Desa Tertua Berumur 1.196 Tahun Bernama Bawan (2)
Rakai Bawan dan istrinya yang memberikan sawah tersebut, diperkirakan tinggal di sebuah desa yang saat ini bernama Jemawan. Jemawan dari asal kata Bawan

Nusantarapedia.net, Jurnal | Sejarah — Desa Tertua Berumur 1.196 Tahun Bernama Bawan
DENGAN ditemukannya keenam prasasti yang jauh dari pusat kluster pertama “ibu kota” tadi, apa isinya dalam hubungannya dengan kerajaan Medang. Yang jelas, salah satunya menjelaskan mengenai hal desa/watak, desa yang telah ada sejak 1.196 yang lalu.
Wilayah kabupaten Klaten merupakan wilayah yang subur, saat ini terutama pada era orde baru ditetapkan sebagai kawasan penyangga pangan nasional untuk komoditi beras.
Klaten sebagai daerah pertanian yang maju dengan areal persawahan seluas sekitar 30.900 hektar, disebut dengan sawah lestari. Berdasarkan data BPS tahun 2010 luas persawahan di Klaten 33.412 Ha, dan tahun 2015 seluas 33.220 Ha. Dalam waktu Tahun 2010 & 2015 telah terjadi perubahan penggunaan lahan sawah sebesar 192 Ha di Kabupaten Klaten. Produksi padinya sedikitnya 480.023 ton gabah kering giling pada 2021. Pada tahun 2020, produksi berasnya 267.000 ton beras. (Tri Rahardjo, surakartadaily.2022)
Wajar saja, Klaten yang lokasinya berada dalam cekungan apitan Gunung Merapi dan Pegunungan Seribu, menjadikan sebagai daerah “panen air,” maka disebut dengan “seribu mata air” karena saking banyaknya sumber mata air dari jalur air Gunung Merapi sebagai daerah tangkapan air. Hal tersebut yang menjadikan kawasan Klaten lahir budaya bertani lengkap dengan tata kelola pengairan yang sudah ada sejak era kerajaan Medang berupa lahan persawahan.
Keistimewaan lainnya, topografi di Klaten yang landai dan datar terutama di daerah tengah, dengan sedikit kemiringan di selatan dan utara. Atas kondisi tersebut Klaten cocok sebagai daerah hunian. Setidaknya ini prediksi sederhana bahwa Klaten telah menjadi kawasan hunian sejak era kerajaan Medang. Di samping itu relatif minim potensi ancaman banjir lahar maupun piroklastik Merapi, meskipun ada potensi itu di daerah Kemalang. Ancaman tersebut merujuk pada potensi bencana yang terjadi di Sungai Opak, yang mana telah menghancurkan peradaban Medang, hingga kepindahan kerajaan ke Wwatan akibat erupsi besar Merapi yang melewati Sungai Opak.
Dengan demikian, maka wilayah Klaten pada era kerajaan Medang sebagai daerah hunian dan pertanian benar adanya. Dan teori dasarnya bahwa di situ ada air disitulah ada kehidupan.
Hal tersebut tertuang dalam bukti prasasti yang ditemukan di daerah Klaten. Berikut 6 prasasti yang ditemukan di Klaten, yang lokasinya jauh dari kluster utama kawasan percandian Prambanan-Plaosan-Sojiwan-Ratu Boko. Diurutkan dari angka terbit tahun terlama.



I Prasasti Abhayananda atau Mao
Spesifikasi;
• Angka tahun tidak diketahui pasti
• Aksara Jawa kuna, bahasa Jawa kuna • Media berupa Batu patok (pseudo-lingga) Tinggi 54 cm, diameter 27 Cm
• Lokasi Desa Mao, Jambeyan, Karanganom, Klaten.
Transkripsi;
1) Swasti śakawarśa – – – – – da e – – śukla
2) paksa panirwan wagai śukra tatkala ra – bawaŋ (?) anakwi manu
3) suka sima sawah tampah 4 pawaih rakai wakkka pu manota
4) sawaha ni wihara abhayānanda.
Terjemahan;
1) Selamat tahun Śaka ….. ( bulan Bhdrawā)da ,tanggal 11 ( e – daśa) paro terang,
2) Paningron, Wage Jum’at, ketika istri Ra- Bawang
3) menetapkan perdikan sawah lusnya 4 tampah pemberian Rakai Wka pu Manota
4) dijadikan sawah – perdikan untuk wihara di Abhayānanda.
Isi prasasti dialihaksarakan oleh Soekarto K. Atmodjo. Dari alih aksara isi prasasti diketahui bahwa pada Jumat Wage hari ke-10 paro terang bulan Bhadrawada tahun 748 saka atau 826 M, istri Rakai Bawan membatasi sima berupa sawah seluas 4 tampah yang sawah tersebut hasilnya untuk Bihara Abhayananda. 4 tampah yang dimaksud seluas 2,8 hektare (ha).
Menurut Heri Wahyudi, peneliti dan pegiat kepurbakalaan asal Klaten, melengkapi hasil temuan tersebut dengan menjelaskan lebih detail perihal isi prasasti tersebut.
Heri menjelaskan bahwa istri Rakai Bawan merupakan wanita pertama dari keluarga kerajaan yang mengeluarkan prasasti. Dalam penelitiannya, prasasti Mao diterbitkan pada hari Jumat Wage tanggal 17 Agustus 826 Masehi.
Rakai Bawan dan istrinya yang memberikan sawah tersebut, diperkirakan tinggal di sebuah desa yang saat ini bernama Jemawan. Jemawan dari asal kata Bawan.
Saat ini Desa Jemawan, merupakan desa di Kecamatan Jatinom, Klaten. Sedangkan prasasti yang ditemukan berada di Dusun Mao, Jambeyan, Karanganom Klaten. Dahulu, sawah yang diberikan tersebut berada di Dusun Mao saat ini.
Menurut keterangan masyarakat Jemawan, masyarakat setempat terbiasa menyebut dengan nama desa Bawan, merujuk pada Rakai Bawan, suami pemberi sawah 4 tampah tadi. Bukti kuat lainnya, di Desa Jemawan terutama pada tahun 1980 an masih banyak ditemukan batu-batu candi.
Untuk Dusun Mao sendiri, yang mana sebagai areal persawahan yang diberikan istri Rakai Bawan, cukup beralasan untuk menguatkan bukti bahwa daerah tersebut berupa areal persawahan, karena sawah tersebut dengan air melimpah dari asal umbul/mata air Jolotunda, Susuhan dan Gedaren.
Dengan demikian, analisis dengan bukti primer berupa Prasasti Abhayananda atau Mao ditunjang berdasarkan nama-nama toponim, bahwa Desa Jemawan dan Desa Mao/Jambeyan adalah benar-benar desa dalam kekuasaan Rakai Bawan yang telah berdiri/membentuk sebagai desa/watak. Berarti, setidaknya Desa Jemawan/Bawan telah berumur 1196 per 2022 dari Prasasti Abhayananda terbitan tahun 826.


II Prasasti Gayamprit
Gayamprit adalah salah satu Kelurahan di Kecamatan Klaten Selatan. Disinilah ditemukan prasasti bernama Prasasti Anggehan.
Keterangan;
• Yaitu lingga bertulis dari Gayamprit yang kini tersimpan di Museum Radya Pustaka Solo. Lingga bertulis ini disebut Prasasti Anggehan.
• Berlangsung pada era kekuasaan Rakai Garung sebagai pemimpin kerajaan Mdang Mataram sebelum beralih ke Rakai Pikatan.
• Prasasti Gayamprit menyebut nama “Anggehan”. Prasasti ini berangka tahun 834 M, selisih 13 tahun dengan prasasti Ngrundul yang berangka tahun 847 Masehi.
• Isi dari prasasti serupa dengan Prasasti Ngrundul.
