Dikasih Info Mazzeh, Kolokial Dalam Inang Sosmed dan Kesenian (2)
Kesimpulannya, kolokial ala Kimhoa dan lainnya termasuk dalam definisi "Kolokial Konten Kreator Sosial Media," kurang pas bila didefinisikan sebagai 'jargon,' 'senggakan,' 'monolog,' bahkan musikalisasi sastra
Nusantarapedia.net — Dikasih Info Mazzeh, Kolokial Dalam Inang Sosmed dan Kesenian
Gaya bicara dengan ekspresi yang lucu tersebut akhirnya menjadi viral, dan muncul pakem kalimat gaul “Dikasih Info Mazzeh.”
“Hal ini perlu dipahami agar, definisi kebahasaan (sastra), seni musik, seni peran dan lainnya tidak gagap, tidak kerdil dan tidak rusak/merusak atas perkembangan penggunaan platform media sosial.”
“Sosial media yang dimaksud tidak hanya sebagai fungsi informasi, komunikasi dan publikasi. namun platform didalamnya tersedia fitur seni (musik) untuk membuat paket konten kreator.”
Deskriptif Analitis Sosiolinguistik Kolokial dan Media Pembentuk
Kolokial adalah bahasa percakapan sehari-hari. merupakan bahasa gaul, atau informal yang digunakan dalam keseharian. Kolokial merupakan variasi/ragam bahasa yang digunakan pada suasana tidak resmi, santai yang digunakan antar orang yang seumuran. Rata-rata tidak ditujukan sebagai gaya bahasa untuk menghormati lawan bicara yang lebih tua atau lebih muda.
Dialog kolokial dengan bentuk kalimat yang sederhana (susunan sintaksis dan logika bahasa yang tidak sempurna). Penggunaan kosakata yang digunakan berupa kosakata harian yang cenderung abstrak. tidak secara jelas mengandung definisi ke bidang tertentu.
Dalam penerapannya, banyak menggunakan kata seru (perangkat ekspresif lainnya), seperti tanda seru, tanda tanya, tanda kutip dan lainnya. Leksikon sebagai definisi yang abstrak mengenai definisi, struktur dan ruang lingkup ketatabasaannya berkembang dengan cukup pesat dengan arti yang meluas.
Ragam bahasa kolokial ini sangat multitafsir, sehingga lawan bicara terkadang tidak memahami arti dan maksud yang disampaikan dengan susunan kalimat tersebut, kecuali komunitas didalamnya sesama pengguna ragam bahasa ini, yang awalnya sebagai bentuk kesepakatan.
Dengan demikian, ragam bahasa kolokial di Indonesia termasuk sebagai bahasa prokem, bahasa gaul anak muda.
Tinjauan berbagai kolokial atau ‘senggakan’ di atas, juga bisa diklasifikasi sebagai ”jargon.” Jargon merupakan salah satu bentuk variasi bahasa yang dilihat dari segi pemakaiannya. Jargon adalah kosakata khusus yang dipergunakan dalam bidang kehidupan atau lingkungan tertentu. (Sugono, 2008:568)
Namun demikian, jargon saat ini lebih pada peruntukan kekhususan pada bidang tertentu, seperti politik. Jargon sering digunakan untuk menarasikan seorang figur atau tokoh untuk membentuk image. Dengan demikian, makna dari jargon telah menyempit sebagai kosakata yang khusus menjadi lebih khusus lagi.
Dalam kasus bahasa gaul di atas, atau lebih tepatnya sebagai definisi kolokial (bahasa gaul) yang berkembang di kalangan remaja, menjadi viral atau booming karena menemukan wadah untuk berkembang dengan pesat dan cepat. Kolokial tidak bisa berkembang dengan cepat bila kekhususannya hanya pada kelompok-kelompok komunitas bahasa gaul/prokem.
Inang tersebut adalah media sosial dan kesenian. Media sosial berfungsi sebagai media pembentuk informasi dan komunikasi, sedangkan kesenian sebagai pembentuk brand atau ciri khas sebagai bentuk ekspresi penyajian.
Kolokial dan Musik
Dalam penyajian musik, terdapat bagian penyajian vokal yang dinamakan “senggakan.”
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata senggakan adalah: seng.gak.an [n], yang berarti sorak (sorak-sorak dalam lagu, tarian, dsb)
Dilihat dari contoh kolokial di atas, kata-kata/kalimat tersebut berawal dari bahasa percakapan sehari-hari yang kemudian dimasukkan ke dalam unsur penyajian musik sebagai senggakan atau sorak.
Senggakan merupakan suara vokal yang dalam penyajiannya bisa tanpa nada maupun bernada. Dari sinilah kolokial tersebut menemukan mediumnya dalam garap penyajian musik sebagai kalimat yang nge-brand mengandung ciri khas. sehingga melalui medium musik tersebut kalimatnya mudah dihafalkan, diingat bahkan ditafsirkan menurut pembacanya masing-masing dalam aneka persepsi. namun secara keseluruhan sepakat untuk mudah diingat karena dibawakan pada sebuah lagu yang juga booming.
“Dikasih Info Mazzeh,” menjadi penuh rasa, mengundang persepsi yang abstrak dan menarik, karena diucapkan pada lantunan DJ Tik Tok atau pada gelaran pertunjukan musik dangdut oleh MC atau penyanyinya.
Begitu juga dengan kalimat kolokial yang lain, menjadi ikut familier karena mengindung pada lagu yang booming, seperti lagu Pamer Bojo Didi Kempot, atau lagu Buka Dikit Joss Juwita Bahar.
Dengan demikian, kolokial pada Tik Tok Mazzeh, bukan didefinisikan sebagai senggakan, meski itu juga benar. karena senggakan dalam arti luas memenuhi kaidah standart musik yang mengandung nilai estetis seni, meski ada senggakan yang sifatnya sederhana, pendek dan tidak ada nilai estetiknya.
Kolokial dalam Media Sosial
Setelah kolokial dan seni (musik) membentuk menjadi satu format penyajian, tinggal butuh tahapan sekali lagi sebagai penebar informasi kepada publik. Jawabnya tak lain adalah sosial media.
Sosial media yang dimaksud tidak hanya sebagai fungsi informasi, komunikasi dan publikasi. namun platform didalamnya tersedia fitur seni (musik) untuk membuat paket konten kreator.
Jadilah, DJ Tik Tok “Dikasih Info Mazzeh,” gabungan antara sosiolinguistik kolokial dan kesenian berhasil diproduksi dalam fitur medsos, dan sekaligus sebagai media penyiaran (publikasi).
Dengan demikian, kekuatan media sosial selain sudah terbukti sebagai media informasi, komunikasi dan penyiaran publik, juga sebagai media produksi konten kreator dalam berbagai bentuk, format dan aneka platform penyajian konten.
Kolokial Konten Sosmed dalam Derajat Kesenian
Monolog
Definisi senggakan dalam berkesenian (musik) cukup jelas, serta hubungannya dengan pembentukan kolokial.
Dalam kegiatan seni peran atau teater, ada istilah “monolog.” Monolog merupakan ilmu terapan tentang seni peran, di mana hanya dibutuhkan satu orang atau dialog bisu untuk melakukan adegan/sketsanya.
Dalam seni drama dan teater, aktor monolog harus memerankan sendiri karakter yang dimainkannya. aktor dituntut untuk menafsirkan sendiri naskah melalui gerakan dan dialognya agar dapat tersampaikan oleh penonton.
Khusus monolog pada lagu-lagu Indonesia, terutama pada genre pop “Indonesia Love Song Evergreen,” sering ada sisipan dialog atau percakapan monolog tanpa nada dalam lagu oleh vokalis, atau lebih seperti puisi dalam lagu. Percakapan diri tersebut disisipkan pada bagian interlude pada umumnya. berisi kata-kata afirmasi oleh si penyanyi dalam kesatuan narasi lirik lagu. Monolog oleh vokalis tersebut sering dijumpai pada lagu-lagu Indonesia tempo dulu tahun 70 – 80-an.
Melihat dari view tersebut, kolokial pada banyak kasus konten kreator seperti contoh di atas, tidak termasuk sebagai monolog seni yang mengandung nilai estetis yang tinggi.
Soliloquy
Dalam karya sastra dan pertunjukan seni peran di panggung, bagian seperti prolog, monolog dan epilog maupun soliloquy menjadi kesatuan yang penting dalam pertunjukan seni teater maupun penulisan karya sastra.
Secara umum, senandika atau soliloquy adalah jenis monolog. berisi wacana seorang tokoh dalam karya susastra dengan dirinya sendiri di dalam drama yang dipakai untuk mengungkapkan perasaan, firasat, konflik batin dari tokoh tersebut, atau untuk menyajikan informasi yang diperlukan pembaca atau pendengar.
Nah, apakah kolokial pada kasus di atas bisa ditafsirkan sebagai bagian senandika, tentu tidak. Derajat monolog atau percakapan sederhana dalam kolokial konten kreator tersebut di atas tidak bisa dinilai sebagai sebuah karya seni atau sastra. Esensinya tetap kembali pada ruh kolokial itu sendiri sebagai bahasa gaul ekspresi sehari-hari yang ringan dan sederhana.
Bila aneka kolokial seperti pada kasus “Dikasih Info Mazzeh,” itu bagian dari seni, sah-sah saja, tetapi itu bukan sebagai bagian seni dalam lingkup seni sastra, drama maupun teater dan musik puisi atau musikalisasi sastra.
Dengan demikian, fenomena kolokial seperti banyak kasus di atas yang telah berformat dalam bentuk baru, bukan sebagai karya seni.
Fenomena tersebut tetap dalam klasifikasi variasi sosiolinguistik sebagai ragam bahasa. Bahasa kolokial, prokem atau bahasa gaul remaja sosmed Indonesia.
Namun demikian, patut di apresiasi bagi seorang Kimhoa atas konten kreatornya, yang mana dari pengelolaan platform media sosial dapat diuangkan dengan sistem adsen. juga dapat mendatangkan endorse bagi Kimhoa. Dengan demikian, esensinya terletak pada berhasilnya membuat konten kreator untuk mendapatkan cuan dan terkenal (populer).
Seorang Kimhoa, tidak berkewajiban punya pertanggungjawaban sebagai pelaku media penyiaran publik atas dampak dari kontennya yang mempunyai pertanggungjawaban ‘mendidik dan mencerdaskan,’ justru yang perlu tahu diri adalah para oknum intelektual yang seharusnya mempunyai tanggungjawab moral untuk mendidik dan mencerdaskan masyarakat melalui konten media sosialnya maupun websitenya.
Sering para oknum pejabat, oknum akademisi, larut dan terjebak dengan konten receh di media sosialnya, yang mana merupakan bentuk parade kebodohan, hanya untuk mencari popularitas, tanpa melihat sisi edukasinya sebagai tokoh intelektual yang dianut dan diikuti oleh publik.
Salam hangat untuk Kimhoa “Dikasih Info Mazzeh,” untuk Bulan Sutena di Bali, Boger Bojinov di Madura, dan Dhila_JM di Sulawesi, atas konten kreatornya yang berpotensi mendatangkan cuan. Terus meningkatkan kualitas agar menjadi ke dalam bentuk kekaryaan yang bermanfaat.
Kecuali, untuk para oknum intelektual yang larut dalam parade kebodohan dengan konten kreator dan unggahan-unggahannya di medsos yang narsis dan tidak mendidik. yang mana seharusnya sadar akan peran, tugas dan tanggungjawabnya sebagai poros pencerdasan.
Kesimpulannya, kolokial ala Kimhoa dan lainnya termasuk dalam definisi “Kolokial Konten Kreator Sosial Media,” kurang pas bila didefinisikan sebagai ‘jargon,’ ‘senggakan,’ ‘monolog,’ bahkan musikalisasi sastra.
Hal ini perlu dipahami agar, definisi kebahasaan (sastra), seni musik, seni peran dan lainnya tidak gagap, tidak kerdil dan tidak rusak/merusak atas perkembangan penggunaan platform media sosial.
Selesai
Dikasih Info Mazzeh, Kolokial dalam Inang Sosmed dan Kesenian (1)
”Tongkrongan Kami, Bukan Tongkrongan Pecundang”
Gloomy Sunday, Lagu Kematian hingga Bunga Terakhir Bebi Romeo
Memaknai ”Indonesia Pusaka” di Tengah Wabah
Konstruksi Masa Depan Dalam Fakta Sumber Daya, Kekinian, Arah dan Harapan (1)