Digital Virtual, antara Utopia Libertarian dan Evolusi Kapitalisme

14 November 2021, 08:21 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Iptek — Digital Virtual, antara Utopia Libertarian dan Evolusi Kapitalisme

Teknologi digitalisasi yang mengglobal semakin cepat tak terbatas, tidak ada lagi jarak dan sekat, bertindak sebagai inisiator, telah melahirkan tatanan baru dunia. Dunia sedang bertransformasi.

Ada masanya, warga dunia berada dalam garis yang linier, dengan tetap berciri evolusioner, tak terbatas namun selaras.

Banyak tantangan ke depan yang harus dipecahkan bersama oleh warga dunia khususnya Nusantara, sebagai sebuah kesadaran, bahwa hal ini sudah terpengaruhi masif bahkan ketergantungan, tanpa menyadarinya meski sangat terasa. Yang manakah itu?

Di saat dunia sudah melesat jauh, suka tidak suka, mau tidak mau, kita terbawa dalam proyeksi global. Akan terasa mudah bila kesiapan itu nyata, namun jauh kiranya dari definisi siap, karena mewujudkan amanat konstitusi berdasarkan sumber daya yang ada belum linier atas diskursus selama ini.

Dari Barter hingga Crypto

Pada zaman kuno, pertukaran aneka barang untuk memenuhi kebutuhan hidup dilakukan dengan cara “Barter.” Dinamika terus berjalan, menghasilkan konversi mata uang atas barang dan jasa (commodity currency).

Munculah alat tukar berupa uang logam, mulai dari keping tembaga, perak dan emas. Pada akhirnya, akal manusia berkembang, dengan alasan menuju tata kelola hidup yang lebih baik, menjadi point. Hasrat monopoli dan penguasaan akan menyertainya sebagai ciri alami manusia.

Jasa penitipan emas muncul dimana-mana, kemudian membentuk korporasi menjadi perbankan. Tidak hanya sebagai jasa penitipan uang konvensional, namun telah melahirkan sistem keuangan baru dengan perhitungan konversi dengan aturan di dalamnya. Kemunculan mata uang kertas, diiringi oleh perkembangan teknologi berupa telegraf, yang mana telah melahirkan sistem distribusi baru berupa “transfer,” melalui jasa keuangan atau bank dalam bentuk yang sederhana, seperti wesel pos.

Seiring berkembangnya teknologi, lahirlah mesin-mesin transfer uang, berkembang lagi kedalam bentuk yang lebih maju.

Lahirnya teknologi e-commerce sebagai lanjutan sistem transfer (cashless). Endingnya, dari sistem digital currency menjadi crypto currency, yaitu terciptanya mata uang elektronik yang saat ini dalam proses menemukan format dan bentuk dalam kesepakatan dunia, bernama Bitcoin, Blockchain atau Crypto.

Biaya produksi ditekan seminim mungkin untuk menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya adalah ciri kapitalisme. Jerat didalamnya telah sebegitu menyandera umat dengan tindakan yang tidak berkeadilan, sistem dan aturan yang diciptakan, seperti perjalanan mata uang diatas.

Zaman ke zaman, kapitalis selalu menemukan bentuk barunya dengan bermacam-macam narasi.

Membuka lahan baru, menciptakan sistem, memproduksi jerat demand and supplay dan menjadikan tata kelola baru perniagaan barang dan jasa dalam kendali sistem keuangan, yang akhirnya telah masuk menguasai hajat sosiologis suatu bangsa. Itulah belenggu kapitalisme yang telah mengular dalam kompleksitas ruang-ruang baru.

Era Digital Portal Evolusi Kapitalisme

Statistik pengguna internet tahun 2020 diseluruh dunia sebesar 4,5 milyar orang. Menurut WeareSocial dan Hootsuite dalam rilis mengenai data lanskap digital dunia. Angka tersebut setara dengan 60 persen lebih populasi penduduk dunia.

Dari total pengguna internet 4,5 milyar, 3,8 milyar menggunakan media sosial, atau 80 persen pengguna internet digunakan untuk medsos. Tahun 2021 bertambah menjadi 4,66 milyar, dari angka tersebut masih didominasi untuk pengguna medsos sebesar 4 milyar.

Di Indonesia, pengguna internet pada awal Januari 2020 sebesar 196,7 juta jiwa, awal 2021 mencapai 202,6 juta, naik 15,5 persen atau 27 juta jiwa dalam rentang waktu 2018 – 2021.

Penduduk Indonesia berjumlah 274,9 juta jiwa awal 2021, maka penetrasi penggunaan internet mencapai 73,7 persen dari total populasi penduduk, dengan angka aktif pengguna internet sebesar 70 persen.
Sebanyak 170 juta adalah pengguna aktif medsos.

Warganet Indonesia menghabiskan waktu dalam sehari untuk berselancar di dunia maya dengan rata-rata selama 8 jam 52 menit, sedangkan dunia dengan rata-rata waktu 6 jam 43 menit. Waktu sadar manusia dalam 24 jam selama 16 jam, bila penggunaan internet selama 8 jam, separuh dari waktu sadarnya digunakan untuk ber-internet, dan 80 persennya digunakan untuk bermedsos. Wow!

Waktu selama itu, warganet Indonesia digunakan untuk menonton televisi (broadcast, live streaming) selama 2 jam 50 menit, selama 1 jam 38 menit untuk membaca berita media online, sedangkan mendengarkan musik di semua layanan selama 1 jam 30 menit. Untuk konten berbasis audio, menghabiskan waktu selama 44 menit.

Sedangkan waktu untuk bermedsos menghabiskan 3 jam 46 menit, di luar basis konten di atas. Sisanya, untuk penggunaan e-commerse dan aktifitas lainnya, seperti; perkantoran dan instansi (work internet office), dan lainnya. Total durasi selama 8 jam lebih dalam sehari.

Video Youtube dengan konten live dan vlog, ditonton oleh warganet sebanyak 74,3 persen dari total pengguna internet. Youtube menjadi yang terpopuler diakses oleh warganet Indonesia. Facebook menjadi aplikasi paling digemari diseluruh dunia dengan jumlah 2,449 milyar, atau separuh dari total pengguna media sosial.

Di Indonesia, Facebook digunakan lebih dari 130 juta pengguna. Dua milyar akun diposisi kedua ditempati oleh Youtube, disusul Instagram dengan satu milyar pengguna, 63 juta penggunanya adalah instagramer Indonesia, dan Tiktok yang menggeser Twitter dengan jumlah akun hampir 1 milyar, atau 800 juta pengguna.

Untuk pengguna Twitter di Indonesia sebesar 10 juta. Whatsapp mengklaim, mempunyai 2 milyar pengguna di seluruh dunia.

Dunia Baru ala Metaverse

Tahun ini Facebook mengubah nama perusahaannya menjadi Meta. Saat ini telah mempersiapkan produknya yang belum diketahui kapan di launching yaitu Metaverse, dengan total investasi awal sebesar 140 trilyun.

Dunia belum selesai dan membentuk kelahiran tatanan baru akibat pandemi, belum selesai juga pada gaya digital internet, yang mana terjadi keterlepasan masa lalu dan sekarang (decoupling). Akan tetapi, sudah dibawa pada hal yang sangat baru, yaitu “Dunia Baru Super Imajinasi”. Dengan Metaverse, facebook membuka peluang global untuk membuka lahan baru bisnis dalam bidang industri desain digital dan gaming.

Visionernya M. Zuckerbereg, bukan tanpa alasan sebagai presiden Facebook, Instagram dan WhatsApp dengan jumlah warganya mencapai hampir tiga milyar. Zucker, membuka tanah harapan yang dibuka selebar-lebarnya kepada penduduk bumi, bahwa tanah tersebut adalah planet baru yang menjanjikan.

Metaverse adalah dunia virtual baru, dengan jaringan yang tidak terbatas, berbentuk tiga dimensi yang bekerja secara real-time, konsisten dan persisten. Metaverse mendorong kesinambungan identitas obyek dan hak dalam aspek apapun, yang mana dunia dialami secara serempak dengan jumlah pengguna yg tidak terbatas. Belum terdapat definisi secara sepakat, namun telah ditafsirkan dalam novel fiksi Snow Crash : 1992, seperti itu.

Definisi Metaverse menurut Facebook sendiri adalah seperangkat ruang virtual yang dapat diciptakan sendiri dan dijelajahi dengan orang lain, tidak berada diruang fisik yang sama dengan anda atau maya.

Didalam planet baru tersebut, Metaverse membuka kota-kota impian, bahkan desa-desa yang indah. Semuanya dibangun persis dengan yang ada di bumi, namun dengan pengalaman baru yang belum pernah terfikirkan dan dibayangkan sebelumnya.

Infrastruktur publik dibangun, fasilitas perkantoran, pusat bisnis, pendidikan, kesehatan, rekreasi, show room, outlet, pasar, dan semua model properti dan tata laksana dibumi tersaji lengkap. Namun, itu semua berbentuk virtual.

Semua obyek fisiknya bersifat virtual, namun tampak nyata, dan memainkan emosi-emosi. Kita bisa berbisnis, berkarier, berprofesi, bertindak sebagai boss atau karyawan, menjadi orang kaya atau miskin, bahkan tercipta tata laksana dan kelola hidup sosiologis virtual. Hebat bukan? Di dalamnya bisa melakukan apa saja, membeli tanah, mobil, dan aneka kepemilikan benda yang status kepemilikannya sah secara hukum virtual.

Dalam menggerakkan roda perekonomian dan tata niaganya, diberlakukan mata uang crypto. Regulasi barang dan jasa virtual ada kaidah-kaidah tertentu yang diaplikasikan melalui bentuk programmer. Misalnya; saya ingin menjadi pengembang perumahan, maka saya akan membuat landscape, arsitektur, dan penyerta lainnya yang diaplikasi melalui bentuk programmer. Maka, property yang ada didalamnya, misal rumah, mobil, toko, hewan peliharaan dan sebagainya hasil dari karya programmer. Jadi, setiap calon pengusaha/investor selalu didampingi jasa programmer.

Untuk menuju pada planet tersebut, setiap pengguna Metaverse menggunakan alat bernama “Viar,” sebagai media penghubung tempat dan ruang beserta isinya di planet baru tersebut.

Utopia Libertarian

Ada pendapat, bahwa manusia atau dunia ini akan linier dalam tujuan yang sama. Kehadiran tekhnologi digital (internet) akan membuat pasar ekonomi tercipta secara merata dan berkeadilan. Persepsi lain dari faham libertarian utopia, menganggap bahwa, kehadiran teknologi digital virtual justru tidak ada lagi intervensi dan manipulasi dari penguasa (government).

Mata uang digital berbentuk crypto akan sangat berkeadilan, mendorong pasar bebas yang murni atau free market, dengan mekanisme yang sehat. Dalam kesimpulannya, tercipta perdagangan bebas yang adil.

Para utopia libertarian pada konteks luas menganggap, kesetaraan dalam banyak hal adalah tujuan, meski praktiknya terdapat banyak aliran-aliran didalamnya, seperti; kesetaraan ekonomi, gender, agama, dan bidang lainnya. Namun demikian, definisi utopia libertarian lebih sering mengarah pada bidang pemerataan ekonomi, yang diaplikasi dalam dikotomi melawan kapitalisme sebagai “Anarco-Kapitalism”.

Pendobrakan kaum utopia libertarian pada sisi ekonomi, bisa pula diterjemahkan sebagai upaya perlawanan pada komersialisasi kapitalisme gaya baru yang membuka lahan baru aneka produk digital.

Mesin-mesin kapitalisme bekerja, mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dari lahan virtual. Para player virtual sebagai pemegang saham, tentu menyajikan aturan sedemikian rupa, untuk menguasai, memonopoli dan mengeksploitasi pada ruang nyata.

Teknologi dengan aneka produknya, telah memancing hasrat, menawarkan kesenangan yang tiada batas dan sangat imajinatif. Akhirnya, bagai mesin ATM berjalan yang uang kita terus tersedot. Kapitalis bekerja dengan rapi dan sempurna. Bagaimana Indonesia?

Statistik pengguna internet diatas jelas, berarti Indonesia pasar, dong? Harus bagaimana? Pertama, lakukan dengan strategi sederhana. Strateginya adalah ikut ambil bagian dengan menjemput bola, dengan secepatnya membuka kelas-kelas virtual dalam aneka aplikasi tata laksana hidup. Transfer kedalam ruang digital. Itu, bila kita mampu bersaing.

Kedua, sekiranya kita tidak mampu dalam kompetisi itu, hendaknya kita tidak ikut-ikutan menjadi pengguna terbesar aplikasi digital. Lantas, pilih evolusi kapitalisme atau utopia libertarian? jawab juga dengan strategi kebudayaan. Bila kita siap, masuklah dalam pusaran global digital, bila tidak siap, justru kembalilah bertani dan melaut dalam judul; Kapitalisasi Pertanian dan Kelautan Indonesia. Mengapa?

Evolusi digital tersebut tidak perlu dipikirkan, kembali pada ruh spirit Nusantara dengan potensinya. Bila dunia ini bermain di segmen teknologi, lantas siapa yang akan memasok kebutuhan pangan di bumi, sedangkan manusia saat ini belum menjadi bayi cyborg. Dengan demikian Indonesialah yang akan berjaya dengan produktivitas pangannya, bagai lahan baru, oleh Tuan-Tuan baru di tanah yang dijanjikan.

Bersikap dengan keputusan, bukan pada mimetisme gaya baru dunia atas nama global. Biarlah teknologi imajinasi punya mereka, kita punya sawah, ladang, gunung dan laut.

Statistik Pengguna Internet Dunia dan Indonesia, Medsos Rajanya!
Internet Positif, Korelasi Netizen Journalism dan Pengaruh Buruk Medsos
Mimetisme Media
Menakar Kekuatan Rakyat dan Kebijakan Pemerintah dalam Isu Global Krisis Pangan (1)
Menuju Indonesia Maju dengan Merubah Kultur

Terkait

Terkini