagai aib yang harus dihindari dengan segala cara agar tidak mundur/lengser.

Kesimpulannya, mengundurkan diri dari jabatan atas kegagalan adalah keputusan yang terhormat, bukan sebaliknya.

Terkait

Terkini