Dosen FH sekaligus Pengacara Surabaya Sebut Retribusi Po’o Pekarangan Rumah Nioniba Langgar Hukum Positif
- suku dan masyarakat adat dalam kacamata hukum positif, secara terminologi suku tidak sama dan tidak boleh disamakan dengan masyarakat hukum adat dalam konteks hukum nasional -
Nusantarapedia.net, Ende, NTT — Polemik penarikan retribusi Po’o tanah pekarangan milik warga Nioniba, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT) berdalilkan hak ulayat turut mengundang tanggapan ahli hukum Marianus Gaharpung, S.H. M.S., dosen Fakultas Hukum UBAYA yang juga merupakan lawyer di Surabaya.
Menurut Marianus, suku dan masyarakat adat dalam kacamata hukum positif, secara terminologi suku tidak sama dan tidak boleh disamakan dengan masyarakat hukum adat dalam konteks hukum nasional.
Di dalam konstitusi (UUD NKRI) diakui eksistensi masyarakat hukum adat dalam Pasal 18 UUD. Atas hukum dasar ini diturunkan dalam Undang Undang Pokok Agraria, Undang Undang Kehutanan serta berbagai produk turunan peraturan di daerah kabupaten di Tanah Air.
“Lalu bagaimana konsep suku memang tidak diatur, tetapi ada dan masih hidup terpelihara secara turun-temurun, apalagi di daerah Flores termasuk Ende, Bajawa Nagekeo bahkan Maumere dan daerah lainnya. Itu artinya, suku hanya berlaku ke dalam suku saja, tetapi masyarakat adat eksistensinya diakui negara dan berlaku internal dan eksternal,” kata Marianus kepada Nusantarapedia.net, Sabtu (10/12/22) di Surabaya.
Dia menambahkan, dalam suku boleh-boleh saja sepanjang tidak melanggar hukum positif termasuk norma kesusilaan dan norma hukum dalam konteks yang terjadi di Suku Kebhi, apakah suku tersebut boleh melakukan pungutan uang pada warga yang secara legitimasi memiliki sertifikat hak milik atas tanah yang ditempati.