Disabilitas, Jangan Eksploitasi (lagi)! (Refleksi Wheel Chair Day)

24 Februari 2022, 22:24 WIB

Nusantarapedia.netDisabilitas, Jangan Eksploitasi (lagi)!
(Refleksi Wheel Chair Day)

Perjuangan disabilitas untuk membuka akses dan pelibatan yang setara dan bermartabat dalam urusan masyarakat adalah perjuangan terbesar sepanjang sejarah dalam penegakkan hak asasi manusia.

Salah satu hak disabilitas menurut Undang-undang Nomor 19 tahun 2001 adalah mendapat penghidupan layak.

Salah satunya, selain merdeka dan terbukanya akses ekonomi juga termanifestasi bagaimana mereka mengejawantahkan segenap raga dan pemikiran untuk sebuah karya.

Karya bukan monopoli non-disability an sich. Bahkan kemampuan berkarya itu terkadang tidak berhubungan dengan keterbatasan fisik selama tekad dan pemikiran itu ada.

Tak jarang kita temui para atlet, seniman, pengkarya kerajinan go public, juga inisiator projek-projek besar. Tak mengherankan bagi saya, karena karya itu lahir dari pemikiran dan luasnya dimensi visi hidup seseorang.

Namun, memang harus melihat jenis disability-nya. Untuk kasus yang saya prologi tentu lebih mengarah pada penyandang disabilitas jenis tuna daksa atau cacat fisik.

Beda lagi kajiannya jika harus membicarakan upaya pemberdayaan untuk kawan-kawan tuna grahita.

Mereka mengalami retardasi mental dimana kecerdasan di bawah rata-rata dengan dignosa medis bergejala kesulitan berpikir dan memahami yang berpengaruh pada keterampilan konseptual, sosial dan praktis tertentu.

Namun, bukan berarti para penyandang tuna grahita tak bisa produktif atau sulit diberdayakan.

Dewasa ini perusahaan-perusahaan sedang gencar mengkampanyekan tanggung jawab sosialnya melalui pendekatan Corporate Social Responsibility (CSR).

CSR adalah pendekatan bisnis dengan memberikan kontribusi terhadap pembangunan yang berkelanjutan dengan memberi manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan.

Tak menutup kemungkinan komunitas disabilitas pun masuk dalam perhatian khusus CSR sebuah perusahaan. Satu sisi, ini kesempatan luas bagi disabilitas agar bisa mengembangkan diri dan terfasilitasi.

Baik alat bantu maupun akses berkarya dan berekonomi. Sisi lain, sudah bukan rahasia umum lagi, ini menjadi lahan empuk para ‘pegiat proposal’ demi memenuhi hajat pribadinya.

Ya, para penyandang disabilitas itu adalah kelompok strategis yang bisa dijadikan obyek sekaligus kendaraan bagi para kapitalis. Seperti tanah basah yang siap ditanam dan jelas kapan panen serta nominal perolehan panenannya.

Saatnya kaum disabilitas peka. Peka dengan potensi diri, baik potensi fisik maupun potensi ide-ide. Yang mengerti kebutuhan kaum disabilitas adalah mereka sendiri.

Temper Tantrum Pada Anak dan Cara Mengatasinya

Terlebih sesuai dengan amanah UU No.8 tentang Kesamaan Kesempatan, di mana Kesamaan Kesempatan tersebut adalah keadaan yang memberikan peluang dan/atau menyediakan akses kepada Penyandang Disabilitas untuk menyalurkan potensi dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat. 

Selain itu juga perlindungan terhadap diskriminasi.Diskriminasi adalah setiap pembedaan, pengecualian pembatasan, pelecehan, atau pengucilan atas dasar disabilitas yang bermaksud atau berdampak pada pembatasan atau peniadaan pengakuan, penikmatan, atau pelaksanaan hak Penyandang Disabilitas.

Aktivitas kerelawanan terhadap disabilitas harus termanifestasi dalam kerja-kerja sosial yang konstruktif dan berbasis pemberdayaan dan character buliding agar mereka berdaya, tangguh dan mandiri.

Mirisnya, yang terjadi justru seperti Obor Blarak. Semangat di awal, tetapi tidak ada pendampingan bahkan ketika upaya terhenti, dan membutuhkan restimulate, pihak terkait angkat tangan.

Kesan yang nampak, kaum disabilitas hanya sebagai pemanis proposal. Miris. Upaya yang begitu mulia menjadi sia-sia. Memang, ranah disabilitas adalah ranah yang krusial dan rawan penyelewengan serta penyalahgunaan.

Belakangan, para disabilitas sendiri juga telah membuka mata untuk kritis terhadap kebutuhannya diri sendiri.

Mereka mencoba membuat terobosan aktivitas untuk menunjukkan eksistensi dirinya.

Beragam kegiatan baik perhelatan karya maupun terobosan ekonomi dipertunjukkan demi mendapat perhatian dan pengakuan bahwa mereka adalah sama.

CTEV, Gejala, dan Penanganannya

Tak berlebihan, karena itu adalah hak mereka sesuai dengan amanat undang-undang bahwa disabilitas memiliki kesempatan hidup layak sama seperti yang lainnya.

Namun, tak bisa dipungkiri bergulirnya waktu menjadi terasa bak euforia belaka tatkala para penyandang disabilitas sendiri akhirnya terjun ‘berpanggung’.

Gelaran kegiatan yang semestinya menyuguhkan karya tak lebih hanya ritual formalitas demi lolosnya proposal. Tak jarang ini dimanfaatkan stake holder yang haus panggung demi pencitraan.

Sayangnya, tak jarang media massa memfasilitasi upaya pencitraan ini.
Lagi-lagi kaum disabilitas sendiri yang menjadi kendaraan oknum tertentu. Mereka terjebak pada tujuan tendensius dan mengabaikan tujuan esensial dari aksi yang digelar.

Saatnya Penyandang Disabilitas bangkit dengan idealisme yang kokoh.

Terkait

Terkini